Menuju konten utama

Keuntungan Setya Novanto Jika Berstatus Justice Collaborator

Setya Novanto mengajukan status justice collaborator untuk membantu KPK mengungkap kasus e-KTP atau untuk menghindari hukuman berat?

Keuntungan Setya Novanto Jika Berstatus Justice Collaborator
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (11/1/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto resmi mengajukan status justice collaborator kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika memenuhi syarat dan permohonannya dikabulkan, maka Novanto bisa mendapat sejumlah keuntungan, salah satunya keringanan hukuman.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pihaknya sudah menerima permohonan pengajuan Justice Collaborator Novanto. Namun demikian, KPK masih akan melakukan kajian sebelum menyetujui atau menolak permohonan yang diajukan politikus Partai Golkar itu.

“Kami harus lihat dulu siapa saja pihak-pihak yang dibuka perannya oleh Setya Novanto, dan apakah di persidangan yang juga dilakukan hari ini [Kamis] dan ke depan itu SN konsisten terbuka dan juga mengakui perbuatannya,” kata Febri, di Jakarta, pada Kamis (11/1/2018).

Febri mencontohkan status justice collaborator yang diajukan Muhammad Nazaruddin. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu banyak memberikan informasi penting dalam persidangan kasus korupsi proyek Hambalang. Hasilnya, komisi antirasuah dapat menguak keterlibatan Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, hingga Andi Mallarangeng.

Dalam kasus e-KTP ini, KPK mempunyai bukti lain untuk melihat peran Novanto. “Terkait SN, kami sudah memiliki bukti aliran dana sampai 7,3 juta dolar AS dan pertemuan-pertemuan yang lain, dan itu tidak pernah disebut oleh Nazar sampai serinci itu sebenarnya,” kata Febri.

“Jadi itu poin yang ingin saya sampaikan adalah kalau kita mau bicara tentang posisi seseorang sebagai JC, maka kita bicara tentang banyak hal yang harus dipertimbangkan secara hati-hati,” kata Febri.

Novanto dalam surat dakwaan JPU KPK didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Artinya, ancaman hukuman untuk Novanto adalah seumur hidup.

Ancaman hukuman untuk Novanto ini bisa lebih rendah daripada ancaman yang seharusnya apabila pengajuan status justice collaborator dikabulkan KPK. Febri mencontohkan kisah hukuman yang diterima Andi Agustinus alias Andi Narogong.

“Pasal 2, Pasal 3 ini ancaman hukumannya seumur hidup, jadi sangat tinggi saya kira. Kalau dikabulkan JC contohnya Andi Agustinus kemarin dituntut 8 tahun penjara. Itu mungkin jadi pertimbangan juga mengajukan JC,” kata Febri.

Apakah Setya Novanto Pelaku Utama?

Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho mengatakan, setiap terdakwa, termasuk Novanto berhak mendapat status justice collaborator asalkan memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Syarat-syarat tersebut antara lain: mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan. Apabila permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dikabulkan, maka ia berhak mendapatkan sejumlah keuntungan.

Pasal 10A UU 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, telah mengatur secara tegas mengenai penanganan khusus dan pemberian penghargaan bagi justice collaborator, meliputi: pemisahan tempat penahanan dengan terpidana yang diungkap tindak pidananya, serta pemberian rekomendasi terkait pembebasan bersyarat atau remisi tambahan.

Bagaimana dengan Novanto yang kerap disebut dalam surat dakwaan sejumlah terdakwa lain di kasus e-KTP?

Hibnu mengatakan, intensitas penyebutan nama Novanto dalam surat dakwaan tidak menyimpulkan bahwa politikus Golkar itu sebagai pelaku utama. Menurut Hibnu, pelaku utama merupakan orang yang berinisiatif melakukan tindak pidana.

Dalam kasus korupsi, kata Hibnu, pelaku utama merupakan orang yang memang berniat koruptif. Mereka berupaya merencanakan sedemikian rupa untuk melakukan korupsi. Jumlah pelaku utama pun berbeda.

“Kalau korupsi, kan, berbarengan. Bisa satu, bisa dua. Kasuistik, tapi ini kan kasus yang kolektif, yang jamaah. Bisa dua. Bisa tiga,” kata Hibnu kepada Tirto, pada Kamis (11/1/2018).

Hibnu menjelaskan, justice collaborator merupakan sistem yang dibangun dalam konsep reward and punishment. Dalam proses peradilan, kata dia, sebuah perkara seringkali sulit terungkap. Oleh sebab itu, perlu ada insentif agar penanganan perkara menjadi lebih mudah, cepat, dan sederhana sesuai asas peradilan.

“Makanya undang-undang negara memberikan suatu 'iming-iming' atau keringanan bagi siapa saja terkecuali pelaku utama yang berpartisipasi atau bekerjasama dalam pengungkapan suatu perkara,” kata Hibnu.

Namun demikian, kata Hibnu, KPK bisa saja memberikan status justice collaborator kepada Novanto meskipun, misalnya, dinyatakan sebagai pelaku utama. Untuk mendapatkan status justice collaborator dengan status pelaku utama, Novanto harus berani membuka secara terang perkara korupsi e-KTP ini. Ia juga harus mengungkap nama-nama lain yang terlibat dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun itu.

“Itu [syarat bukan pelaku utama dan mau bekerjasama] secara normatif, tapi kalau ini seandainya KPK mau mengabulkan karena ini pelaku utama, ada kewajiban dia mengaku semua perbuatannya,” kata Hibnu.

Novanto akan Bantu Bongkar Kasus

Firman Wijaya, salah satu pengacara Novanto mengatakan, dengan pengajuan status justice collaborator ini, pihaknya akan membuka nama-nama lain yang terlibat dalam skandal kasus korupsi e-KTP. Firman mengklaim, kliennya akan membongkar inisiator dari kasus ini.

“Yang jelas saya melihat peran Pak Novanto tidak dalam posisi yang sangat berpengaruh dalam ini. Karena tadi saya katakan soal penganggaran, perencanaannya sudah dirancang jauh dan itu ada lembaganya, ada instansinya,” kata Firman, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Sayangnya, Firman enggan merinci siapa nama yang dimaksud. Akan tetapi, Firman memberikan sinyal bahwa proyek e-KTP sudah dirancang, mulai dari penganggaran, perencanaan, hingga inisiator proyek. Nantinya, semua itu akan dibuka dalam fakta persidangan.

“Jadi apa yang disebut dengan berpengaruh sebenarnya pada proses penganggaran, Siapa inisiator penganggaran, ini penting, di mana proyek ini diusulkan. Baru kemudian nanti mengalir pada soal-soal yang lain, termasuk kebijakan,” kata Firman.

Firman juga enggan menjawab saat disinggung soal keterlibatan mantan Mendagri Gamawan Fauzi sebagai orang besar yang dimaksud. Ia tidak mau berandai-andai dalam pengungkapan nama.

“Kami kan tidak bisa berspekulasi. Tapi kami lihat saja, kalau posisi yang lebih besar itu jabatan-jabatan yang berpengaruh di negeri ini, ya mungkin saja. Tapi kita tunggu pembuktiannya,” kata Firman.

Lebih lanjut, Firman menyinggung soal konsekuensi dari pengungkapan nama-nama tersebut. Karena itu, pihaknya mengajukan perlindungan sebagai saksi dengan cara mengajukan status justice collaborator untuk Novanto.

Firman beralasan, ada sejumlah risiko yang akan dihadapi kliennya jika ikut membongkar nama-nama lain yang terlibat, karena itu perlu perlindungan. “Sebenarnya yang disebut protection cooperating person itu termasuk tersangka, terdakwa, terpidana. Karena ini efek atau risiko menjadi JC bisa sekarang, saat sidang, bisa nanti,” kata Firman.

Dalam konteks ini, KPK memastikan akan memberikan perlindungan jika status JC Novanto dikabulkan. Namun sejauh ini, komisi antirasuah masih mengkajinya. “Belum ada sejauh ini [perlindungan saksi]. Jadi surat yang kami terima secara resmi baru soal JC,” kata Febri.

Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, pihaknya siap memberikan perlindungan bagi Novanto apabila KPK menetapkan mantan Ketua DPR RI itu sebagai justice collaborator.

“Kalau dari sisi LPSK, selama dia diberi [status] justice collaborator oleh KPK, ya mau tidak mau kami memberikan perlindungan,” kata Hasto saat dihubungi Tirto, Kamis.

Hasto menjelaskan, seseorang yang ingin mendapat perlindungan sebagai saksi harus memenuhi empat syarat, yaitu: bukan pelaku utama, bersedia bekerjasama dengan penyidik dalam proses peradilan, mau mengembalikan uang negara, serta beritikad baik.

Menurut Hasto, proses pengajuan perlindungan saksi dan korban harus disampaikan pertama kali kepada penyidik. Begitu KPK menerbitkan status JC, LPSK akan melakukan investigasi terhadap Novanto. Salah satunya akan memeriksa kembali apakah 4 unsur sudah masuk atau belum terpenuhi.

Setelah investigasi, kata Hasto, LPSK akan melakukan rapat paripurna untuk menentukan Novanto layak atau tidak menerima perlindungan. Apabila layak, Novanto akan mendapat perlindungan dari LPSK.

Perlindungan yang diberikan LPSK pun beragam. Saksi atau korban, misalnya, bisa ditempatkan di rumah khusus. Apabila sudah resmi dipenjara, maka narapidana akan ditempatkan di sel terpisah. Ia pun bisa mendapat keringanan hukuman sebagai bentuk perlindungan.

Namun demikian, Hasto mengingatkan, keempat syarat tersebut merupakan syarat mutlak, terutama poin itikad baik. Ia mengatakan, LPSK bisa saja tidak memberikan perlindungan seperti yang dialami Nazaruddin.

“Beberapa kali Nazarudin meminta perlindungannya LPSK, tapi kami tidak memberikan perlindungan karena kita melihat itikad baiknya tidak ada, dan bahkan dalam beberapa kasus dia justru melakukan penindakan terhadap stafnya yang terikat dalam kasus dia,” kata Hasto.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Lalu Rahadian
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani