Menuju konten utama

Mengapa Tingkat Kematian Corona di Indonesia Bisa Capai 8,4 Persen?

Per 18 Maret 2020 kasus meninggal dunia akibat COVID-19 di Indonesia mencapai 19 kasus atau 8,37 persen fatality rate.

Mengapa Tingkat Kematian Corona di Indonesia Bisa Capai 8,4 Persen?
Ilustrasi Virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jumlah pasien positif Virus Corona atau COVID-19 terus bertambah. Kemarin sore, pemerintah mengumumkan, 227 orang yang dinyatakan positif Corona. Dari jumlah kasus tersebut, 19 orang meninggal dan 11 lainnya sembuh.

Pasien yang meninggal itu, dirawat di beberapa rumah sakit yang tersebar di tujuh provinsi di Indonesia. Di antaranya ialah:

Bali: 1 orang.

Banten: 1 orang.

DKI Jakarta: 12 orang.

Jawa Barat: 1 orang.

Jawa Tengah: 2 orang.

Jawa Timur: 1 orang.

Sumatera Utara: 1 orang.

Jika dihitung tingkat kematiannya (case fatality rate), Indonesia berada di angka 8,37 persen atau di atas tingkat kematian global sebesar 4,01 persen, per 18 Maret 2020. Sementara tingkat kesembuhan berada di angka 4,84 persen. Cukup jauh di bawah tingkat kesembuhan global yang berada di angka 39,95 persen.

Secara statistik, Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi. Selain Indonesia, ada Filipina dengan 9,4 persen kemudian Italia dengan 7,94 persen, lalu disusul Iran sebesar 6,53 persen. Cina dengan angka kematian tertinggi justru memiliki CFR lebih rendah yakni 3,84 persen.

Jumlah meninggal tersebut, melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding hari sebelumnya yakni, lima kasus (Tirto mencatat ada 7 kasus). Hal ini diakui Juru Bicara Penanganan COVID-19 Indonesia Achmad Yurianto lantaran adanya keterlambatan informasi dari rumah sakit di daerah ke pusat.

“Kasus yang meninggal terdapat masalah dalam pendataan. Karena ternyata, setelah kami melakukan ricek tadi pagi dan kemudian kami berkoordinasi dengan seluruh RS di seluruh Indonesia yang merawat kasus ini, maka ternyata beberapa rumah sakit belum melaporkan kasus kematian sejak tanggal 12 Maret sampai dengan tanggal 17,” ujar Yuri dalam konferensi pers, Rabu (18/3/2020).

Artinya, sejak tanggal 12 Maret, sudah ada penambahan kasus meninggal akibat COVID-19.

Diagnostic Kit Terbatas

Terkait tingkat kematian yang tinggi, Juru Bicara Forum Peneliti Muda Indonesia atau Young Scientist Forum (YSF) Berry Juliandi mengatakan, hal itu dikarenakan masih cukup rendahnya angka kasus positif di Indonesia jika dibandingkan negara lain. Sebab pemerintah Indonesia tak melakukan mass screening.

“Kemungkinan karena ada pasien terinfeksi yang belum semuanya terdata. Jadi kalau semuanya terdata pembaginya menjadi besar sehingga mortality ratenya menjadi lebih rendah,” jelas Berry.

Berry menambahkan, tingkat kematian di Indonesia tak bisa dibandingkan dengan tingkat kematian negara lain. Misalnya saja dengan Korea Selatan yang melakukan pendataan secara masif sehingga angka kasus positifnya mendekati akurat.

“Masalahnya ada di diagnostic kit yang terbatas dan pelepasan informasi,” kata Berry.

Perlu diketahui per 18 Maret, Korea Selatan memiliki tingkat kematian 0,09 persen dengan total kasus positif 8.413 dan kasus meninggal 84 kasus.

Angka diagnosa yang rendah, lanjut Berry, disebabkan belum adanya anggaran untuk melakukan tes massal. Korea Selatan hingga saat ini mampu melakukan ribuan tes per hari. Sementara Indonesia hanya membatasi tes pada mereka yang pernah melakukan kontak dengan pasien positif.

“Sehingga kasus positif yang terkonfirmasi menjadi lebih sedikit dan memengaruhi tingkat kematian,” pungkas Berry.

Faktor lain yang menyebabkan angka kasus terkonfirmasi sedikit: Laboratorium pemeriksa yang hanya terpusat di satu tempat saja yakni Balitbangkes Jakarta. Baru-baru ini kemudian didesentralisasi ke Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL), Universitas Airlangga, dan Lembaga Eijkman.

Hal ini senada dengan pernyataan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dia mengatakan, WHO telah melihat kasus yang tidak terdeteksi atau terdeteksi pada tahap awal wabah mengakibatkan: Peningkatan signifikan dalam kasus dan kematian di beberapa negara.

Maka dari itu, ia merekomendasikan membangun kapasitas laboratorium yang memadai dan terdesentralisasi. Jika kelompok penyebar virus Corona mudah terindentifikasi, tindakan yang tepat segera bisa dilakukan untuk menanggulanginya.

Jika melihat kasus meninggal di Indonesia, ada yang masih menunggu hasil pemeriksaan COVID-19 saat diumumkan meninggal. Misalnya saja pada kasus pasien di Cianjur , Jawa Barat. Dia baru dinyatakan positif terjangkit COVID-19 setelah meninggal.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, pasien tersebut sempat berstatus suspect saat meninggal pada, Selasa (3/3/2020). Pria tersebut adalah seorang warga Bekasi yang sempat menjalani perawatan di ruang isolasi Rumah Sakit Dr Hafidz (RSDH) Cianjur.

Atau pada kasus di Semarang, satu pasien positif Corona meninggal sehari setelah dinyatakan positif mengidap COVID-19. Padahal sebelumnya ia sempat dirawat selama 10 hari.

Pada konferensi Rabu (18/3/2020), Yuri mengatakan pemerintah akhirnya akan menambah 15 laboratorium pemeriksa COVID-19. Ke-15 laboratorium pemeriksaan terdiri atas 4 balai besar laboratorium dan kesehatan (Jakarta, Palembang, Makassar dan Surabaya), 3 Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya), 7 laboratorium penelitian (Laboratorium Kesehatan DKI, Laboratorium Eijkman, Laboratorium FK Unair, Laboratorium FK UI, Laboratorium Siloam, Laboratorium Kalbe dan Laboratorium Bunda Grup) serta 1 Balai PEnelitian dan Pengembangan Kesehatan di Papua.

Sementara itu, per pukul 21.00 wib (18/3/2020) selang beberapa jam dari konferensi pers Achmad Yurianto, laman resmi DKI Jakarta merilis angka kematian baru yakni 15 kasus dari total kasus positif 160 orang (sebelumnya 125).

Sehingga berdasarkan pernyataan Yuri pada sore hari yang menyatakan kasus meninggal di Jakarta 12 orang, kini bertambah tiga orang. Maka secara nasional, angka kematian juga bertambah menjadi 22 orang.

Baca juga artikel terkait KASUS CORONA DI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Dieqy Hasbi Widhana