Menuju konten utama

"Apa Dulu Tujuannya Dibuka kepada Publik?

LPPOM MUI tidak menerima dana APBN. Karenanya, LPPOM MUI merasa tak perlu melaporkan penggunaan dananya ke pemerintah. LPPOM MUI hanya melaporkannya kepada pimpinan MUI yang selaku pelaksana pemberi sertifikasi halal untuk memberi laporan pertanggungjawaban kepada Menteri Agama. Ini sama saja dengan konsep perusahaan swasta, karena MUI mengelola sendiri keuangannya.

Osmena Gunawan. TIRTO/Andrey Gramico

tirto.id - Dana yang diperoleh dari proses sertifikasi halal di dunia ternyata menggiurkan. Pada tahun 2014, misalnya, total pendapatan mencapai Rp1,8 triliun. Lalu berapa pendapatan yang diperoleh MUI selaku pihak yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal di Indonesia?

Osmena Gunawan, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Makanan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), punya jawabannya. “Gambarannya, Rp2,5 juta untuk sertifikasi halal. Kalau dua orang, maka Rp 5 juta. Kalau yang daftar 100 orang, maka dikali saja Rp2,5 juta,” katanya kepada Tirto.id yang menemui di kantornya, pada Selasa (12/4/2016). Berikut penjelasan Osmena terkait dana pemasukan dari proses sertifikasi halal yang diterbitkan MUI.

Berdasarkan laporan "State of The Global Islamic Economy Report 2015- 2016", Indonesia memiliki konsumen produk halal tersebesar di dunia. Namun mengapa produsen produk halal terbesar justru bukan Indonesia?

Sebenarnya kebutuhan sertifikasi halal itu tinggi. Tapi masalahnya, perlu pembinaan, pelatihan dan pendampingan kepada pelaku usaha. Sebagian besar produk UMKM (Usaha Makro, Kecil dan Menengah) di Indonesia merupakan usaha sampingan atau sambilan. Bukan usaha yang profesional seperti perusahaan. Usaha sambilan harusnya didukung dan perlu komitmen pemerintah, sebab mereka kadang-kadang iseng meski hasilnya bagus dan potensi pasarnya ada.

Maksud Anda, faktor anggaran buat mendukung pengembangan UMKM menjadi persoalan?

Kalau masalah anggaran tidak ada halangan. Contohnya Dinas UMKM DKI Jakarta. Mereka memiliki anggaran besar untuk sertifikasi halal, meski yang terserap hanya 20 persen. Hal ini terjadi karena ketakutan menggunakan anggaran sehingga dananya tidak terpakai.

Sebaliknya, anggaran yang besar juga tidak akan berguna jika di bawah (pelaku usaha) tak menyambutnya dengan baik. Contohnya, persoalan sertifikasi halal bagi 600 UMKM DKI Jakarta. Mereka belum terdata. Seharusnya kan jauh-jauh hari sudah disiapkan oleh Dinas UMKM DKI Jakarta. Awal tahun harus disiapkan, bukan di akhir tahun baru didesak-desak untuk menyelesaikan sertifikasi halal.

Saya sendiri tidak mau karena tidak sesuai dengan SOP (standard operation procedure). Di sini bukan cetak sertifkasi halal terus selesai. Tapi kita mau, mereka (pelaku usaha) benar-benar melakukan pelaksanaan sertifkasi halal. Secara manjemen banyak sekali yang kurang di Indonesia.

Pendapatan dari sertifikasi halal di dunia mencapai $6,7 miliar. Berapa pendapatan sertifikasi halal MUI dalam setahun lalu?

Saya enggak tahu. Itu urusan orang keuangan. Gambarannya, Rp2,5 juta untuk sertifikasi halal. Kalau dua orang maka Rp5 juta. Kalau yang daftar 100 orang, maka dikali saja Rp2,5 juta.

Dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, dana yang diperoleh dari publik harus dibuka kepada publik. Apa MUI pernah melaporkan dana hasil sertifikasi halal yang dikutip dari masyarakat?

Untuk apa dulu? Keterbukaan itu apa, terjemahkan itu. Untuk siapa dulu? Setiap kamu pergi, lapor enggak sama orang tuamu habis berapa (uang saku) hari ini? Kita sudah terbuka kepada publik. Biaya sertifikasi halal ada di website resmi MUI. Kita juga lakukan audit dengan akuntan publik. Tadi baru rapat dengan Pimpinan Pusat MUI membahas ini dan kita juga bayar pajak. Apa dulu tujuannya dibuka kepada publik?

Akuntan mana?

Akuntan publik yang ditunjuk MUI. Kita enggak diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) karena bukan dana APBN.

Dana sertifikasi halal itu dikelola siapa dan apakah masuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)?

Dana itu dikelola MUI sendiri. Dan LPPOM MUI tidak dibiayai oleh negara. Jadi enggak masuk ke PNBP. Ini sama saja dengan konsep perusahaan swasta, seperti rumah sakit dan sekolah swasta. Mereka mengelola sendiri keuangannya untuk operasional seperti gaji dosen, gedung dan sebagainya. MUI juga seperti itu. Kita minta ke perusahaan untuk biayai auditor, operasional, dan sebagainya. Bahkan, biaya sertifikat halal MUI itu termurah di seluruh dunia.

Termahal di mana?

Saya enggak tahu, tapi orang bilang murah. Kita juga tak mau berurusan membanding-bandingkan. Itu urusan negara orang. Terserah kebijakan mereka masing-masing.

Di dalam SK Menteri Agama No 518 Tahun 2001 mewajibkan MUI selaku pelaksana pemberi sertifikasi halal untuk memberi laporan pertanggungjawaban kepada Menteri Agama. Apakah dana sertifikasi halal termasuk pertanggungjawaban yang harus dilaporkan?

Kalau (dana asal) APBN kita laporkan karena dana dari negara. Kalau dana sertifikasi halal untuk apa kita laporkan? Kan bukan dari APBN? Jadi LPPOM MUI cukup melaporkan kepada Pimpinan MUI Pusat saja.

Berarti menurut Anda tidak ada kewajiban MUI untuk melaporkan keuangannya ke Kemenag?

Kalau APBN kita laporkan ke negara. Sebab jika tidak, maka hancur negara ini. Untuk dana sertifikasi halal, LPPOM MUI laporkan penghasilannya ke pimpinan MUI Pusat.

Kalau dana APBN yang masuk ke LPPOM MUI, berapa setiap tahunnya?

Seumur hidup saya di sini atau 27 tahun di LPPOM MUI, belum pernah kita terima dana APBN. Saya hanya tahu itu. Di luar itu bukan kewenangan saya.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti