Menuju konten utama
Wansus Pemilu

Johan Budi Blak-blakan soal Ganjar & Hubungan Jokowi-Megawati

Di tengah isu relasi Jokowi dan Megawati renggang, Johan Budi masih percaya Jokowi tidak mungkin mengkhianati Megawati Soekarnoputri.

Johan Budi Blak-blakan soal Ganjar & Hubungan Jokowi-Megawati
Ilustrasi Johan Budi. tirto.id/Fuad

tirto.id -

Tampil mengenakan batik emas bercorak hitam, Johan Budi hadir dalam 'Podcast Tirto For Your Pemilu'. Sebagai orang yang pernah menjadi Juru Bicara Presiden Jokowi periode 2016-2019 dan kini duduk sebagai anggota DPR RI Komisi II dari Fraksi PDIP, Johan membaca fenomena pasang surut hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Hubungan Jokowi dan Mega akhir-akhir ini tengah diisukan renggang. Isu ini beredar setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka juga merupakan kader PDIP dikabarkan bakal berduet dengan Prabowo yang menjadi lawan politiknya di Pilpres 2024.

Peluang Gibran semakin terbuka lebar usai Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan usia batas capres dan cawapres yang mengakomodasi poin berpengalaman sebagai kepala daerah meski belum berusia 40 tahun.

Namun, di tengah isu tersebut, Johan Budi masih percaya Jokowi tidak mungkin mengkhianati Megawati Soekarnoputri. Apalagi puncak karier politiknya Jokowi banyak campur tangan dari Megawati.

"Tidak mungkin dia [Jokowi] mengkhianati Bu Mega atau bertabrakan secara frontal dengan Bu Mega. Ini dari Pak Jokowi," kata Johan Budi dalam wawancara khusus di Podcast Tirto For Your Pemilu (FYP) beberapa waktu lalu.

Tidak hanya berbicara mengenai hubungan antara Jokowi dengan Bu Mega, Johan Budi juga bicara mengenai dinamika Pilpres 2024. Termasuk melihat peluang duet Ganjar-Prabowo atau Prabowo-Ganjar dalam Pilpres mendatang.

Bagaimana kemungkinan peluang antara Prabowo dan Ganjar atau sebaliknya, berikut ini petikan wawancara kami dengan Johan Budi:

Apa yang bisa dibocorkan soal ketemu dengan Pak Prabowo?

Saya ini kan bukan di DPP jadi saya tidak tahu keputusan atau diskusi yang ada di DPP, tapi kita diskusinya di fraksi itu pun hanya sebagian kecil. Diskusinya, misalnya, saya kasih contoh waktu berkaitan dengan bergabungnya Golkar dengan PAN di Prabowo itu gimana langkah kita di fraksi dan itu pun orang-orang bukan keseluruhan fraksi diskusi aja. Bagaimana ini arahnya kemana? Kemudian kalau ini kemungkinan seperti apa?

Bahkan kita juga sempat waktu itu habis diskusi saya telepon Mas Ganjar Pranowo, saya telepon, diangkat. Kemudian saya mengundang Mas Ganjar untuk hadir di lantai 7 [Ruang Fraksi PDIP di DPR RI].

Diskusi saja akan memberi masukan ke Mas Ganjar berkaitan dengan capres-capres ini tentu dari sisi komunikasi. Dan Mas Ganjar waktu itu bilang iya setelah 6 September waktu itu kan dia selesainya [menjabat Gubernur Jateng] 5 September.

Itu salah satu hasil diskusi kita mau memberikan masukan kepada capres dari kita PDI Perjuangan.

Pilpres ini bagaimana? Tadi sudah ngomong tanggal 5 Mas Ganjar sudah lepas dari jabatan gubernur, mau diajak ke fraksi untuk diskusi. Sampai sekarang tidak ada beritanya?

Itu kan tidak diberitakan. Kalau ada yang nanya mana? Ya kan tidak diberitakan. Tapi begini, tujuan kita waktu itu adalah kami sering diskusi, diskusi ini, hasil ini bisa ada manfaatnya buat Mas Ganjar dari sisi komunikasi tadi.

Misalnya harusnya begini, datang ke sini atau seperti apa. Itu saja kontribusi terkait dengan Mas Ganjar diskusi di lantai 7 tadi.

Johan Budi

Johan Budi. tirto.id/Andhika

Bukan Mas Ganjar diajak ke lantai 7 untuk diskusi dengan teman-teman fraksi?

Iya itu. Rencananya kan itu. Saya cerita tanggal 6 kan tapi belum terlaksana karena masing-masing sibuk, Mas Ganjar juga sibuk.

Bukan karena Ganjar tidak mau?

Oh tidak, dia sudah ngomong mau kalau ngomong sama saya janji itu tidak boleh. Tapi saya belum nanya lagi, karena dia pasti ingat karena dia 'oke mas' tapi setelah tanggal 6 ya, setelah tanggal 6 kan banyak. Nanti kita ingetin lagi. Tujuan kita kan baik.

Memang mau beri masukan apa? Branding?

Kalau saya secara pribadi ya, sekarang visi dan misi kan sudah dibentuk oleh tim kita kan bukan bagian dari situ. Sekali lagi diskusi saya ini diskusi di lantai 7 sebagian anggota fraksi yang ingin memberikan masukan. Jadi belum atau tidak menjadi bagian tim pemenangan Mas Ganjar.

Jadi kira-kira satu soal berkaitan sama personal branding. Saya menyebutnya personal branding apa yang genuine dari Mas Ganjar itu apa? Saya tidak bisa menyimpulkan, karena saya belum diskusi lama dengan Mas Ganjar karena soal branding itu.

Kedua berkaitan bagaimana topik yang perlu di-bold dalam kampanye nanti. Dua hal itu yang sebenarnya ingin kita diskusikan.

Mas Johan Budi belum melihat dalam diri Mas Ganjar selama pidato dan debat selama ini?

Personal branding itu kan apa sih yang genuine dari dalam diri kita. Apa yang bisa dijual dari diri kita? Kalau soal semua presiden pasti akan memberantas korupsi, semua calon presiden pasti mengentaskan kemiskinan.

Tapi konkretnya kita tidak tahu. Ada juga yang ngomong nanti kalau memang ibu hamil akan dibiayai atau gratis.

Saya ambil contoh, Pak Jokowi itu kan branding-nya sederhana, blusukan dulu ya yang ditonjolkan dari Pak Jokowi itu waktu itu di 2014 di awal-awal itu. Di DKI kan tagline-nya Jokowi orangnya sederhana, humble merakyat kira-kira begitulah. Tapi itu kan genuine-nya Pak Jokowi.

Kalau Ganjar sebagai penerus Pak Jokowi cukup tidak? Sebagai personal branding?

Saya harus bertemu dengan Pak Ganjar. Personal branding itu bukan soal meneruskan atau tidak. Personal branding itu genuine dia itu dibranding apa?

Kalau meneruskan dan meneruskan itu kan program. Itu bukan personal branding itu. Kalau menurut saya yang genuine dari dia itu apa? Tadi saya kasih contoh Pak Jokowi misalnya.

Kalau misal sebagai penerus Jokowi kita anggap apa yang disebutkan Johan Budi kemudian dilekatkan kembali ke Mas Ganjar itu gak bisa?

Bukan tidak bisa. Diskusi beda. Kita kalau personal branding bukan soal itu. Itu kan program meneruskan program atau tidak. Bukan soal kepribadian dia.

Sekarang itu saya bagi dua kampanye yang direduksi menjadi dua hal saja. Satu, siapa penerus Pak Jokowi yang kedua ia lawannya Pak Jokowi dengan mengusung perubahan. Anies perubahan.

Kamu perhatikan Pak Prabowo dan Ganjar itu kan dua-duanya mencoba untuk menjadi fotocopy-nya Pak Jokowi dengan membawa Pak Jokowi ini programnya di jalan-jalan.

Kedua, ada gambar Jokowi dengan Ganjar berambut putih dan sebagainya. Jadi diskusi dan narasi yang dibangun capres-capres ini adalah dua hal itu.

Siapa yang menjadi fotocopy-nya Pak Jokowi versus perubahan lawannya Pak Jokowi, antitesisnya Pak Jokowi. Itu yang sekarang saya lihat saya amati dari jauh.

Sekarang ada Prabowo dan Ganjar, kira-kira dua orang ini yang sama-sama meneruskan Pak Jokowi bisa tidak diduetkan dalam satu surat suara?

Saya masih punya tanggapan sampai hari ini bahwa koalisi koalisi itu bisa berubah. Berhenti ketika sudah daftar di KPU. Siapa yang mengira Muhaimin dengan Anies waktu itu? Kan selalu sudah form dengan Pak Prabowo setahun.

Tiba-tiba ketika Golkar gabung dengan Muhaimin kan statement 'saya tidak diajak bicara berkaitan dengan perubahan nama'. Saya sudah nebak mau loncat nih. Ada rasa kecewa tiba-tiba saya melihat.

Tapi itu di politik biasa saja. Menjadi presiden itu ukuran orang berkomitmen, ukuran orang yang setia pada janji tidak menjadi pengkhianat, atau apa kemudian orang yang benar-benar punya integritas, dalam konteks pribadi itu menjadi tidak penting sekarang ini saya lihat. Jadi dianggap hal biasa saja.

Kemarin saya sudah jadi komit sama ini pindah misalnya, atau orang ini mengkhianati si A. Si A mengkhianati si B, si B berkhianat juga ke C. Tiba-tiba bisa juga B yang sudah berkhianat ke A kemudian dia pindah ke C. Mungkin tidak C mengkhianati B? Mungkin juga.

Jadi sampai hari ini menurut saya koalisi itu bisa berubah. Semua orang boleh saja ngomong kita orang pertama, ya silakan aja. Tapi kita lihat ketika disebut sudah fix itu ketika sudah didaftarkan di KPU itu baru sudah fix ini bisa.

Pertanyaanmu mungkin tidak? Iya mungkin saja Ganjar sama Anies mungkin tidak? Mungkin saja. Di dunia ini kan semua serba mungkin di dunia politik.

Johan Budi

Johan Budi. tirto.id/Andhika

Lebih mungkin mana Prabowo-Ganjar atau Ganjar-Prabowo?

Kalau itu saya tidak bisa karena itu mungkin, mungkin itu Prabowo-Ganjar mungkin Ganjar-Prabowo mungkin. Kalau PDI Perjuangan itu semua di tangan Bu Mega.

Misalnya, di internal sendiri yang Mas Johan Budi ketahui Bu Mega itu responsnya bagaimana terkait dengan duet Ganjar dengan Prabowo?

Sekali lagi saya jauh, saya tidak tahu itu, [yang lebih tahu] mungkin lebih tepat [bertanya] kepada Pak Utut atau Bambang Pacul yang DPP dan juga sering rapat di DPP.

Karena itu tadi karena jarak jauh, saya tidak bisa menebak atau menangkal tapi kalau kamu nanya apa yang terjadi di fraksi itu diskusinya saya bisa jawab.

Kalau di fraksi bagaimana?

Ketika ada perubahan itu kita analisis kenapa misalnya, Golkar sama PAN ini gabung dengan Pak Prabowo. Itu kita diskusikan. Kemudian dari diskusi itulah kita sampaikan ke Bambang Pacul. Kalau saya dengan harapan itu disampaikan ke Bu Mega karena mereka yang ikut rapat dengan ketum.

Pakai sudut pandang lain, sebagai orang yang pernah jadi juru bicara Jokowi, sekarang jadi kader PDIP, ini melihat hubungan 'romansa' dengan Megawati dan Jokowi bagaimana?

Saya 3 tahun 10 bulan [mendampingi] Pak Jokowi jadi juru bicara presiden. Ketika itu Pak Jokowi saya dengar langsung statement dikeluarkan Jokowi ketika diskusi berdua dengan saya waktu itu bahwa dia tidak mungkin mengkhianati Bu Mega.

Sebab, sejarah panjang karier dia dari mulai Wali Kota Surakarta kemudian menjadi Gubernur DKI, kemudian jadi Capres pada waktu itu Bu Mega bisa jadi capres 2014.

Namun, itu diserahkan ke Pak Jokowi dan Jokowi paham betul itu bahwa kalau bukan campur tangannya, semua karena Tuhan ya, tapi kalau bukan campur tangan Bu Mega dia tidak akan jadi presiden. Tidak mungkin dia mengkhianati Bu Mega atau bertabrakan secara frontal dengan Bu Mega. Ini dari Pak Jokowi.

Dari sisi Bu Mega, karena saya jauh sekali tapi saya perhatikan beberapa kali Bu Mega itu mengeluarkan statement bahkan ketika dia di sebuah acara kemudian dia menangis karena Jokowi di-bully.

Menunjukkan betapa hubungan Pak Jokowi dengan Bu Mega sedekat itu. Sehingga banyak sekali orang berspekulasi Bu Mega tidak cocok dengan Jokowi karena satu, dua, tiga. Atau Pak Jokowi merasa tidak dilakukan dengan baik dengan PDI Perjuangan. Itu kan sering isu muncul.

Tapi menurut saya bahwa Pak Jokowi itu paham betul sampai puncak kekuasaan sampai sekarang ini Bu Mega besar sekali kontribusinya. Bahkan saya dapat cerita ketika Jokowi maju Gubernur DKI banyak sekali anggota DPR yang urunan juga bantu perintahnya Bu Mega all out bahkan gaji dipotong karena urunan. Tapi ini cerita ya karena saya waktu itu masih di KPK. Cerita gajinya sebagian untuk kampanye Pak Jokowi.

Jadi begitu besar kontribusi Bu Mega kepada karier Jokowi dari mulai Wali Kota Solo. Dulu dia sebelum Wali Kota Solo itu dia bukan kader PDI Perjuangan yang kawakan.

Itu karena ada kader PDI waktu itu di Solo yang menyodorkan Jokowi jadi Wali Kota Solo dan itu disetujui Bu Mega. Dari situlah kemudian sejarah karier dia itu saya bisa simpulkan dulu Jokowi tidak mungkin berkhianat pada Bu Mega.

Mengutip kembali pernyataan Johan Budi, politik itu kan kemungkinan selalu terjadi. Publik membaca Jokowi seperti ingin king maker salah satu penentu proses pilpres saat ini. Ketika di pemilihan Ganjar di PDIP Jokowi tidak terlibat banyak di situ, apakah hubungan masih sama?

Saya kalau itu kan harus tahu rasanya Pak Jokowi harus tahu rasanya Bu Mega. Kita kan ngelihatnya dari jauh. Tapi dari sejarah tadi menurut saya Pak Jokowi itu sulit dia itu kemudian mengkhianati Bu Mega.

Karena apalagi Pak Jokowi orang Jawa, orang Jawa itu ukuran manusia baik atau negarawan atau apalah yang baik-baik itu salah satu ukurannya adalah orang yang bisa membalas budi kebaikan orang lain. Sepertinya Pak Presiden Jokowi sulit untuk berkhianat kepada bu Megawati.

Apakah ada perubahan-perubahan? Ya mungkin masih ada perubahan. Ada kata-kata bijak kekuasaan itu kadang-kadang bisa mengubah orang.

Kekuasaan itu bisa mengubah orang yang humble menjadi pcongkak, orang yang merakyat menjadi arogan. Bisa kekuasaan itu bisa mengubah itu.

Apakah Pak Presiden Jokowi berubah dengan Bu Mega? Kalau ditanya bisa, ya bisa. Karena dulu ngomong pas sama saya itu anaknya belum jadi wali kota mantunya belum jadi wali kota.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri