Menuju konten utama

Terduga Koruptor Bisa Bantu KPK Bongkar Koruptor e-KTP Kakap

Pemberian status justice collaborator dalam kasus korupsi e-KTP sangat penting agar bisa menyeret sejumlah nama yang memiliki pengaruh kuat. Tapi, mereka tak otomatis terbebas dari delik pidana.

Terduga Koruptor Bisa Bantu KPK Bongkar Koruptor e-KTP Kakap
Massa yang tergabung dalam Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) melakukan aksi di depan Gedung KPK, Selasa (21/2). Mereka menutut supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut hingga tuntas kasus korupsi E-KTP. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - “Saya melihat KPK kurang fair dalam menangani kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP, karena ada yang dibuka tapi ada yang ditutupi.”

Pernyataan itu diungkapkan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, pada Rabu (15/3/2017). Politikus PKS ini mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak mencantumkan 14 nama yang telah mengembalikan uang suap e-KTP. Padahal, sejumlah nama lain disebut secara jelas dalam berkas dakwaan Irman dan Sugiharto yang dibacakan pada sidang perdana, di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Komisi antirasuah pun buka suara terkait tidak dicantumkannya 14 nama dalam berkas dakwaan Irman dan Sugiharto. Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif mengatakan pihaknya tidak menyertakan 14 nama yang telah mengembalikan uang suap e-KTP dengan pertimbangan keselamatan. KPK beharap mereka bisa menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar korupsi e-KTP.

Namun, bukan berarti 14 nama tersebut lolos dari delik pidana. Mereka tetap bisa diproses dalam skandal kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini. “Tapi kapan akan ditetapkan sebagai tersangka bisa dilihat pasti dia yang terakhir, karena dia sudah membantu KPK memberikan informasi dan sudah punya niat baik untuk mengembalikan uangnya,” kata Laode, Senin (20/3/2017).

Pernyataan Laode sejatinya merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konteks ini, saksi pelaku berhak untuk mendapatkan perlindungan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

Hal senada diungkapkan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Yogyakarta, Hifdzil Alim. Ia menilai pemberian status JC dalam menangani kasus korupsi e-KTP sangat membantu KPK, mengingat kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama besar yang memiliki pengaruh kuat secara politik.

Karena itu, UU Nomor 31 tahun 2014 dinilai bisa menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menetapkan status JC. Menurut Hifdzil, JC biasanya dipakai untuk tujuan jaminan bagi pelapor untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini dilakukan karena bisa saja, para saksi yang mau bekerja sama dengan penegak hukum mendapat ancaman.

Menurut Hifdzil, siapa pun bisa mengajukan status JC asalkan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum. “Saksi atau saksi yang berpotensi menjadi tersangka boleh mengajukan status JC ke LPSK untuk mendapatkan perlindungan sebagai saksi,” ujarnya kepada wartawan Tirto.

Pemberian Status JC Mendesak

Mengingat kasus e-KTP termasuk kategori skandal korupsi yang cukup besar, Hifdzil menilai pemberian status JC bagi mereka yang bersedia bekerja sama mendesak dilakukan. “JC sangat penting karena apabila ada saksi yang berpotensi menjadi tersangka dan mau membongkar kasus tersebut, maka harus diberikan perlindungan. LPSK harus bertindak aktif dalam hal ini,” ujarnya.

Sejauh ini, selain 14 nama yang disebut telah mengembalikan uang suap e-KTP dan bersedia bekerja sama dengan KPK, ada dua nama lain, yaitu Irman dan Sugiharto yang telah mengajukan permohonan untuk memperoleh status JC. Mereka bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut. Namun, KPK masih mempertimbangkan status JC yang diajukan oleh dua terdakwa ini.

“KPK masih mempertimbangkan hal tersebut. Kami akan sampaikan pendapat dan usulan KPK nantinya ke hakim,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (22/3/2017).

Sebelumnya, sejak keduanya masih bersatatus sebagai tersangkan, KPK memang telah mempertimbangkan pengajuan JC yang diajukan Irman dan Sugiharto. Dalam hal ini, komisi antirasuah sangat terbuka untuk pengajuan JC, tapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon JC.

Salah satunya, mereka yang mengajukan JC harus mengakui perbuatan dan menyesalinya. Selain itu, mereka juga harus memberikan keterangan seluas-luasnya dengan mengungkap pelaku lain yang lebih besar atau aktor utama. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka pengajuan JC tersebut dapat dikabulkan.

Infografik Justice Collaborator kasus E-KTP

Lalu, kapan status JC dapat diberikan?

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi dalam artikel “Justice Collaborator” yang dimuat di Harian Kompas (15 Maret 2017) menulis bahwa UU Nomor 31 tahun 2014 memberikan ruang kepada aparat penegak hukum memberikan status JC sejak proses penyidikan. Namun, beberapa pandangan penyidik dan penuntut umum menghendaki status JC tersebut diberikan setelah calon JC menyampaikan keterangannya sebagai saksi di persidangan.

Pendapat ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa calon JC tidak mengungkap keterangan yang benar ketika bersaksi di persidangan. Menurut Edwin, kekhawatiran ini beralasan, tetapi tidak sepenuhnya benar. Ia berpendapat pemberian status JC sebaiknya diberikan sejak penyidikan. Jika penanganan secara khusus bagi JC ini terlambat diberikan, dikhawatirkan tujuan pengungkapan perkara yang diharapkan tidak tercapai.

Hal tersebut bisa saja terjadi, mengingat pelaku lain yang berperan lebih besar dalam kasus itu tentu tidak menghendaki adanya saksi yang bisa mengungkap kejahatan mereka. Pelaku lain itu bisa menggunakan segala cara, baik bujuk dan tipu rayu maupun kekerasan untuk meniadakan saksi yang memberatkan tersebut.

Menurut dia, kekhawatiran pelaku atau calon JC tidak memberikan keterangan yang benar dalam persidangan seharusnya tidak menjadi alasan menunda pemberian status JC. Sebab, keputusan aparat penegak hukum dalam pemberian JC tersebut masih dapat dikoreksi jika ternyata pelaku melanggar kerja sama dengan aparat penegak hukum ketika bersaksi di persidangan.

Di sisi lain, pelaku utama dalam suatu perkara bisa saja bermain mata dengan oknum aparat penegak hukum untuk melokalisasi pertanggungjawaban. Kolusi macam ini dapat menutup peluang saksi pelaku yang bekerja sama untuk mendapatkan status JC.

Hal yang sama juga diungkapkan Hifdzil yang mendorong agar pemberian JC dimulai sejak proses penyelidikan dan penyidikan. Tujuannya agar saksi pelaku dapat memberikan informasi lebih lengkap sehingga bisa membongkar kasus yang menjeratnya.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani