tirto.id - Meiliana, perempuan asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, divonis 18 bulan penjara karena mengeluhkan kebisingan pengeras suara sebuah masjid dekat kediamannya. Ia korban teranyar—dan mungkin bukan yang terakhir—dari pasal ganas penodaan agama.
Sejumlah warga muslim setempat menganggap keluhan Meiliana yang disampaikan kepada seorang tetangga pada Juli 2016 sebagai ajakan perang. Padahal Meiliana hanya mengeluh tentang pengeras suara, bukan azannya. Keluhan yang ditafsirkan sebagai pelecehan itu dampaknya tak main-main. Tiga vihara, delapan kelenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjung Balai dibakar massa yang mengamuk. Tiga mobil, dua motor, serta satu becak juga tak luput dari aksi perusakan.
Pada Maret 2017, Meiliana ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 156 subsider 156a KUHP tentang penistaan agama, sebuah pasal yang juga menghantarkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Purnama ke bui.
Setelah melewati beberapa persidangan yang senantiasa dipenuhi kerumunan massa, Selasa kemarin (21/8), Hakim Wahyu Prasetyo dari Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa Meiliana bersalah dan menghukumnya dengan kurungan 1,5 tahun penjara.
Vonis Ringan untuk Pelaku Kekerasan Agama
Selain memidanakan Meiliana, keributan di Tanjung Balai juga menyeret delapan orang lainnya sebagai tersangka. Delapan orang itu dituntut dengan pasal yang berbeda-beda. Heri Kuswari (28), misalnya, didakwa dengan pasal pencurian. Zakaria Siregar alias Bang Zack (21) didakwa telah menjadi provokator. Sementara sisanya didakwa dengan pasal perusakan.
Ironisnya, hukuman yang dituntut oleh JPU tergolong ringan, yakni hanya 3-5 bulan penjara. Pada sidang vonis Januari silam, majelis hakim yang dipimpin Ulina Marbun bahkan memberikan hukuman yang jauh lebih ringan: sekitar 1,5 bulan penjara dipotong masa tahanan. Hanya Zakaria Siregar yang dihukum sedikit lebih berat, yakni penjara selama 2 bulan 18 hari dipotong masa tahanan.
Sebelum konflik Tanjung Balai, vonis ringan juga dijatuhkan untuk para pelaku penyerangan jamaah Ahmadiyah di Cikeusik pada 2011. Mengutip BBC Indonesia, sebanyak 12 terdakwa penyerang Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, hanya dijatuhi hukuman tiga sampai enam bulan penjara dalam persidangan yang digelar pada Juli 2011. Hakim seolah tutup mata atas fakta tewasnya tiga pengikut Ahmadiyah akibat serangan tersebut.
Vonis ringan itu sebetulnya sudah diduga banyak pihak, mengingat tuntutan tertinggi jaksa kepada para terdakwa adalah tujuh bulan saja.
Phil Robertson, Deputi Direktur Human Rights Watch untuk Asia kala itu, menyebut vonis hakim sebagai “pesan menyeramkan” dari dunia peradilan Indonesia terhadap kelompok agama minoritas yang tengah mencari pemenuhan atas hak-haknya.
Yang bikin prihatin lagi, sebagaimana diwartakan VOA Indonesia pada Agustus 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang malah menjatuhkan vonis terhadap anggota Ahmadiyah, Deden Sudjana, dengan hukuman penjara enam bulan. Hakim beralasan bahwa Deden telah melakukan tindakan yang membuat warga Cikeusik resah dengan "menolak perintah polisi untuk meninggalkan lokasi tempat kejadian".
"Mereka itu membunuh tiga saudara saya dengan keji dan kejam dan juga terencana," ungkap Deden. “Negara gagal dalam melindungi kebebasan beragama. Seharusnya bila ada perbedaan marilah kita berdialog, tapi kenyataannya masih ada pembunuhan yang kejam hanya karena perbedaan penafsiran saja.”
Ironi keadilan serupa juga muncul tiga tahun sebelumnya. Pada 1 Juni 2008, massa Front Pembela Islam (FPI) menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang tengah menggelar peringatan Hari Lahir Pancasila di kawasan Silang Monas. Serangan itu didasari oleh klaim FPI bahwa AKKBB membela dan melindungi Ahmadiyah. Menurut laporan Antara, belasan anggota AKKBB mengalami luka-luka dalam serangan ini.
Dilansir dari Detik, Panglima Komando Laskar Islam (KLI) Munarman dinyatakan polisi terlibat dalam penyerangan tersebut. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Ketua Majelis Hakim Panusunan Harahap menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Munarman karena telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap orang dan barang seperti yang diatur dalam pasal 170 ayat 1 KUHP. Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Munarman dipenjara selama 2 tahun.
Faktor Tekanan Mayoritas
Nathanael Gratias Sumaktoyo, peneliti isu-isu toleransi, kebebasan beragama, dan psikologi politik yang sedang menempuh studi di Notre Dame University, mengungkapkan dua faktor penyebab ringannya vonis untuk para pelaku kekerasan bermotif agama.
Pertama, menurut Nathanael, hukum di Indonesia masih multi-tafsir. Kerangka hukum semacam itu (contohnya UU ITE dan PNPS 1965), memberi celah bagi kelompok-kelompok intoleran untuk membentuk opini publik. Aparat penegak hukum pun cenderung tidak konsisten membedakan mana pelaku mana korban
“Kasus Tanjung Balai, misalnya. Perusakan vihara dianggap sekadar reaksi dari keluhan Meiliana. Asumsi yang didengungkan adalah bila Meiliana tidak menista maka tidak akan ada perusakan. Pandangan ini salah fokus karena menjadikan penodaan agamanya sebagai isu sentral dan perusakannya sebagai isu sekunder. Padahal jelas Meiliana tidak melukai atau merusak apapun, sementara perusak vihara telah menyebabkan kerugian materi,” jelasnya saat dihubungi Tirto.
Faktor berikutnya adalah relasi mayoritas-minoritas. Dalam pengamatan Nathanael, kebanyakan pelaku kasus kekerasan agama yang dihukum ringan berasal dari kelompok mayoritas di daerah tersebut, sedangkan korbannya dari kelompok minoritas (bisa seagama, bisa juga tidak).
Dengan jumlah yang lebih banyak, lanjut Nathanael, pelaku kekerasan beserta simpatisannya memiliki kemampuan lebih untuk memengaruhi pertimbangan hakim dan menekan penegak hukum.
“Saya menduga polisi akan segan menindak tegas pelaku kekerasan dari kelompok mayoritas karena takut menyulut keributan lebih luas,” terang peneliti yang beberapa waktu lalu mempublikasikan riset berjudul “Putting Politics First: The Impact of Politics on American Religious and Secular Orientations” (2018) ini.
Analisis Nathanael persis menggambarkan apa yang terjadi di Tanjung Balai. Laporan berjudul "Rekayasa Kebencian dalam Kasus Meiliana di Tanjung Balai" yang disusun oleh para peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, secara rinci memuat kronologi peristiwa Tanjung Balai. Pada mulanya tak ada warga yang mau melaporkan Meiliana ke polisi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tanjung Balai pun enggan mengeluarkan fatwa penodaan agama.
Situasi memanas ketika ormas dan lembaga Islam seperti FUI, HTI, dan pesantren al-Wasliyah mendesak MUI mengeluarkan fatwa. Pada Januari 2017, akhirnya MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tindakan Meiliana termasuk dalam kategori penistaan terhadap agama Islam.
“Saya yakin bahwa mereka yang intoleran adalah minoritas dalam Islam. Persoalannya, meskipun jumlah mereka mungkin sedikit, mereka memiliki kemampuan organisasi yang cukup baik, mampu mengerahkan massa, dan memang lebih militan,” terang Nathanael.
“Ini bisa kita lihat dari keberanian mereka berhadapan dengan NU dan Muhammadiyah. Kemampuan mengerahkan massa dan mengorganisasi diri ini membuat mereka terlihat berpengaruh dalam kehidupan sosial dan politik kita. Kelompok inilah yang menurut saya memiliki sindrom perasan terancam atau merasa teralienasi.”
Oleh para pendukungnya, pasal penodaan agama dipandang sebagai perangkat yang mampu melindungi umat beragama dari berbagai tindakan yang dinilai merusak kesucian agama.
Namun, dalam praktiknya, delik pidana dalam pasal penodaan agama justru sering memicu kekerasan karena sifatnya yang lentur. Pasal itu sangat mudah ditafsirkan sesuai kepentingan kelompok tertentu, selain membuka celah untuk aksi-aksi intoleran dan kriminalisasi terhadap siapapun yang dianggap berbeda dari mayoritas.
Menurut Nathanael, masyarakat tak membutuhkan UU yang mengkriminalisasi penodaan agama. Isu penodaan agama seharusnya menjadi ranah masyarakat sipil dan tak perlu membawa-bawa perangkat represif negara. Membawa-bawa negara, tegasnya, “justru membuat lembaga keagamaan menjadi malas berpikir dan berdiskusi.”
“Yang terjadi sekarang adalah kelompok intoleran hanya ingin agar si penoda agama dipenjara. Hampir tidak ada diskusi dan adu pendapat. Ketiadaan diskusi dan adu pendapat ini membuka peluang interpretasi agama yang tunggal, yang dimonopoli oleh kelompok tertentu,” pungkasnya.
Editor: Windu Jusuf