Menuju konten utama

LPSK: Justice Collaborator Bukanlah Pelaku Utama

Menjadi Justice Collaborator dengan mengungkap kejahatan pelaku lainnya berisiko sangat tinggi, bahkan bisa kehilangan nyawa. Untuk itulah LPSK mengajak para aparat penegak hukum untuk sama-sama merujuk kepada UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam menetapkan status JC, termasuk memberikan penghargaan kepada mereka.

LPSK: Justice Collaborator Bukanlah Pelaku Utama
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai. Antara Foto/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Pelaku kejahatan saat ini semakin berhitung untung rugi menjadi saksi pelaku yang bekerja sama (:Justice Collaborator/JC). Sebab, belum adanya cara pandang yang sama mengenai kriteria JC antar-aparat penegak hukum. Apalagi, risiko menjadi JC dengan mengungkap kejahatan pelaku lainnya sangat tinggi, bahkan bisa kehilangan nyawa.

Demikian informasi yang didapat tirto.id melalui pers rilis dari Unit Diseminasi dan Humas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, ekspektasi pelaku kejahatan menjadi JC, salah satunya untuk mendapatkan perlindungan maksimal, termasuk mendapatkan hak-hak dan penghargaan lainnya yang dimungkinkan diterima sesuai peraturan perundang-undangan, meski pada praktiknya tidak selalu begitu.

“JC juga tetap harus mengikuti proses persidangan. Di sinilah terbuka kesempatan perbedaan cara pandang antara penyidik, jaksa, dan hakim terhadap status JC,” ujar Emerson dalam diskusi bersama media dengan tema “Lemahnya Pemanfaatan dan Penghargaan JC dalam Pengungkapan Tindak Pidana” di kantor LPSK, Rabu (29/6).

Menurut Emerson, selama belum ada kesepakatan mengenai JC antar-aparat penegak hukum, pelaku kejahatan akan berhitung untung dan rugi menjadi JC. Hal ini tentu menyulitkan aparat penegak hukum membongkar kejahatan terorganisir, seperti kasus korupsi. “Kalau tetap dihukum berat, apa untungnya menjadi JC? JC ini nantinya bukan lagi justice collaborator tapi justice calculator,” paparnya

Menurut catatan ICW sendiri, dari ratusan tersangka yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sangat kecil peluang bagi mereka untuk lolos atau bebas dari jeratan hukum. Peluang bagi mereka hanyalah menjadi saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum. Akan tetapi, hal itu pun sangat tergantung pada kesamaan cara pandang penegak hukum terhadap status JC itu sendiri.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui, kondisi JC saat ini memang belum seperti yang diharapkan. Sebab, masih terdapat perbedaan penafsiran dan aturan yang dipedomani para aparat penegak hukum dalam menetapkan status JC. Meski di sisi lain, pengaturan JC sudah diatur dalam hukum positif Indonesia. Namun, pelaksanaannya belum maksimal.

“Pengaturan mengenai JC merupakan salah satu amanat Konvensi PBB melawan korupsi. Peran JC dianggap penting untuk membongkar kejahatan-kejahatan terorganisir, termasuk salah satunya korupsi. Hanya saja menjadi JC memang tidak mudah, karena risikonya juga tinggi termasuk ancaman terhadap keselamatan,” kata Semendawai.

Karena itulah, lanjut dia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur dengan jelas kriteria JC berikut hak-hak dan penghargaan yang layak diperoleh JC mengingat pentingnya kesaksian mereka untuk mengungkap peran pelaku utama kejahatan.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengajak para aparat penegak hukum untuk sama-sama merujuk kepada UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam menetapkan status JC, termasuk dalam memberikan penghargaan kepada mereka. Sebab, hanya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur secara jelas mengenai JC.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, kata Edwin, disebutkan kriteria JC dan penghargaan yang diberikan kepada JC. Kriteria dimaksud yaitu JC bukan pelaku utama dan harus mengembalikan hasil kejahatannya. Selan itu juga diatur mengenai penghargaan bagi JC, mulai hak agar bekas perkaranya dipisah dengan terdakwa lain hingga pengurangan masa hukuman.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah terdakwa korupsi yang disematkan status JC oleh KPK, dalam sidang putusan tidak diakui oleh majelis hakim. Hakim menganggap mereka yang berstatus JC itu merupakan pelaku utama dan dijatuhkan vonis berat. Seperti yang menimpa asisten anggota DPR RI Dewi Yasin Limpo dan penyuap anggota DPR Damayanti.

Pada kasus suap yang melibatkan anggota DPR RI Dewi Yasin Limpo, asisten pribadinya Rinelda dituntut 5 tahun penjara dan disematkan status JC oleh pimpinan KPK. Namun, majelis hakim tidak sependapat dan menyatakan Rinelda bukan sebagai JC. Hakim kemudian memvonis yang bersangkutan dengan pidana 4 tahun penjara.

Begitu pula dengan Abdul Khoir, penyuap anggota DPR Damayanti. Meskipun sudah dinyatakan sebagai JC oleh pimpinan KPK dan dituntut rendah oleh jaksa KPK sebanyak 2,5 tahun, hakim yang menyidangkan kasus ini tidak sependapat. Hakim justru menyatakan Abdul Khoir sebagai pelaku utama dan tidak berhak menyandang status JC. Vonis yang dijatuhkan berupa pidana 4 tahun penjara. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari