Menuju konten utama

Menko Luhut: RI Siap Luncurkan Bursa Karbon pada September 2023

Perdagangan karbon dianggap bisa mempercepat usaha Indonesia untuk memenuhi target net-
zero emission pada 2060 mendatang.

Menko Luhut: RI Siap Luncurkan Bursa Karbon pada September 2023
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan arahan saat pembukaan kegiatan Youth Voice: Coral Reef Restoration ICRG (Indonesia Coral Reef Garden) di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kembali menegaskan kesiapan Indonesia untuk meluncurkan skema bursa karbon pada September 2023.

Perdagangan karbon dianggap bisa mempercepat usaha Indonesia untuk memenuhi target net- zero emission pada 2060 mendatang atau bahkan lebih cepat.

“Kami berencana untuk meluncurkan perdagangan karbon pada bulan September 2023," kata Luhut di Jakarta, Senin (24/7/2023).

Awal Juli, Luhut pernah mengungkap hal yang sama. Agar perdagangan karbon bisa dilakukan lebih cepat, Kemenkomarves bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian sedang merancang aturan yang nantinya berupa Permen LHK tentang Tata Laksana Perdagangan Karbon Luar Negeri.

Peraturan ini diproyeksikan selesai pada Agustus 2023 dan diharapkan dapat memperkuat agenda ekonomi hijau Indonesia.

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh riset Bain and Company, Temasek, GenZero, bersama Amazon Web Services bertajuk Southeast Asia’s Green Economy 2023 Report: Cracking the Code (2023), investasi untuk mendukung program ekonomi hijau di Asia Tenggara sebenarnya mengalami penurunan. Nilai investasi hijau Asia Tenggara pada 2022 hanya mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp78,05 triliun (Kurs Rp 15.010).

Secara tahunan, angka investasi itu merosot sebanyak 7 persen. Pada 2021, investasi di kawasan Asia Tenggara sempat mencapai US$5,6 miliar dan di tahun 2020 sebesar US$6,6 miliar. Masih menurut laporan, Bain and Company, dkk, ketidakpastian regulasi dan perizinan menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya investasi hijau di Asia Tenggara.

Meski demikian, dengan ketidakjelasan aturan itu, lebih dari 50 persen investasi hijau mendarat di Indonesia dan Singapura.

“Asia Tenggara terus bergantung pada investasi asing, sejumlah investasi menuju Singapura, Indonesia, dan energi terbarukan, tetapi lebih lambat dari yang diproyeksikan,” catat laporan tersebut.

Senior Associate Green Finance Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia, Titaningtyas memandang Indonesia sebenarnya bisa lebih banyak menarik investasi dalam program investasi hijau, utamanya dalam sektor penanganan krisis iklim.

“Sumber pendanaan sebenarnya ada, investor yang berminat masuk ke Indonesia juga banyak. Namun banyak pemilik inisiaitf atau proyek yang tidak tahu cara mengakses sumber pendanaan itu,” kata Titaningtyas dalam diskusi Indonesian Climate Journalist Network yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia dan Kedutaan Besar Denmark, akhir Mei lalu.

Baca juga artikel terkait BURSA KARBON atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Bisnis
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Restu Diantina Putri