tirto.id - “Syukurlah, Sabtu kemarin (15/4/2017), Jalan Tol Akses Tanjung Priok akhirnya saya resmikan. Jalan tol bagian jaringan tol lingkar luar (JORR) ini diharapkan akan mampu mengurangi volume lalu lintas dari arah Cawang menuju Pelabuhan Tanjung Priok.”
Presiden Jokowi menutup akhir petangnya pada awal pekan lalu dengan mengunggah status di Facebook soal tuntasnya proyek Tol Akses Tanjung Priok.
Foto Jokowi yang berkemeja putih dengan lengan kemeja agak digulung terlihat memandang pelabuhan Tanjung Priok dari ketinggian ruas layang tol yang sudah digarap sejak 15 tahun lalu. Seorang netizen Arif Setiawan langsung berkomentar. “Tapi kok dari Priok belum nyambung ke tol pelabuhan? “ tanya Arif keheranan.
Proyek Tol Akses Tanjung Priok memang masih menyisakan dua seksi (W1 dan W2) yang menghubungkan ruas tol ini dengan jaringan tol dalam kota di sisi barat pelabuhan sepanjang kurang lebih 6 km hingga ke wilayah Ancol. Namun, tol akses Priok sudah terangkai dengan Tol Wiyoto Wiyono di sisi selatan pelabuhan yang terhubung dengan wilayah Cawang. Artinya, konsep tol melingkar yang sudah digagas sejak 1990-an yakni menjadikan Jakarta dikelilingi oleh lingkaran jaringan tol atau JORR I sudah kesampaian. Tol melingkar itu dimaksudkan untuk mengurai kemacetan dalam kota.
Selesainya Jalan Tol Akses Tanjung Priok sepanjang 11,4 Km juga jadi momentum penting di tengah isu hambatan logistik dan dwell time di Pelabuhan Tanjung Priok. Tol baru ini tercatat sebagai bagian ruas pertama dari total 392 Km ruas tol yang rencananya akan diresmikan sepanjang 2017 ini.
Bila mengacu catatan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) hingga akhir 2016, beroperasinya Tol Akses Priok menambah daftar ruas tol di Indonesia dari 989 Km hingga menembus 1.000 km. Tentu ini catatan bersejarah, untuk kali pertama semenjak tol pertama Jagorawi diresmikan 38 tahun silam.
Sejak gagasan pembangunan JORR I, satu ruas perdana JORR seksi W2 Selatan menghubungkan Pondok Pinang-Veteran sepanjang 6,2 Km berhasil beroperasi pada 1991. Semenjak itu, pembangunan ruas JORR lainnya berjalan lamban karena persoalan lahan dan pasca krisis 1998.
Di belahan dunia lainnya pada waktu yang hampir bersamaan, di Beijing, Cina pada 1992 secara resmi mereka telah mengoperasikan satu jaringan jalan lingkar atau ring road II sepanjang 33 km. Ruas jalan sebagai pelapis ring road I pembatas Kota Terlarang atau Forbidden City di Beijing totalnya melingkar sepanjang 17 Km.
Berselang seperempat abad, Beijing sudah membangun 7 jaringan lingkar tol, sebagai salah satu jejaring ring road terpanjang di dunia. Ring road ke-7 selesai dibangun September tahun lalu dengan total panjang 1.000 Km—ring road ini nampak seperti kalung raksasa yang mengitari Kota Beijing dan menghubungkannya dengan kota lainnya terutama Provinsi Hebei.
Namun, meski bermodal jaringan expressway melingkar yang berlapis hingga 7 lingkaran dan dilengkapi transportasi massal seperti subway hingga bus kota, Beijing masih didera kemacetan parah. Jaringan tol lingkar yang selama ini mereka bangun tak kuasa membendung kemacetan di jalan karena makin pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi di Beijing. Jalan-jalan di Beijing menjadi tempat parkir raksasa.
Jalan Lingkar dan Kemacetan Beijing
Seorang kepala perencanaan kota dan wilayah dari University of California, Berkeley, Robert Cervero merindukan suasana Beijing pada 1980-an. Ia menggambarkan kala itu Beijing kota yang langka dari lalu lalang kendaraan roda empat. Sebaliknya sepeda jadi primadona warga kota, dan bus menjadi pilihan bagi para pekerja.
Namun, semua itu berakhir pada era 1990-an, saat jalan-jalan di Beijing sudah dipenuhi dengan kemacetan kendaraan dan gedung-gedung besar milik pemerintah di sekelilingnya. Sebagian warga Beijing pindah ke kawasan superblok di luar jalur ring road III. Di ibu kota Cina ini, kawasan yang tak elit, bagi mereka yang huniannya berada di akses ring road jauh dari jantung Beijing.
“Ini mirip dengan Kota Houston, Texas. Bertambahnya ring road di luar wilayah pinggiran,” kata Cervero.
“Di mana pun kamu menambah jumlah jalan, pembangunan tentu menambah kapasitas: masyarakat membeli lebih banyak mobil dan kamu cepat kembali kepada kemacetan,” katanya.
Beijing secara cepat menjadi lahan parkir bagi jutaan mobil. Sejak Cina bergabung menjadi anggota WTO pada 2001, industri mobil di Cina melaju pesat. Pada 2000 produksinya hanya 2 juta unit, lalu berselang satu dekade produksi mobil Cina sudah menggeliat hingga 18 juta unit pada 2010. Selama 2006-2010 penjualan mobil meningkat rata-rata 25 persen per tahun.
Menariknya pada periode 2001 hingga 2010, jalur ring road di Beijing bertambah dari hanya tiga cincin lingkaran, bertambah menjadi 6 cincin lingkaran. Ring road IV tuntas pada 2001, ring road V selesai 2003, dan ring road VI beroperasi 2009 yang jaraknya 15-20 km dari pusat Kota Beijing. Ketiga jalan lingkar ini menambah jaringan ring road terpadat di Beijing yaitu ring road III, melingkar sepanjang 48 Km.
Pada 2015, ada 23 juta mobil baru terdaftar di Cina, total kepemilikan kendaraan di Cina menembus 279 juta unit. Rata-rata dari 100 rumah tangga di Cina, sebanyak 31 keluarga punya mobil pribadi. Sedangkan untuk kota-kota besar seperti Beijing bisa mencapai 60 rumah tangga.
Akar mendasar apa yang dialami oleh Beijing dan kota-kota lainnya di Cina adalah migrasi yang masif dari penduduk pedesaan di pedalaman daratan Cina menuju kota-kota di pesisir yang berkembang pesat termasuk Beijing.“Ketika para imigran menjadi mapan dan kaya, mereka akan mempertimbangkan untuk membeli mobil,” jelas laporan Nielsen yang berjudul 2016 Global and China Vehicle Consumption Trend White Paper.
Banyaknya ring road nyatanya tak menjamin Beijing terbebas dari kemacetan. Persis seperti yang digambarkan oleh Robert Cervero. TomTom Traffic Index 2017 menempatkan Beijing di peringkat ke-10 sebagai kota paling macet di dunia, dan juga termasuk salah satu kota termacet di Cina. Ironisnya, Jakarta berada di posisi jauh lebih buruk yaitu di posisi ke-3.
Beijing sebagai kota yang dilanda kemacetan telah melakukan banyak hal termasuk membangun banyak jalan lingkar yang mengelilingi kota, khususnya menjelang mereka jadi tuan rumah Olimpiade 2008. Transportasi massal pun mereka kembangkan, bahkan pengendalian kendaraan pun sudah dilakukan. Sejak awal 2011 Beijing menerapkan sistem kuota kendaraan baru dan menerapkan undian bagi calon pembeli mobil dan penerbitan plat nomor mobil. Tujuannya untuk mengendalikan populasi mobil di sana. Sayangnya, semua itu tidak signifikan dalam mengurangi kemacetan.
Jakarta dan Beijing memiliki kesamaan sebagai sepuluh besar kota termacet di dunia. Selain itu, kedua kota juga menghadapi masalah pelik urbanisasi. Kedua kota ini sama-sama mengembangkan jaringan ring road yang mengelilingi kota-- yang melahirkan wilayah rambahan baru kawasan properti dan sentra bisnis. Bedanya, Beijing sudah lebih maju untuk urusan transportasi massal daripada Jakarta.
Perbedaan lainnya, konsep jalan lingkar di Beijing membentuk lingkaran penuh, sedangkan JORR di Jakarta tak membentuk lingkaran utuh. Jaringan Tol Lingkar Dalam (Tol Dalam Kota dan Wiyoto Wiyono), Tol JORR I (Penjaringan-Pondok Indah-Kampung Rambutan-Tanjung Priok), dan rencana pembangunan JORR II (Bandara-Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok)—mengarah ke satu ruas tol di utara Jakarta yaitu Tol Akses Tanjung Priok. Ini bakal menjadi bom waktu di masa depan dengan potensi kemacetan baru.
Belajar dari yang apa yang terjadi dengan Beijing, memaksimalkan jaringan transportasi massal dan pengendalian jumlah kendaraan pribadi sebagai sebuah solusi yang layak, tapi memang tak mudah. Beijing memang masih mengalami kemacetan, tapi ia lebih baik dari Jakarta soal peringkat kota termacet. Ini menegaskan kembali apa yang disampaikan oleh Robert Cervero.
“Menambah jalan bisa mendorong kemacetan baru.”