tirto.id - Debat ketiga yang akan digelar KPU pada Minggu (7/1/2024) mengangkat tema “pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri.” Dari tema besar ini, salah satu poin penting yang perlu dibahas adalah Indonesia yang digugat di World Trade Organization (WTO) imbas kebijakan larangan ekspor bahan mentah nikel.
Persoalan tersebut berpotensi akan berlanjut, bahkan bertambah karena kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang terus menggencarkan program hilirisasi dan menyetop ekspor bahan mentah pertambagan. Bagaimana para capres menyikapinya?
Analis ekonomi dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan sudah melihat visi misi dan arah capres-cawapres dalam hubungan internasional. Namun, ia menilai, visi misi semua kandidat terkesan normatif karena fokus memperkuat hubungan internasional semata, padahal ada isu lain yang juga strategis, yakni masalah penguatan hubungan dagang Indonesia dengan dunia luar.
“Ada yang menyinggung soal Palestina, tapi belum ada yang merujuk kepada penguatan dagang antara Indonesia dengan dunia luar,” kata Huda kepada reporter Tirto, Kamis (4/1/2024).
Semestinya, kata Huda, permasalahan perdagangan global perlu diangkat dalam permasalahan hubungan internasional karena hubungan dagang berkaitan dengan negosiasi dengan pihak ketiga.
Selain itu, masalah lain yang juga diatensi seperti kekalahan di WTO tentang larangan ekspor bahan mentah nikel. Ia mengaku ada capres membahas soal isu WTO, tetapi tidak menjelaskan bentuk penanganan secara spesifik.
Huda bahkan mendorong agar debat juga membahas soal isu proteksionisme. Ia beralasan, dunia tengah menahan barang mereka sehingga terjadi kelangkaan barang di negara lain. Oleh karena itu, Huda mendorong agar isu ekonomi tersebut dibahas dalam masalah hubungan internasional.
Sementara itu, dosen komunikasi dan hubungan internasional dari Universitas Jember, M. Iqbal, menilai permasalahan ekonomi dalam hubungan internasional perlu untuk dieksplorasi lebih jauh dalam debat nanti.
“Wajib itu. Penting (untuk dieksplorasi),” kata Iqbal menambahkan.
Menurut Iqbal, ketiga calon memang memuat upaya mereka dalam penyelesaian hubungan internasional. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan visi-misi ketiga capres, hanya kubu AMIN yang lebih spesifik bicara soal permasalahan gugatan perjanjian atau hukum internasional.
“Kata kuncinya adalah ketika masuk ke soal diplomasi, besar, kedutaan, perjanjian, lalu arbitrase, hal-hal kata kunci berkaitan international norms justru kita jumpai ada di dokumen 01 lebih banyak, ada yang menyebutkan kata kunci, dibandingkan dokumen 02 maupun 03,” kata Iqbal.
Sedangkan jika melihat substansi gugatan di WTO seperti kasus sawit atau nikel, Iqbal melihat posisi Indonesia masih belum memiliki power kuat. Ia beralasan, Indonesia masih fokus pada kepentingan nasional.
Di sisi lain, kata Iqbal, asing masih melihat Indonesia sebagai negara berkembang dan hanya melihat kekuatan populasi Indonesia sebagai pasar. Di sisi lain, barat melihat Indonesia sebagai pusat sumber daya alam.
“Posisi kita yang tidak terlalu luwes atau asertif atau tegas dalam diplomasi kepentingan nasional, termasuk sumber daya alam yang kita miliki, termasuk cara-cara yang disetujui atau disepakati dalam perjanjian maupun hukum internasional, itu yang membuat kita lemah ketika ada gugatan-gugatan di level WTO, mahkamah internasional dan lain-lain," kata Iqbal.
Iqbal mencontohkan kasus sawit dan nikel kalah akibat Indonesia masih kurang luwes dan tegas dalam menyampaikan sikap nasional Indonesia.
Ia juga menyinggung soal gagasan Indonesia di COP28 dalam penyelesaian masalah iklim tidak direspons positif oleh negara-negara yang hadir. Di sisi lain, Indonesia tidak optimal dalam menyelesaikan masalah Palestina meski sudah bersikap keras. PBB dan Amerika tetap tidak menjatuhkan veto meski sudah ratusan negara mendukung.
“Artinya apa? Masa depan hubungan internasional dan hubungan diplomatik Indonesia sebagai bagian G20 sedang diuji apakah mampu 2024 ke depan nanti itu bisa diserahkan kepada Ganjar, Prabowo atau Anies untuk bisa mengubah menjadi game changer dalam global player," kata Iqbal.
Jika kembali ke visi-misi, kata dia, maka AMIN lebih serius karena memuat banyak kata-kata spesifik dalam permasalahan hubungan internasional seperti kata dunia, global, dan kerja sama dibanding dua paslon lain. Dalam kata “kerja sama” saja, kubu AMIN menyinggung hingga 27 kali, sementara Prabowo-Gibran hanya 5, dan kubu Ganjar-Mahfud tidak menyebutkan.
Iqbal juga menekankan bahwa diplomasi masa depan tidak lagi berkutat pada soft power atau hard power, melainkan sudah melakukan pendekatan smart power.
“Dunia hari ini sudah betapa berubahnya untuk mengedepankan smart diplomacy, diplomasi yang betul-betul sustainable, diplomasi yang betul-betul menjamin equal, dan bukan hanya mengembalikan kepercayaan pada eksploitasi, ketergantungan yang selama ini adalah warisan dari masa-masa perang dunia kedua,” kata Iqbal.
Gagasan para Capres-Cawapres
Juru Bicara Timnas AMIN, M. Ramli Rahim, menilai Anies adalah sosok yang tepat dan mampu menyelesaikan masalah internasional yang berpotensi masih tersisa di era Jokowi. Ia yakin masalah seperti gugatan WTO dan masalah sawit akan diselesaikan.
“Jika Pak Anies jadi presiden, insyaallah semua akan dipelajari oleh Pak Anies termasuk kebijakan-kebijakan Pak Jokowi sekarang yang digugat di dunia internasional soal sawit dan lain-lain. Jadi dengan kemampuan yang dimiliki Pak Anies, insyaallah di dunia internasional akan lebih maksimal,” kata Ramli, Kamis (4/1/2024).
Ramli mengklaim Anies bukan sosok baru di dunia internasional. Mantan rektor Universitas Paramadina itu diyakini paham masalah internasional. Ia paham peta politik tidak hanya barat-timur, melainkan juga utara dan selatan.
Ramli yakin Anies akan mampu bersikap terbaik demi kepentingan bangsa di mata dunia jika memimpin Indonesia. Ia beralasan, Anies terbukti melakukan diplomasi di tingkat internasional dan akan menjaga integritas bangsa.
Khusus pada masalah spesifik, yaitu hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah seperti nikel, Ramli memastikan Anies mendorong agar bahan mentah tetap dikelola di dalam negeri. Akan tetapi, mereka ingin agar bahan mentah itu dikelola langsung oleh orang asli, bukan tenaga asing.
“Jadi seharusnya upaya hilirisasi menjadikan bahan mentah tidak diekspor itu seharusnya melibatkan tenaga kerja lokal, bukan tenaga kerja asing termasuk kelapa sawit dan lain-lain,” kata Ramli.
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Fahri Hamzah, memastikan paslon nomor 2 akan mampu menghadapi masalah politik internasional, termasuk gugatan larangan ekspor nikel di WTO. Apalagi, kata Fahri, di belakang Prabowo ada Jokowi dan SBY.
“Jadi kiprah internasional dari pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pemerintahan yang sangat mendapatkan nasehat yang terbaik dari setidaknya dua mantan presiden sebelumnya yang sukses memimpin Indonesia. Khususnya dalam percaturan global,” kata Fahri, Kamis (4/1/2024).
Hal senada diungkapkan Juru Bicara TKN lain, Billy Mambrasar. Ia mengklaim Prabowo adalah sosok yang tepat memimpin bangsa lantaran berani menghadapi masalah perdangangan maupun geopolitik dunia.
“Pak Prabowo merupakan sosok presiden yang paling berani menghadapi tekanan geopolitik dan isu perdagangan internasional melalui WTO,” kata Billy.
Setidaknya ada 3 alasan, kata Billy. Pertama, Prabowo berlatar belakang militer dan punya rekam jejak berani melawan asing, salah satunya dalam menyelamatkan tawanan asing di Papua. Kedua, Prabowo adalah pemimpin partai yang tidak tunduk pada siapa pun, kecuali pada rakyat.
“Ketiga, secara terang-terangan, dia menyatakan akan melanjutkan program Presiden Jokowi, termasuk hilirisasi, termasuk di komoditas agraria. Sehingga beliau akan mengusahakan perimbangan terbaik antara hilirisasi dan pemenuhan konsumsi masyarakat Indonesia dan kebutuhan industri yang merupakan bagian dari usaha hilirisasi, dengan ekspor untuk menghasilkan devisa negara,” kata Billy.
Juru Bicara TKN lainnya, Viva Yoga Mauladi, menegaskan Prabowo-Gibran akan menjalankan politik bebas aktif sesuai amanat konstitusi, yakni tidak akan berpihak atau masuk blok tertentu dan menjaga perdamaian dunia. Ia menjamin Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo juga akan aktif dalam misi perdagangan di lembaga internasional seperti COP maupun WTO, AFTA dan NAFTA.
“Kita akan aktif di dalamnya. Intinya adalah untuk menjaga kemitraan, kebersamaan dan saling menguntungkan,” kata Viva.
Viva berharap, upaya gugat-gugatan tidak lagi terjadi di dunia internasional. Sebab, dunia mulai menggunakan pendekatan kerja sama saling menguntungkan. Oleh karena itu, Indonesia akan melakukan komunikasi sehingga tidak ada negara yang merasa dirugikan dengan kebijakan dalam negeri Indonesia.
“Jadi hal-hal seperti itu yang akan kami komunikasikan sehingga pola relasi dalam membangun dunia ekonomi global itu bedasarkan asas persamaan dan asas saling menguntungkan. Tidak ada intimidasi aneksasi dan menekan dan tidak boleh itu terjadi,” kata Viva.
Di sisi lain, kubu Ganjar-Mahfud memastikan bahwa mereka akan melanjutkan narasi hilirisasi yang dilakukan Jokowi. Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Cicho Hakim, menegaskan hilirisasi krusial demi kepentingan bangsa karena membuka lapangan kerja.
“Ini suatu hal yang tidak bisa dibendung karena ini untuk kepentingan kita, salah satunya adalah untuk menciptakan jutaan lapangan kerja, apalagi Pak Ganjar maupun Pak Mahfud adalah capres-cawapres yang paling optimis dalam menciptakan lapangan kerja, bahkan 17 juta lapangan kerja,” kata Cicho.
Cicho menegaskan, program hilirisasi berkaitan dengan upaya mengelola bonus demografi Indonesia di masa depan. Ia memastikan hilirisasi akan dilanjutkan demi mencegah pengangguran.
Selain itu, ia memastikan pemerintahan Ganjar-Mahfud akan memitigasi masalah-masalah luar negeri. Masalah tersebut, kata Cicho, baru bisa ditangani setelah Ganjar-Mahfud bila menjadi presiden.
Ia memastikan kepemimpinan Ganjar-Mahfud akan berupaya menyelesaikan masalah dengan negara asing seperti protes negara lain lewat upaya negosiasi. Ia menilai, setiap masalah bisa berbeda-beda sehingga pendekatan negosiasi yang dilakukan beragam untuk menyelesaikan suatu masalah dengan dunia internasional.
“Karena kita bicara soal negosiasi ini seperti ada kebutuhan apa dari negara barat yang bisa kita penuhi sehingga bagian dari kita barter, itu tetap jangan protes kalau kita mau hilirisasi pertambangan dan lain-lain,” kata Cicho.
Ia mengingatkan Indonesia adalah negara besar dan kini punya pengaruh besar lewat G20 maupun ASEAN. Hal itu bisa menjadi alat tawar Indonesia di luar negeri dalam menyelesaikan sengketa dengan negara lain.
“Kekuatan ini harus kita tonjolkan dan itu menjadi kekuatan kita ketika kita melakukan bargaining dengan negara asing," kata Cicho.
Sementara itu, Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud lainnya, Noto Suenoto, menegaskan Ganjar-Mahfud tidak sekadar mendorong kerja sama free trade, melainkan juga fair trade. Ia menekankan, setiap negara berhak mengambil keputusan ekonomi strategis berdasarkan kepentingan nasional, yang tentunya dapat dijustifikasi ke publik dan partner internasional. Hal itu tidak lepas dari keputusan Indonesia dalam pelarangan nikel.
“Keputusan Indonesia dalam menutup keran ekspor nikel sementara, berangkat dari kebutuhan ekonomi Indonesia untuk industrialisasi berbasis value-added. Berangkat dari hal ini, perlu adanya pendekatan multilevel dalam melobi dan bernegosiasi dengan pihak Uni Eropa terkait keputusan hilirisasi nikel,” kata Noto, Kamis (4/1/2024).
Noto memastikan Ganjar-Mahfud akan melakukan dua pendekatan dalam penyelesaian masalah ekonomi dalam hubungan internasional seperti kasus nikel. Pertama adalah negosiasi di level WTO. Hal kedua yang juga penting dilakukan maksimal dan saat ini belum maksimal, adalah pendekatan di level sektor bisnis, parlemen, hingga masyarakat sipil, untuk dapat menyuarakan bagaimana hilirisasi nikel di Indonesia sesuai dengan standar Environmental Social Governance (ESG), memberikan dampak ketahanan ekonomi yang berkelanjutan dan resilient bagi masyarakat umum.
“Selain itu, fair partnership perlu juga dilihat secara utuh di mana sebaliknya terdapat Keputusan sepihak Uni Eropa terkait peningkatan dan perluasan non-tarrif barriers yang merugikan bagi pengusaha Indonesia dalam mengakses pasar mereka. Kerja sama ekonomi membutuhkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dan ini adalah prioritas pemerintahan GAMA yang akan datang,” kata Noto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz