tirto.id - Selasa, 11 September 2001. Dua pesawat komersial dijadwalkan berangkat dari Boston, AS menuju Los Angeles, AS. Nahas, dua pesawat tersebut ternyata dibajak sekelompok teroris yang diduga berasal dari kelompok teroris Al Qaeda.
Oleh teroris, dua pesawat tersebut diarahkan untuk menabrak menara kembar World Trade Center di New York, AS. Dua menara WTC runtuh, dan ribuan orang terbunuh. Kejadian itu kini dikenal sebagai Serangan 11 September.
Hampir dua dekade setelah serangan itu, dunia tak pernah sepi dari aksi terorisme. Sasarannya tidak hanya di negara maju, tetapi juga berkembang. Yang terbaru, aksi terorisme juga terjadi lagi di Indonesia, tepatnya di Surabaya, Jawa Timur.
Pada Minggu (13/5), Surabaya diguncang teror bom. Aksi teror tersebut menyasar tiga gereja, yakni Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, GKI Diponegoro, dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela.
Keesokan harinya, aksi teror dengan bom kembali terjadi. Masih di Surabaya, tetapi yang menjadi sasaran teroris kali ini adalah Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya, Jawa Timur, sekitar pukul 08.50 WIB.
Aksi teror memiliki dampak yang luas. Mulai dari menghilangkan nyawa, merusak fasilitas publik hingga menciptakan rasa takut di tengah-tengah masyarakat. Geliat perekonomian juga terganggu akibat aksi-aksi teror tersebut.
“Saya pikir dampak ekonomi yang ditimbulkan mungkin lebih besar daripada yang disadari kebanyakan orang,” kata Direktur Pengembangan Bisnis Financial Poise™Sean Ross dikutip dari Investopedia.
Menurut Sean, sedikitnya ada sejumlah dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat aksi teroris. Dampak yang paling cepat terukur adalah kerusakan fisik. Biasanya, para teroris mengincar sistem transportasi, pekerja, atau sumber daya ekonomi lainnya.
Ambil contoh Serangan 11 September. Akibat serangan dua menara WTC, nilai kerugian dari nyawa yang hilang dan infrastruktur yang hancur ditaksir mencapai $14 miliar, menurut Global Terrorism Index 2015 (PDF).
Contoh lain, aksi teror di Beirut, Lebanon pada 19 Februari 2014. Aksi teror dengan memakai bom ini menyasar area publik. Sebanyak 7 orang terbunuh dan 64 terluka. Dampak kerugian ekonomi diperkirakan mencapai $27,81 juta (PDF).
Aksi teror juga berdampak terhadap pasar saham. Seperti diketahui, aksi teror menciptakan ketidakpastian, dan pasar tidak menyukai ketidakpastian. Namun, hal ini agaknya menjadi perdebatan, karena terkadang pasar saham justru lebih tahan.
Misalnya, Serangan 11 September. Pasar saham AS terpaksa ditutup selama empat hari. Pasar baru kembali dibuka pada 17 September 2001. Kala itu, indeks Dow Jones ditutup anjlok 7,13 persen menjadi 8.920,7.
Dampak aksi teror terasa juga di sektor asuransi dan pariwisata. Dari kedua industri ini, pariwisata yang paling dikhawatirkan. Pasalnya, sektor pariwisata di sejumlah negara menjadi tumpuan utama perekonomian mereka.
Dengan kata lain, sektor pariwisata di sejumlah negara memiliki dampak yang lebih luas. Selain kehilangan nilai devisa yang besar, tidak menutup kemungkinan jumlah penganggur melonjak drastis.
Dampak serangan teroris terhadap pariwisata dirasakan Perancis. Pada sore 14 Juli 2016, truk barang seberat 19 ton menerjang kerumunan masyarakat yang sedang merayakan Bastille Day. Sebanyak 86 orang terbunuh.
Imbas dari serangan itu, sektor pariwisata terganggu. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Perancis ditaksir berkurang hingga 30 persen. Asal tahu saja, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kota Mode Dunia ini.
“Dampak terhadap bisnis sangat besar. Ini berat sekali. Kami memperkirakan jumlah turis yang berkunjung berkurang 30 persen,” kata Vanguelis Panayotis, Managing Director of the MKG Tourism Consultancy pada 17 Juli 2016.
Demikian pula industri asuransi. Dampak serangan terorisme terhadap industri ini juga tidak kecil. Misalnya, Serangan 11 September. Klaim yang dibayar asuransi ketika itu mencapai $43,6 miliar, terbesar kedua sepanjang sejarah setelah Badai Katrina pada 2015 sebesar $49 miliar.
Serangan terorisme membuat perusahaan harus mengeluarkan dana lebih besar untuk asuransi. Di Inggris, organisasi sektor publik menambah belanja asuransinya hingga empat kali lipat menjadi £56 juta sepanjang 2017, dari tahun lalu sebanyak £14 juta.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Aksi teror yang berdampak terhadap menurunnya geliat perekonomian juga pernah dirasakan Indonesia, yakni pada Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Aksi teror tersebut menelan korban 202 jiwa dari 21 negara, dan merusak 428 gedung.
Akibat aksi itu, kerugian yang dialami Indonesia ditaksir mencapai Rp5,92 triliun. Selain itu, sektor pariwisata yang menjadi andalan masyarakat Bali juga terganggu, setidaknya hingga akhir Desember 2003 (PDF).
Pada 2001, jumlah kunjungan turis asing ke Bali mencapai 1,35 juta. Pada tahun berikutnya, jumlah tersebut turun 5,23 persen menjadi 1,28 juta. Pada 2003, jumlah kunjungan turis asing berkurang drastis hingga 23 persen menjadi sekitar 990 ribu wisatawan.
Sektor pariwisata mulai membaik pada 2004 setelah segala daya dan upaya dilakukan Pemda Bali dan warganya secara bersama-sama. Pada 2004, jumlah kunjungan turis sebesar Rp1,45 juta orang, naik 47 persen.
Kerugian Ekonomi Meningkat
Dalam dua dekade terakhir ini, dampak ekonomi yang ditimbulkan dari aksi terorisme terus meningkat. Menurut Global Terrorism Indeks 2017 (PDF), nilai dampak ekonomi akibat terorisme ditaksir sebesar $84 miliar pada 2016, naik 211 persen dari 2011.
Negara yang tengah berkonflik menjadi negara yang paling merasakan dampak ekonomi dari terorisme. Negara-negara tersebut terutama berada di Timur Tengah, Afrika Utara, Sub-sahara Afrika, dan Asia Selatan.
Irak dan Afganistan menjadi negara yang paling merasakan dampak ekonomi terburuk akibat terorisme, yakni 24 persen dari Gross Domestic Bruto (GDP) untuk Irak, dan 13 persen dari GDP untuk Afganistan.
Kondisi tersebut juga sejalan dengan skor tingkat kerentanan yang dilakukan The Institute for Economics & Peace (IEP) dalam mengukur skala dampak yang ditimbulkan dari terorisme di 130 negara.
Dari 130 negara itu, Irak berada di peringkat pertama dengan skor kerentanan sebesar 10 dari skor maksimal 10. Afganistan berada di peringkat kedua dengan skor 9,44. Disusul, Nigeria di peringkat ketiga dengan skor 9.
Di kawasan ASEAN, Indonesia berada di peringkat 42 dengan skor 4,55. Negara yang tingkat kerentanannya lebih tinggi dari Indonesia, yakni Filipina di peringkat 11 dengan skor 7,12. Thailand di peringkat 16 dengan skor 6,6 dan Myanmar di peringkat 37 dengan skor 4,95.
Melihat dampak ekonomi yang ditimbulkan sangatlah besar, pemerintah perlu melakukan mitigasi secara komprehensif guna mencegah aksi terorisme. Perlindungan di tempat-tempat strategis, terutama pusat ekonomi juga perlu dilakukan guna meminimalisir dampak ekonomi.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti