Menuju konten utama

Menyingkirkan MUI, Mengambil Alih Sertifikasi Halal

Undang-Undang Jaminan Produk Halal bakal menugaskan lembaga baru untuk menerbitkan sertifikasi halal. Nantinya, sertifikasi halal akan dilakukan oleh BPJPH, yang kewenangannya di bawah Kementerian Agama. Dana sertifikasi halal nantinya akan masuk ke kantong negara. MUI agaknya harus ikhlas. Namun, keberadaan lebih dari satu LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) dinilai berpotensi menimbulkan multiinterpretasi atas kehalalan sebuah produk.

Menyingkirkan MUI, Mengambil Alih Sertifikasi Halal
Label Halal MUI tertempel di kaca gerai Solaria, Jakarta. tirto/tf subarkah

tirto.id - Setahun lagi, MUI akan kehilangan hak atas penerbitan sertifikasi halal. Lembaganya para alim ulama itu harus menyerahkan kewenangan menerbitkan sertifikasi halal kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Meski demikian, MUI masih dilibatkan dalam pemberian fatwa halal maupun haram.

BPJPH merupakan lembaga yang pembentukannya merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU JPH yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014 itu, mengamanatkan pembentukan BPJPH paling lambat tiga tahun setelah UU disahkan atau pada 2017.

“Jadi UU 33/2014 memberikan payung hukum terhadap sertifikasi halal yang selama ini tidak memiliki regulasi,” kata Mochammad Jasin, Irjen Kementerian Agama.

Berdasarkan UU JPH pasal 6 yang mengatur tentang wewenang BPJPH, pada huruf (c), jelas disebut bahwa BPJPH berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk.

Selain soal kewenangan menerbitkan sertifikat halal, ada beberapa poin lain yang bakal menguntungkan pemerintah. Salah satunya, keberadaan BPJPH di bawah kendali Kementerian Agama yang bakal mempermudah pemerintah dalam melakukan audit.

“Audit bisa dilakukan atas permintaan menteri agama atau jika ada laporan dari masyarakat terhadap penyalahgunaan kewenangan. Jika diketahui BPJPH melakukan jual-beli sertifikat halal, maka Inspektorat Jenderal Kemenag bisa mengusutnya,” kata Jasin.

Keuntungan lain, dana yang diperoleh dari sertifikasi halal bisa dimasukkan ke kas negara melalui jalur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh sebab itu, nantinya besaran tarif proses sertifikasi bakal ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. “Selama ini aturannya tidak ada. Kita tidak tahu biaya (sertifikasi) tersebut masuk ke mana,” tambahnya.

Nurgina, Kepala Seksi Penyuluhan Produk Halal dan Pengawasan, Kementerian Agama menambahkan, terbentuknya BPJPH merupakan menjamin keamanan dan kenyamanan produk-produk asal Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.

“Pernah terjadi kasus, ada produk Indonesia yang tidak diterima negara luar karena yang sertifikasi adalah MUI. Mereka menganggap sertifikasi itu bukan bagian dari pemerintah sehingga ditolak. Jadi dengan adanya BPJPH, maka kita menjaga produk Indonesia di luar negeri,” katanya.

Wajib Halal 2019

UU JPH yang disetujui rapat paripurna DPR pada 25 September 2014, memang bertujuan menjamin keamanan konsumen dan masyarakat, khususnya mayoritas muslim di negeri ini. Sebab secara tegas disebutkan, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

UU yang terdiri dari 68 pasal itu juga tegas menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH). Tanggung jawab itu kini dipikul oleh BPJPH.

Wewenang BPJPH antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan registrasi sertifikat halal bagi produk luar negeri.

Sertifikat halal wajib untuk seluruh produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, mulai berlaku lima tahun sejak UU JPH diberlakukan, atau efektif pada tahun 2019.

Adapun kriteria produk halal yang dimaksud UU JPH adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat Islam. Meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat.

Masih berdasar UU JPH, bahan yang dipergunakan di dalam produk halal meliputi bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong, yang berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

Sementara bahan dari hewan yang diharamkan adalah bangkai, darah, babi, atau hewan yang disembelih tidak sesuai syariat Islam. Itu belum termasuk bahan dari tumbuhan yang memabukkan atau membahayakan kesehatan orang yang mengonsumsinya.

Adapun masa berlaku sertifikasi halal juga bakal terjadi perubahan. Jika saat ini hanya dua tahun, nantinya bakal berlaku empat tahun. Kecuali, tentu saja, jika terjadi perubahan komposisi bahan sebuah produk. Sertifikat halal juga wajib diperpanjang oleh pemilik produk dengan mengajukan pembaruan paling lambat tiga bulan sebelum masa berlaku sertifikasi lama berakhir.

Produk Farmasi Jadi Persoalan

Lalu adakah sisi negatifnya? Salah satu yang dianggap bakal berpotensi menjadi persoalan di dalam UU JPH adalah diperbolehkannya berbagai pihak untuk mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang berfungsi memeriksa atau menguji kehalalan produk.

Syarat untuk mendirikan LPH memang cukup berat, yakni harus mempunyai kantor sendiri, harus diakreditasi BPJPH, memiliki minimal tiga auditor halal, juga harus punya akses atas laboratorium. Namun, keberadaan lebih dari satu LPH dinilai berpotensi menimbulkan multiinterpretasi atas kehalalan sebuah produk.

Hal lain yang dianggap sulit direalisasi adalah kewajiban sertifikasi halal pada produk farmasi. Sebab selama ini, ada obat dan vaksin yang menggunakan bahan baku kimia dari beberapa negara. Hal itu diprediksi bakal menyulitkan lembaga penerbit sertifikat halal untuk melakukan verifikasi.

Menurut Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), proses kimia pengolahan bahan baku farmasi berlapis. Maksudnya, ada bahan baku yang harus diproses di dua negara sekaligus. Hal itu berarti petugas lembaga sertifikasi harus menyambangi satu per satu pabrik pemasok untuk memastikan kehalalan bahan bakunya.

“Jika pemerintah berkeras menerapkannya, pebisnis farmasi tak berani lagi memproduksi obat karena takut terkena sanksi. Imbasnya, pasokan obat ke masyarakat terganggu,” kata Parulian.

Terlepas dari beberapa persoalan yang muncul, pemerintah agaknya masih belum melihat perlunya melakukan amandemen terhadap UU JPH. Menurut Nurgina, pemerintah saat ini justru sedang dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai regulasi turunan dari UU tersebut. Termasuk proses penyusunan struktur BPJPH mulai dari pusat hingga daerah.

“Harapannya tahun ini sudah keluar PP, tahun 2017 sudah bisa dilaksanakan. Saat ini, kita mau solid dulu, kita menggandeng ormas dalam penerapan produk halal, termasuk MUI,” katanya.

Bagaimana penanganan sertifikasi halal oleh BPJPH? Apakah lebih baik, sama saja, atau lebih buruk dari MUI? Mari bersabar hingga 2017.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKASI HALAL atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti