tirto.id - "Asal bukan PKS"
Potongan kalimat itu sempat muncul saat proses pemilihan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, pengganti Sandiaga Uno. Musababnya para politisi di Kebon Sirih khawatir partai berbasis Islam tersebut menjadi lebih besar karena menduduki posisi orang nomor dua di Ibu Kota. Lihat saja, tanpa ada cawagub dari kadernya, PKS berhasil menambah kursi legislatif sebesar 50 persen.
Kekhawatiran itu berbuntut pada proses pemilihan calon gubernur DKI Jakarta berlangsung alot selama 16 bulan. Bahkan pemilihan cawagub dari PKS dibuat prasyarat tertentu yang tidak ada dalam kesepakatan awal antara PKS dan Gerindra. Misalnya, tiga kandidat cawagub Abdurrahman Suhaimi, Ahmad Syaikhu, dan Agung Yulianto harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan.
"Betul (tidak ada kesepakatan di awal)," kata Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI Achmad Yani kepada Tirto, Jakarta (30/1/2020).
Walaupun demikian, PKS tetap mengikuti usulan Partai Gerindra untuk melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan di Hotel Aston TB Simatupang Jakarta Selatan akhir Januari- 8 Februari 2019. Kegiatan yang berlangsung sekitar satu minggu lebih itu di antaranya kandidat menyusun pemikiran tentang Jakarta, wawancara rekam jejak dan pemahaman rencana kerja jangka menengah daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2018-2022.
Alhasil, nama Ahmad Syaikhu dan Agung Yulianto terpilih sebagai kandidat cawagub hasil rekomendasi tim panelis uji kelayakan dan kepatutan pada 11 Februari. Perjalanan selanjutnya adalah menyerahkan dua nama kandidat cawagub ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Lagi-lagi, proses tersebut tidak mulus sesuai keinginan PKS sebab belum ada tanda tangan DPD Gerindra DKI Jakarta.
Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto marah, sebab mendapat laporan langsung dari Presiden PKS Sohibul Iman terkait berlarutnya proses penandatanganan cawagub DKI Jakarta. Tak lama kemudian, 22 Februari 2019, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik melaksanakan pertemuan dengan Ketua DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo di Al Jazeerah Signature Restaurant Lounge, Kebon Sirih.
"Suratnya sudah kami tanda tangani dan insyaAllah akan disampaikan ke Gubernur DKI (Anies Baswedan) untuk disampaikan lagi ke DPRD," kata Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta M Taufik kepada awak media.
Sayangnya, acara formal tersebut tidak dihadiri oleh Sekretaris DPD Gerindra Husni Thamrin. Alhasil, proses penyerahan nama cawagub tersebut molor lagi. Dalam foto dokumentasi yang diperoleh Tirto, Taufik berbaju kemeja abu-abu hanya ditemani wakil ketua DPD Gerindra. Taufik memegang dokumen bersama Syakir Purnomo, tapi jempol kirinya berupaya menutupi tandatangan Thamrin yang sebenarnya belum ditandatangani. Raut wajahnya datar, berbeda dengan Syakir yang sumringah.
Selang empat hari kemudian, spanduk berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih sempat terpampang di depan Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Selasa (26/2/2019). Spanduk itu bertuliskan "Kite Menolak Wagub DKI Jakarta Dari PKS". Pada bagian bawah spanduk itu terdapat tulisan dan logo Forum Betawi Rempug (FBR).
Ketua Umum FBR Luthfi Hakim mengkonfirmasi pemasangan spanduk dan penolakan terhadap Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dari PKS karena tidak kenal.
Juru Bicara DPP PKS Pipin Sopian mengatakan publik bisa menilai ada kelicikan sebagian orang untuk menjegal posisi Wakil Gubernur DKI Jakarta dari PKS. Hal itu, bisa terlihat dalam proses pemilihan cawagub yang terus diundur-undur dan tidak ada penjelasan dari DPRD terkait penolakan kadernya.
"Bisa jadi orang di depan panggung menyampaikan tidak menjegal (PKS) tapi di belakang panggung ada melakukan itu," kata Pipin.
Menagih Komitmen Gerindra
Pada 1 Maret 2019, partai pengusung Anies-Sandi akhirnya menyerahkan dua nama kader PKS Ahmad Syaikhu dan Agung Yulianto kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui Sekda Saefullah. Namun, baru pada 4 Maret 2019, orang nomor satu DKI Jakarta merespons dengan menyerahkan nama calon pendampingnya ke sekretaris dewan agar pembahasan secepatnya dimulai.
Pada pertengahan Maret 2019, DPRD DKI Jakarta sepakat membentuk panitia khusus pemilihan wakil gubernur DKI. Tugasnya menyusun tata tertib (tatib) pemilihan wagub. Saat itu, fraksi DPRD DKI cukup lama mengirim nama perwakilan sekretariat DPRD sehingga pansus pemilihan wagub baru dibentuk 13 Mei 2019.
Alhasil, draf tatib baru rampung pada 9 Juli 2019. Persoalan kembali muncul, draf tatib harus dibahas dalam rapat pimpinan gabungan (Rapimgab) DPRD DKI Jakarta sebelum pengesahan lewat rapat paripurna.
Sayangnya Rapimgab untuk membahas tata tertib pemilihan wagub tak pernah terlaksana. Rapimgab terus batal dan diundur sebanyak tiga kali. Pertama, rampimgab harusnya dilaksanakan pada 10 Juli 2019. Kemudian diundur menjadi 15 Juli 2019 karena banyak pimpinan fraksi DPRD tidak hadir dan tidak memenuhi syarat kourom sebab hanya 17 anggota dewan yang hadir. Rapimgab dijadwalkan ulang pada 16 Juli 2019, lagi-lagi tidak memenuhi hanya dihadiri sembilan orang.
"Dengan tidak adanya korum, berarti ada pihak lain yang memang tidak menginginkan pemilihan (cawagub PKS) ini mulus," kata Ahmad Yani menegaskan.
Sebaliknya, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik mengatakan pihaknya telah memenuhi janji untuk memberikan kursi cawagub DKI kepada PKS. Buktinya dengan menandatangani persetujuan dua kandidat dari PKS sebagai cawagub DKI. Namun, ketika proses pemilihan sudah masuk ke gedung Dewan DKI maka jangan menyalahkan Gerindra.
"Kalau soal komitmen sudah kami tunaikan, tapi ketika Anda tidak berhasil meyakinkan kawan-kawan DPRD jangan dibalikin ke Gerindra dong. Itu kelemahan anda sendiri," kata Taufik.
Ia menambahkan ketidakhadiran anggota Dewan menjadi penyebab rapimgab gagal korum. Bahkan bukan hanya fraksi lain yang tidak hadir melainkan pimpinan PKS juga tidak menghadiri rapat rampimgab tambah Taufik.
Menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu, Ahmad Yani menegaskan jika benar-benar Gerindra mendukung cawagub dari PKS maka pimpinan Gerindra hadir dalam pembahasan rapimgab, tapi fakta sebaliknya pimpinan Gerindra tidak menghadiri rapat tersebut sebanyak tiga kali. Padahal, jika hadir maka rapat rampimgab bisa berlangsung cepat.
Berbeda dengan Taufik, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono mengatakan tidak ada komitmen hitam di atas putih antara Gerindra dan PKS terkait cawagub DKI. Pembicaraan tersebut hanya lisan sehingga menjadi hal biasa.
"Kalau kita enggak ada komitmen hitam di atas putih (perjanjian formal). Kalau cuma ngomong-ngomong ya biasalah itu," kata Arief saat dihubungi Tirto, Rabu malam, Jakarta (29/1/2020).
Kompromi atau Kalah Politik?
Tiga tahun lalu, pertama kali PKS dan Gerindra bersepakat mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Saat itu, PKS tidak menempatkan kadernya sebagai calon kandidat. Kedua, pada Pilpres 2019-2024, PKS dan Gerindra kembali bersepakat mengusung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai capres-cawapres. Lagi-lagi, tidak ada kader PKS.
Terakhir, saat kursi DKI Jakarta kosong peninggalan Sandia Uno yang awalnya untuk kader PKS. Lagi-lagi partai berbasis islam harus puas berbagi tiket dengan Gerindra karena dua nama cawagub PKS itu mandek di gedung DPRD DKI Jakarta. Hal itu diakui Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo.
"Kenapa enggak dua-duanya nama PKS. Bisa bayangkan kalau seandainya PKS kekeh, kira-kira kelar? Enggak selesai-selesai, kasihan warga Jakarta," kata Syakir kepada awak media, Jakarta, Selasa (21/1/2020). "Akhirnya mau tidak mau, PKS mengalah juga. Kalau ikhlas kita kembalikan ke Allah."
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan adanya kader Gerindra dalam pemilihan cawagub DKI Jakarta bukan lagi bentuk kompromi, tapi kekalahan politik (PKS). Ia menambahkan, jika itu disebut kompromi maka seharusnya wakil gubernur DKI Jakarta berasal dari PKS.
"Sekarang kalau mau kompromi, wakilnya pastikan jatah mereka. Ternyata tidak, wakil Gerindra ikut masuk. Kalau pemilihan melalui DPRD, kemungkinan peluang Gerindra lebih besar ketimbang wakil PKS," kata Ray saat dihubungi Tirto, Jumat (31/1/2020).
Ray menambahkan jika PKS punya kedekatan dengan partai-partai lain, maka tidak rumit untuk mendapatkan kursi cawagub DKI. Tapi fakta di lapangan, mayoritas dari Dewan menolak dua calon dari PKS. Sebaliknya, saat Gerindra menyodorkan nama cawagubnya, Dewan malah membuka pintu lebar.
Jauh sebelum uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan pada akhir Januari 2019, para Fraksi anggota DPR telah memberi sinyal tidak mendukung kader dari PKS di antaranya PKB, Hanura, Golkar. Berbagai alasan diungkapkan seperti meragukan kompetensi ketiga kandidat cawagub, meminta kandidat PKS lainnya yang paham Jakarta, dan pembahasan cawagub diundur sampai selesai Pilpres.
"Negosiasi dengan rekan koalisi aja kalah, apalagi dengan teman-teman di luar koaliasi. Dengan Gerindra aja enggak mampu berkomunikasi, bagaimana bisa mengelola suara diluar itu," kata Ray.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna