tirto.id - Sebanyak 150 organisasi disabilitas dan organisasi masyarakat sipil, serta 47 individu yang berasal dari kalangan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), aktivis buruh dan aktivis perempuan menuntut Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI), Sri Mulyani Indrawati.
Mereka menuntut agar Sri Mulyani memulihkan hak DH untuk kembali bekerja di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
DH merupakan seorang penyandang disabilitas skizofrenia paranoid Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenkeu yang telah dipecat oleh Kemenkeu karena dianggap mangkir atau absen dalam menjalankan kewajibannya.
“Yang terhormat Ibu Sri Mulyani, jangan langgar hak bekerja bagi penyandang disabilitas!” seru organisasi disabilitas dan organisasi masyarakat sipil pemberi dukungan bagi DH kembali bekerja di Kemenkeu melalui keterangan tertulis, Senin (30/5/2022).
Mereka menerangkan bahwa bunyi Pasal 45 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada penyandang disabilitas”.
“Kewajiban pelindungan tenaga kerja disabilitas dalam implementasinya di Kementerian Keuangan RI rupanya tidak berjalan sesuai mandatnya,” ujar para pendukung DH.
Pada 12 November 2020 lalu, DH telah dipecat oleh Kemenkeu karena dianggap absen menjalankan kewajibannya. Faktanya, ketidakhadiran DH bukan karena kehendaknya, namun karena disebabkan kekambuhan (relapse) periodik akibat skizofrenia yang disandangnya, hal ini umum terjadi pada penyandang disabilitas mental.
DH sendiri selama bekerja di Kemenkeu memiliki prestasi kerja hingga menciptakan aplikasi berbasis digital dalam administrasi persuratan khusus internal di sebuah departemen kementerian tersebut.
Dalam UU Nomor 08 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan bahwa pemberi kerja wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Salah satu bentuk akomodasi yang layak adalah memberikan cuti atau izin khusus untuk pengobatan bagi penyandang disabilitas, termasuk memberikan fleksibilitas kerja.
“Alih-alih menjalankan mandat Undang-Undang untuk melindungi hak-hak disabilitas, namun Kementerian Keuangan RI justru memecat DH,” kata 150 organisasi disabilitas dan masyarakat sipil itu.
Tindakan diskriminatif Kemenkeu terhadap disabilitas mental ini telah digugat oleh DH kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, DH juga didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Perhimpunan Jiwa Sehat. Kemudian pada tanggal 2 Juni 2022, sudah memasuki sidang dengan agenda putusan perkara.
Sejak munculnya kasus ini, DH mendapatkan atensi, empati, serta dukungan dari publik. Sebanyak 150 organisasi disabilitas dan organisasi masyarakat sipil, serta 47 individu yang berasal dari kalangan pegiat HAM, aktivis buruh dan aktivis perempuan, telah memberikan dukungan kepada DH. Selain itu, para organisasi dan individu yang memberikan dukungan juga mendesak dan menuntut beberapa hal sebagai berikut:
- Mendukung perjuangan DH mendapatkan haknya untuk kembali bekerja dan dipulihkan dari segala tuduhan dan sanksi;
- Menuntut Kemenkeu segera mencabut surat keputusan (SK) pemberhentian DH dan memulihkan hak-haknya;
- Menuntut Kemenkeu dan Pemerintah Indonesia wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi pekerja dengan disabilitas sesuai mandat UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 08 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;
- Menyayangkan sikap PTTUN, yaitu tidak menyediakan akomodasi yang layak bagi DH sebagai difabel yang berperkara;
- Dan menuntut PTTUN untuk segera menyediakan akomodasi yang layak bagi DH, termasuk penyediaan psikiater bagi sesuai kebutuhannya selama proses peradilan berlangsung.
Selain itu, mereka juga berharap Kemenkeu dapat belajar menyediakan akomodasi yang layak, serta memberikan rasa aman dan jaminan kembali bekerja kepada DH.
“Sebab jika tidak, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan RI benar adanya dengan sadar telah mencoreng dan melanggar proses dan upaya pemerintah Indonesia dalam melaksanakan penghormatan atas Hak Asasi Manusia penyandang disabilitas,” sambung mereka.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri