Menuju konten utama

Saat Teror Bom Menggoyang Bursa Saham

Suka tak suka, kejadian ledakan bom memang akan berpengaruh pada pasar modal.

Saat Teror Bom Menggoyang Bursa Saham
Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). ANTARA FOTO/HO/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria/MA

tirto.id - Lobi Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 14 Mei 2018 tampak berbeda. Sejumlah karyawan BEI nampak mengenakan pita hitam di lengannya. Pita hitam juga dibagi-bagikan kepada tamu yang datang.

Aksi simpatik ini merupakan respons dari tragedi teror bom yang terjadi di Surabaya, Minggu (13/5). Pita hitam akan dipakai selama tiga hari ke depan oleh para karyawan BEI. Sebelum aksi simpatik, BEI juga merespons cepat tragedi bom Surabaya melalui Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam pernyataan resminya di hari yang sama.

“Pengalaman pada teror bom Thamrin pada 14 Januari 2016, menunjukkan bahwa teror tersebut tidak berpengaruh besar terhadap kegiatan di pasar modal,” kata Tito Sulistio.

Suka tak suka, kejadian bom memang akan berpengaruh pada pasar modal. Ini dibuktikan dari Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan pagi Senin (14/5/2018), dibuka minus 0,39 persen atau 23,37 poin di level 5.933,46 persen. Pada penutupan perdagangan di hari yang sama, IHSG turun 0,16 persen menjadi 5.947,15.

Berselang sehari, pada Selasa (15/5/2018), IHSG kembali ditutup melemah. IHSG turun cukup dalam hingga 1,83 persen ke level 5.838. Sejak perdagangan dibuka, IHSG sudah terkoreksi 0,35 persen di level 5.926.

Sepanjang perdagangan, IHSG bergerak di zona merah di level 5.853–5.940. Sebanyak 60 saham menguat, 173 saham melemah, dan 247 saham stagnan dari 580 saham di BEI.

IHSG yang terkoreksi juga diikuti dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Dolar menyentuh kembal ke level Rp14.000. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs dolar terhadap rupiah per 15 Mei 2018 mencapai Rp14.020, naik 0,31 persen dari 14 Mei 2018 sebesar Rp13.976,.

Sejumlah kalangan berpendapat aksi terorisme sebenarnya tidak signifikan menggerus laju perkembangan pasar modal. Efek dari terorisme tersebut hanya bersifat sementara saja. Ekonom Bank BCA David Sumual berpendapat teror bom diyakini tidak terlalu menjadi perhatian bagi para investor. Apalagi, Indonesia juga sudah cukup baik dalam menangani teror-teror.

Pelemahan IHSG yang terjadi pada awal pekan ini merupakan lanjutan dari tren kekhawatiran para investor terhadap rencana Bank Sentral AS yang ingin menaikkan suku bunganya pada Juni 2018.

Hal itu juga tercermin dari indeks saham di negara lain yang juga mengalami pelemahan. Misalnya, indeks STI dari Singapura yang melemah 0,22 persen, KOSPI Korea Selatan yang terkoreksi 0,06 persen dan indeks IBOV Brazil yang melemah 0,75 persen.

“Reaksi dari pasar terhadap teror bom itu memang ada, tetapi tidak signifikan karena sifatnya sementara. Namun, investor juga berharap situasi keamanan tidak memburuk, dan tidak terus menerus terjadi,” ujar David kepada Tirto.

Pengaruh terorisme terhadap pergerakan pasar modal selama ini memang tidak berpengaruh banyak. Kendati demikian, respons investor cenderung negatif ketika aksi terorisme terjadi sejak dua dekade terakhir ini.

Berdasarkan data yang dihimpun Tirto, sejak kejadian teror bom di BEI pada 2000 hingga kejadian bom di Surabaya, pergerakan IHSG cenderung negatif. Dari total 13 kejadian teror bom, sebanyak 10 kejadian membuat IHSG memerah, sebagai respons pasar.

Dari 13 kejadian teror bom tersebut, peristiwa bom di Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 menjadi kondisi yang paling menekan IHSG saat terjadi insiden. Pada 14 Oktober 2002, IHSG anjlok hingga 10 persen dari rata-rata efek teror bom terhadap IHSG yang melemah 1,53 persen.

infografik bom mengguncang ihsg

Dampak Iklim Investasi

Secara historis, insiden bom membuat reaksi negatif pasar modal dengan paramater indeks yang melemah pasca kejadian untuk jangka pendek. Namun, yang dikhawatirkan peristiwa ledakan bom justru dinilai berpotensi memengaruhi ekonomi, terutama terhadap iklim investasi dan sektor pariwisata.

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Ekonom Bank Federal Reserve St. Louis Subhayu Bandyopadhyay, dan Profesor Ekonomi American University of Sharjah, Uni Emirat Arab Javed Younas menyebutkan aksi terorisme memiliki dampak ekonomi yang cukup luas.

Terorisme merupakan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan untuk membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Namun inti dari terorisme itu adalah untuk menciptakan rasa kerentanan bagi individu atau bisnis.

“Bagi investor asing, rasa kerentanan ini akan membuat mereka berpikir ulang, dan memilih negara lainnya yang ‘tidak rentan’ untuk menjadi tujuan investasi. Tentunya ini akan melukai negara-negara yang menjadi sasaran terorisme,” tulis artikel itu.

Berdasarkan data Global Terorism Index 2017 (PDF), skala dampak terorisme di Indonesia berada di level menengah dengan skor 4,55 dari skor tertinggi 10. Dari 130 negara yang dipantau, Indonesia berada di peringkat 42.

Di kawasan ASEAN, negara yang skala dampak terorismenya lebih besar dari Indonesia di antaranya Filipina dengan skor 7,12. Lalu, Thailand 6,6, dan Myanmar 4,95. Masing-masing negara itu berada di peringkat ke-11, ke-16, dan ke-37.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meyakini Indonesia masih menjadi magnet para investor asing. Apalagi, investment grade Indonesia juga terus meningkat, dan menjadi stabil dari sebelumnya positif.

“Meski kerawanan kita terbilang tinggi, kami pikir daya tarik Indonesia masih tinggi di mata investor asing. Makro ekonomi, dan investment grade kita masih cukup baik,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada Tirto.

Investasi asing merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Oleh karena itu, iklim investasi harus bisa dijaga apabila pertumbuhan ekonomi ingin melaju kencang.

Penanaman modal asing (PMA) termasuk di dalam salah satu komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi juga terbilang besar, atau kedua setelah konsumsi dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2018 mencapai 5,06 dari periode yang sama tahun lalu. Dari pertumbuhan itu, sekitar 56,8 persen disumbang oleh konsumsi dalam negeri, dan 32,12 persen disumbang PMTB.

Teror bom bisa jadi memang tidak akan berpengaruh besar terhadap ekonomi suatu negara. Namun apabila tidak diantisipasi secara serius, tidak menutup kemungkinan geliat ekonomi juga bakal terganggu. Respons investor sesaat di pasar saham tetap harus disikapi sebagai alarm dari potensi ancaman yang lebih besar terutama untuk investasi sektor riil yang juga butuh kepastian keamanan.

Baca juga artikel terkait BOM SURABAYA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra