Menuju konten utama

Ikhtiar MUI Pertahankan Sertifikasi Halal

Sebelum lahir UU Jaminan Produk Halal, Ketua Umum MUI sempat menggalang dukungan dari sejumlah ormas Islam agar proses sertifikasi halal tetap menjadi kewenangannya. MUI juga gencar mengabarkan tentang legalitas yang dimilikinya untuk menerbitkan sertifikasi halal. Ada sejumlah undang-undang dan peraturan menteri yang menjadi landasan bagi MUI dalam menerbitkan sertifikat halal. Sayang, upaya itu tak membuahkan hasil. Mulai 2017, sertifikasi halal tak lagi menjadi wewenang MUI.

Ikhtiar MUI Pertahankan Sertifikasi Halal
Label Halal MUI tertempel di kaca gerai Solaria, Jakarta. tirto/tf subarkah

tirto.id - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin secara terbuka pernah meminta dukungan ormas Islam agar kewenangan untuk menerbitkan sertifikasi halal tetap berada di tangan lembaga tersebut. Permohonan disampaikan di saat DPR sedang aktif membahas rancangan undang-undang tentang Jaminan Produk Halal.

“MUI mengharapkan dukungan Ormas Islam agar kewenangan sertifikasi halal tetap di MUI, tidak perlu diambil oleh pemerintah karena masalah konsumsi halal merupakan ajaran agama, maka perlu dasar fatwa ulama,” kata Din Syamsuddin, saat memberikan sambutan pada Forum Ukhuwwah Ormas Islam Maret 2014 lalu.

Din mengakui, telah terjadi tarik-menarik yang sangat kuat karena pihak Kementerian Agama bersikeras agar kewenangan menerbitkan sertifikasi halal ditarik ke pihaknya. Selain itu, Din juga mengharap kerelaan dari Ormas Islam agar sertifikasi halal tidak dicampuri oleh ormas yang memiliki lembaga fatwa. Tujuannya, agar tak terjadi tumpang-tindih dan kebingungan terkait sertifikasi halal.

“Di MUI sudah ada Komisi Fatwa yang terdiri dari sejumlah Ormas Islam,” kata Din sembari menegaskan bahwa sertifikat halal merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses yang dihasilkan dari fatwa.

Namun, Din juga melihat bahwa DPR ingin mengambil jalan tengah dengan membentuk sebuah badan di bawah Kementerian Agama yang berhak menerbitkan sertifikat halal, sementara MUI hanya berfatwa. “Ambil semua atau tinggalkan semua,” katanya.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini tetap berharap agar nantinya sertifikat halal tetap dikeluarkan oleh MUI. “Saya ingin RUU JPH dapat selesai selesai sekarang dan sertifikasi tetap di MUI. Untuk pengawasan dan sosialisasi bisa dilakukan pemerintah,” kata Din.

Permohonan dukungan Din tampaknya mendapat respons. Sebanyak 17 Ormas Islam menyatakan sepakat bahwa kewenangan menerbitkan sertifikat halal tetap berada di tangan MUI. Beberapa ormas yang memberi dukungan di antaranya; Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, Al Irsyad, Pengurus Besar Tarbiyah, atau Matlaul Anwar.

Nama MUI di PP Label Pangan

Selain menggalang dukungan dari Ormas Islam, MUI juga gencar mengabarkan tentang legalitas yang dimilikinya untuk menerbitkan sertifikasi halal. KH Amidhan Shaberah, Ketua MUI, kebagian tugas itu

Menurut Kiai Amidhan, ada sejumlah undang-undang dan peraturan menteri yang menjadi landasan bagi MUI dalam menerbitkan sertifikat halal. Yakni UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Selain itu, dua keputusan menteri agama yang dikeluarkan pada 30 November 2001. Yakni Keputusan Menag Nomor 518 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal dan Keputusan Menag Nomor 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.

"Ditambah satu lagi, Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan MUI tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan tertanggal 21 Juni 1996," kata Kiai Amidhan.

Seperti apa dukungan beleid-beleid tersebut terhadap MUI? Pada dua UU yang disebut, yakni UU Nomor 8/1999 dan UU Nomor 18/2009, keduanya memang menyebut soal label Halal. Nama MUI barulah muncul pada Peraturan Pemerintah Nomor 69/1999.

Pada UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, masalah label halal muncul pada Pasal 8 (1) yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang...” Pada huruf (h) disebutkan: “tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”.

Kemudian pada UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, masalah halal diatur pada Pasal 58. Yakni pada ayat (4) yang berbunyi:“Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal”.

Juga pada ayat (5) yang berbunyi: Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara pengimpor. Selanjutnya di dalam penjelasan untuk Pasal 58 untuk ayat (4) disebutkan: “Yang dimaksud dengan 'sertifikat halal' adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk halal di Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Berbeda dengan dua UU tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, secara tegas menyebut tentang MUI. Persoalan halal sendiri tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 11.

Pada Pasal 11 huruf (2) disebutkan: “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan mempertimbangkan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.” Selanjutnya pada bagian penjelasan terhadap Pasal 11 ayat (2) ini disebutkan, “Lembaga keagamaan dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia”.

Sejatinya, setelah UU JPH lahir pada 17 Oktober 2014, Komisi VIII DPR yang membidani lahirnya UU tersebut masih mencoba mencari masukan terkait penerapan UU JPH.

Pada 10 November 2014, digelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bertema “Persoalan tentang Keumatan dan Implementasi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal” antara Komisi VIII dengan MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Pada kesempatan itu, Kiai Amidhan kembali menyuarakan pendapatnya. “Oleh karena itu, regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada dan dilangsungkan selama ini, terutama berkenaan dengan proses sertifikasi halal, dan fatwa halal oleh Komisi Fatwa MUI,” katanya.

Sementara itu, Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim mengatakan bahwa, proses sertifikasi halal berbeda dengan sertifikasi mutu pada umumnya. Sebab, kaidah halal merupakan kaidah syariah dengan prinsip-prinsip yang sudah baku dari Allah SWT (Al-Quran) dan Rasulullah SAW (Al-Hadits), juga ranah kewenangan para ulama.

Oleh sebab itu, dengan berpegang pada prinsip yang baku ini, maka sudah jelas bahwa persoalan halal tidak dapat dinegosiasi, ditawar, apalagi diintervensi sesuai kepentingan pihak-pihak yang menginginkannya. Seperti kepentingan politik pemerintahan, perdagangan, bahkan juga kajian sains atau intervensi secara ilmiah. “Maka penetapan fatwa dengan melibatkan unsur-unsur non-keulamaan, niscaya akan menimbulkan permasalahan yang krusial,” kata Lukmanul.

UU JPH toh sudah terlanjur lahir dan mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pada Pasal 6 yang mengatur tentang wewenang BPJPH, pada huruf (c) jelas disebut bahwa BPJPH berwenang menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk. Aturan yang secara tegas telah mamangkas wewenang MUI.

Baca juga artikel terkait HALAL atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Hukum
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti