tirto.id - Ambon manise, Ambon yang cantik. Memang begitu adanya yang saya saksikan saat pertama kali mendarat di Bandar Udara Pattimura.
Ambon yang namanya berasal dari kata ombong atau embun tebal yang terdapat di setiap puncak gunung-gunung di kota tersebut, merupakan kawasan Indonesia Timur pertama yang saya kunjungi. Pegunungan yang berduet dengan lautan yang mengelilingi Ambon, menambah indahnya kawasan pesisir di wilayah ini. Tidak hanya cantik, Ambon juga merupakan bagian dari kepulauan Maluku yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah seperti rempah dan hasil lautnya.
Pada sekitar tahun 1200-an, Maluku – termasuk Ambon – merupakan salah satu wilayah tumbuhnya rempah terbesar di Nusantara. Ini kemudian menjadikannya magnet bagi bangsa asing untuk datang dan melakukan perdagangan. Bangsa Cina, Arab, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang berdatangan, dengan tujuan berdagang sekaligus penyebaran agama, dan meningkat ke monopoli yang dibuat oleh Belanda, dan berakhir dengan penjajahan.
Selain daratannya yang kaya rempah, Ambon juga memiliki kekayaan dari laut. Ia berada di kawasan maritim yang berbatasan langsung dengan laut Banda, laut penghasil ikan tuna terbesar di dunia. Seperti laut di wilayah Sulawesi lainnya, laut Banda merupakan jenis laut yang teduh dan dalam yang merupakan sumber kehidupan ikan tuna, yang tersohor di penjuru dunia.
Sejarah akan kota Ambon, kekayaan alam dan wilayah geografisnya membawa pengaruh besar pada kuliner kota tersebut. Ikan kuah kuning yang populer membuat saya gelisah sejak sebelum menginjakkan kaki di Ambon. Sekilas, saya pikir sajian ini hampir sama dengan sajian pindang patin ala Sumatera, karena penampilannya yang mirip. Berdasar referensi itu, saya tak ragu memesannya. Pilihan ini sebenarnya berdasar pada sesuatu yang “salah”, karena saat itu sepertinya saya sedang merindukan pindang patin, alih-alih penasaran dengan rasa ikan kuah kuning.
Ketika hidangan keluar, yang pertama kali menggugah rasa ingin tahu saya adalah aroma kuahnya yang kuat. Makanan berkuah selalu memiliki nilai lebih untuk saya, karena dalam proses pembuatannya ada tantangan kesulitan yang berlipat. Keberhasilan makanan berkuah bukan hanya terletak pada kuahnya, tapi lebih pada bagaimana semua bumbu yang meresap ke dalam setiap detail ikannya, tanpa membuat ikan hancur. Daging ikan harus tetap kenyal sekaligus menyerap bumbu.
Ikan kuah kuning ini dimasak dengan cita rasa Maluku yang kaya akan rempah, serupa dengan Pindang Patin idaman saya tapi kenyataanya mereka berbeda. Pindang patin memiliki rasa asam manis karena belimbing wuluh dan nanas yang kawin di kuali. Sedangkan ikan kuah kuning Ambon identik dengan rasa masam yang dihasilkan dari perasan jeruk limau atau lemon. Baru saya ketahui bahwa jeruk yang dicampurkan pada makanan ikan berkuah ini dipengaruhi oleh budaya kuliner bangsa Portugis, bangsa Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di sana.
Menurut Chef Bara Pattiradjawane dalam suatu wawancara, pengaruh jeruk pada ikan ini ia temukan pada 2012, ketika melakukan riset untuk buku kulinernya yang mengulas tentang Ambon. Di Portugal, makanan ini bernama petisie. Sementara di Ambon, resep ikan kuah kuning ini sudah berusia ratusan tahun. Ia telah eksis sejak sebelum Belanda menuduki Ambon. Menariknya, makanan ini disebut-sebut sebagai makanan yang hanya ada di meja raja, artinya hanya kalangan tertentu pada saat itu yang bisa menyantapnya.
Saya melakukan perjalanan kuliner di Ambon dengan mencoba beberapa tempat yang berbeda setiap harinya. Di setiap titik kuliner yang saya datangi. menu ikan kuah kuning tidak pernah absen dari buku menu. Dari rumah makan tengah kota hingga yang terletak di pinggir pantai, semuanya menyajikan menu makanan kebanggaan ini. Makanan yang tadinya jarang bisa disantap oleh masyarakat biasa ini sekarang tidak hanya dicintai oleh masyarakat Ambon, tapi juga wisatawan asing maupun lokal.
Bung Bimo, pemandu wisata yang menemani perjalanan kami, dalam perjalanan kariernya selama 23 tahun, mengatakan bahwa makanan ikonik yang selalu dicari oleh tamu memang ikan kuah kuning – biasanya dipadukan dengan papeda, bubur kenyal yang terbuat dari sagu. Bubur kenyal ini lalu disiram kuah kuning beserta ikannya.
Menuliskannya saja saat ini saya berliur lagi.
Selain di rumah makan dan di rumah penduduk, ikan kuah kuning ini juga dapat ditemui pada acara tradisi kuliner masyarakat Ambon, yaitu Makan Patita. Ini adalah acara makan bersama-sama dengan orang banyak yang dilandasi atas dasar kekeluargaan atau kebersamaan. Dalam Patita, biasanya makanan yang dihadirkan adalah makanan-makanan tradisional Maluku. Selain sajian ikan kuah kuning, disajikan pula colo-colo, kasbi (singkong), hingga kohu-kohu (sejenis urap).
Makan Patita diselenggarakan pada peringatan-peringatan penting, seperti ulang tahun desa, ulang tahun gereja atau masjid. Ada juga Makan Patita yang dilakukan antar keluarga atau marga. Sambil beramah tamah mereka menyantap makanan yang sudah ada sejak nenek moyang mereka dengan tujuan semakin mengeratkan persaudaraan.
Selain kaya akan cerita sejarah, memiliki daya pikat pariwisata, kuliner yang sulit dilupakan, Ambon juga memiliki adat istiadat dan budaya yang masih berlangsung di era modern ini. Rasanya sama seperti menikmati ikan kuah kuning yang dulu ada di meja raja, tapi sekarang bisa dinikmati sambil mendengarkan deburan ombak dan suara merdu penyanyi-penyanyi dari Ambon, city of music. []
Editor: Nuran Wibisono