tirto.id - Setya Novanto sudah menjalani sidang pembacaan tuntutan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis 29 Maret 2018. Salah satu poin dalam tuntutan itu adalah belum dikabulkannya permohonan Novanto untuk menjadi Justice Collaborators (JC).
Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang belum diterimanya permohonan itu lantaran beberapa catatan. Salah satu alasan penting adalah Novanto merupakan tokoh yang punya peran utama dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
“Yang bersangkutan 'mengkoordinasikan' dan berarti pemeran utama. Menurut surat edaran Mahkahah Agung Nomo 4 Tahun 2011, pemeran utama tidak berhak mendapat JC," kata Saut saat dihubungi Tirto, Jumat (30/3/2018).
Saut merujuk pada putusan pengadilan tingkat satu terhadap Irman dan Sugiharto. Dalam vonis itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor mempertimbangkan Novanto dalam kasus tersebut yang berperan mengkoordinasikan anggaran. Peran itu dipaparkan Hakim Anggota Franky Tambuwun.
JC dalam Kasus e-KTP
Dalam kasus korupsi e-KTP, KPK sudah menetapkan delapan tersangka yakni Irman, Sugiharto, Andi Narogong, Setya Novanto, Anang Sugiana Sudiharjo, Markus Nari, Irvanto Hendra Pambudi, dan Made Oka Masagung. Irman, Sugiharto dan Andi Narogong sudah menjalani persidangan dan diputus di pengadilan tingkat pertama.
Ketiganya juga dikabulkan menjadi JC oleh majelis hakim. Belakangan, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan JC untuk Irman dan Sugiharto lantaran dianggap punya peran utama dalam kasus korupsi ini. KPK kemudian mengajukan kasasi ke MA untuk memperjuangkan status itu buat Irman dan Sugiharto.
Status JC menjadi rebutan sejumlah terpidana yang kasusnya diproses Komisi. Pengabulan atas status ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 4 Tahun 2011 (PDF) tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators/JC) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam poin 9 Sema No. 4 tahun 2011 dijelaskan pedoman mengenai penentuan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerja sama. Salah satu tindak pidana yang dimaksud dalam aturan ini adalah tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, dan perdagangan orang.
Pemohon harus memenuhi beberapa persyaratan agar pelaku tindak pidana khusus tersebut dapat ditentukan sebagai JC. Syarat tersebut antara lain: mengakui kejahatan yang dilakukan, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.
Selain itu, JPU di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana terkait secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lain yang memiliki peran lebih besar, serta mengembalikan aset yang telah dikorupsinya.
Keuntungan buat para terdakwa yang mendapatkan JC ialah berhak mendapatkan potongan masa hukuman atau remisi, dan berkesempatan mengajukan bebas bersyarat setelah menempuh 2/3 masa tahanan.
Dalam konteks kasus e-KTP, Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong dinilai Jaksa KPK telah bekerja sama dalam membongkar megakorupsi ini. Irman dan Sugiharto yang merupakan tersangka dan terdakwa pertama dalam kasus ini dianggap telah berterus terang dan membuka informasi yang mengarah kepada aktor lain. Hal sama juga diperlihatkan Andi Narogong yang juga bersikap koorperatif dan mau mengungkap pihak lain.
Puan dan Pramono Bukan Jaminan
Pada persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Novanto mengungkapkan ada penerimaan uang buat Puan Maharani dan Pramono Anung. Puan merupakan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sedangkan Pramono Anung adalah Sekretaris Kabinet.
“Ada juga [uang] ke Pramono Anung dan Puan Maharani [masing-masing] 500 ribu dolar."
Novanto tidak menjelaskan kapan persisnya uang diserahkan kepada dua orang ini. Ia hanya bilang kalau pemberian dilakukan pada September atau Oktober—tanpa menyebut tahun. Ketika itu, kata Novanto, Puan "sebagai Ketua Fraksi PDIP."
Puan menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP pada 23 Januari 2012 hingga 27 Oktober 2014. Ia menggantikan Tjahjo Kumolo yang menjabat Ketua Fraksi sejak 2009. Dalam rentang waktu ketika Puan jadi Ketua Fraksi, Pramono menjabat sebagai Wakil Ketua DPR bidang Industri dan Pembangunan.
Penyebutan ini membuat PDIP berang. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menuding Novanto sedang berusaha mengejar status JC dengan menyeret dua kadernya yang kini berada di lingkaran satu Istana.
Posisi sebagai JC memungkinkan Novanto dapat tuntutan dan atau vonis yang lebih ringan. Akhirnya, Hasto menilai kalau “apa yang disebutkan oleh Setnov kami pastikan tidak benar.” “Dan kami siap diaudit terkait hal tersebut,” kata Hasto.
Apa yang dituduhkan Hasto ternyata berkebalikan dengan tuntutan KPK. Permohonan JC Novanto belum diterima Jaksa. Saut menjelaskan, penyebutan sejumlah nama pihak lain termasuk Puan dan Pramono, sudah muncul dalam proses penyidikan tersangka sebelumnya. Yang dibutuhkan KPK saat ini adalah bukti keterlibatan pihak lain yang punya peran lebih kuat dalam kasus e-KTP. Bukti itu akan menjadi bahan pertimbangan buat KPK untuk mengabulkan permohonan JC.
“Soal nama-nama yang disebut [termasuk penyebutan nama Puan dan Pramono Anung] itu juga sudah muncul di proses tersangka sebelumnya. Kalau dia membuka pihak lain yang berperan lebih utama tentu bisa [dikabulkan JC]. Semoga yang bersangkutan bisa membuka,” kata Saut.
Tanggapan Novanto
Tim penasihat hukum Novanto tak ambil pusing dengan belum dikabulkannya status JC buat kliennya. Salah satu penasihat hukum Novanto, Firman Wijaya mengatakan, ada syarat tambahan yang harus dipenuhi kliennya.
Firman mengaku, tim penasihat hukum dan Novanto akan mengajukan nota pembelaan. Dalam nota tersebut, kata Firman, tidak tertutup kemungkinan mereka akan menyinggung status JC Novanto.
“Kalau tadi dikatakan ada syarat yang belum dipenuhi, berarti ada syarat lain yang sebenarnya sudah dipenuhi. Jadi mungkin hanya ada kurang persyaratan," kata Firman usai persidangan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis malam, 29 Maret 2018.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih