tirto.id - Tahun 2020 menjadi momentum emas bagi investor ritel. Di tengah pandemi yang membuat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih volatile, jumlah investor ritel justru mengalami peningkatan pesat.
Berdasarkan data yang dirilis Bursa Efek Indonesia (BEI) per 29 Desember 2020, jumlah Single Investor Identification (SID) yang tercatat di PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) telah mencapai 3,87 juta investor. Angka ini meningkat hingga 56 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka itu mencakup SID untuk saham, obligasi, dan reksa dana. Khusus untuk investor saham terjadi kenaikan hingga 53% menjadi 1,68 juta SID.
Sementara OJK mengungkapkan, investor ritel selama tahun 2020 didominasi oleh masyarakat dengan usia kurang dari 30 tahun. Jumlahnya mencapai 54,8 persen, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Porsi terbanyak kedua diisi oleh investor berusia 31-40 tahun.
“Musim Semi” investor ritel ini juga diramaikan oleh artis sekaligus influencer. Adalah Raffi Ahmad dan Ari Lasso, yang menceritakan kisahnya mendulang untung dari pasar modal. Kedua pesohor itu mengunggah pengalamannya mendapatkan untung besar di pasar modal di akun Instagram masing-masing.
Melalui Instastory-nya, Raffi menginformasikan portofolionya di salah satu emiten telah menghasilkan capital gain sebesar20-30% dalam kurun 2-3 minggu. Unggahan serupa juga dibagikan Ari Lasso yang berbicara soal grafik saham portofolionya yang tumbuh positif dan mengingatkan investor untuk memilih emiten yang tepat.
Dalam video yang diunggah pada Senin, (04/01/2021), Raffi Ahmad dan Ari Lasso sama-sama merujuk pada saham PT M Cash Integrasi dengan kode emiten MCAS. Keduanya kompak bercerita soal saham MCAS yang diklaim membawa keuntungan. Saham MCAS pun ditutup di level Rp 4.550 atau melejit 8,33% pada perdagangan 5 Januari 2021, sehari setelah unggahan video “promosi” saham Raffi dan Ari di Instagram.
Sayangnya, unggahan tersebut langsung memicu kontroversi. Raffi dan Ari diduga melakukan endorse saham MCAS secara terselubung. Pihak MCAS sendiri menepis adanya kerjasama untuk mempromosikan saham perusahaannya.
Menanggapi keriuhan tersebut, BEI menyatakan ada fenomena baru transaksi oleh investor retail dan juga kehadiran influencer yang mengunggah konten-konten tentang pasar modal di media sosial. Melihat hal tersebut, Direktur Perdagangan Saham BEI Laksono Widodo menyatakan pihaknya akan melakukan pendekatan persuasif dan memberikan edukasi kepada para influencer.
Jerat Hukum
Promosi saham oleh para influencer di media sosial kini sedang menjadi fenomena baru. Ada lagi nama putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, atau Yusuf Mansyur. Mereka kerap memberi “petunjuk” mengenai emiten tertentu, meski tidak dilandasi dengan alasan teknis yang mumpuni.
Praktisi hukum pasar modal Arief Nursatrio melihat para influencer dengan cakupan pengikut yang banyak punya tanggung jawab moral dan hukum ketika mengunggah konten seputar cerita personal investasi saham.
“Saya sebenarnya menyambut positif dengan mulai maraknya influencer yang bicara soal investasi. Tapi perlu diingat juga ada tanggung jawab moral dan hukum terhadap followers-nya. Cerita dari influencer di media sosial harus berdasarkan pengalaman pribadinya, bukan bertindak sebagai penasihat investasi,” kata Arief kepada reporter Tirto, Selasa (12/01).
Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, memang tidak secara tegas merinci soal batas-batas cerita pribadi dan rekomendasi soal investasi saham.
Pasal 92 UU No8/1995 menyebutkan: “Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek.”
Regulasi yang ada hanya melanggar kata “beli” dan “jual” bagi yang bukan penasihat investasi ketika membicarakan investasi saham. "Ketika dia tidak bilang jual atau beli sebenarnya sah-sah saja,” kata Arief.
Namun, masalah datang ketika mengunggah informasi yang misleading dan tidak benar seputar emiten. Jerat hukum bisa dikenakan.
Hal ini pun telah termaktub dalam pasal 91 UU Nomor 8 Tahun 1995 yang menyatakan, “Setiap pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Bursa Efek”.
Para influencer yang terbukti memiliki hubungan bisnis dengan emiten dan menyebarkan informasi misleading dapat dijerat hukum.
“Bila terbukti punya hubungan bisnis dan menyesatkan, followers atau pengikut si influencer ini bisa saja menuntut,” terang Arief.
Arief mengingatkan para influencer untuk hati-hati ketika membicarakan investasi di media sosial. Menurut Arief, sah-sah saja bila membicarakan investasi saham di media sosial. Namun, hal itu harus ditunjang dengan narasi “pengalaman” bukan “prediksi”.
“Jangan sampai unggahan influencer ini menjual sebuah kepastian karena di investasi tidak ada kepastian, semuanya ada risikonya,” jelas Arief.
Hati-hati Berinvestasi
Kepada para investor retail, Arief menyarankan agar tetap memegang analisis fundamental dan teknis sebagai acuan transaksi saham, bukan cerita influencer. Analisis teknis digunakan untuk menganalisis pergerakan pasar dalam jangka waktu pendek dengan mengamati pola-pola tertentu, antara lain data pasar, harga saham, dan volume transaksi saham. Data-data ini yang dapat menuntun investor untuk tahu kapan waktu terbaik membeli saham dalam jangka waktu pendek.
Bila investor memiliki tujuan investasi jangka panjang, maka diperlukan analisis fundamental untuk menentukan emiten dengan potensi keuntungan yang besar. Analisis fundamental menggunakan pendekatan top down analysis, yakni dengan menganalisis kondisi makro, iklim industri, hingga kondisi spesifik perusahaan.
Dalam melakukan analisis fundamental, investor mesti memahami pergerakan kebijakan ekonomi suatu negara yang dapat berdampak pada kinerja bisnis calon portofolio, misalnya PDB, suku bunga acuan, dan pergerakan diplomasi antarnegara.
Informasi di lingkup industri perusahaan tersebut juga harus dicermati calon investor untuk menilik prospek potensi produk perusahaan tersebut. Aspek terakhir yang dilihat dalam analisis fundamental ialah pertimbangan kondisi perusahaan, contohnya lini manajerial suatu perusahaan.
Philip Fisher dalam Common Stocks and Uncommon Profits (1958) membeberkan kunci lain memilih emiten yakni dengan melihat laporan keuangan, evaluasi manajemen, hingga prinsip bisnis dasar perusahaan.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Windu Jusuf