tirto.id - Langkah Ketua Umum Projo Budi Arie yang hendak bergabung ke Gerindra menemui batu sandungan. Ramai-ramai kader partai besutan Prabowo Subianto itu menolak kehadiran Budi Arie untuk bergabung ke partai tersebut.
Tirto mencatat, kader Gerindra di sejumlah daerah seperti Surakarta, Sidoarjo, Gresik, Batu, Tulungagung, Jakarta Timur, hingga Pematang Siantar menyatakan penolakan ihwal bergabungnya Budi Arie. Mereka meragukan loyalitas hingga menyinggung kasus hukum yang menjerat ketum Projo itu.
Bergabungnya Budi Arie ke Gerindra juga dimaknai sebagai langkah pragmatisme politik demi mencari jabatan dan “suaka” untuk lepas dari jeratan hukum.
"Langkah pragmatis tersebut dibaca sebagai sebuah cara untuk berlindung dari kasus hukum yang berpotensi melilit dirinya. Di sisi lain, Budi Arie juga tentu berharap masih bisa mendapat posisi penting di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo," ujar Ketua DPC Gerindra Pematang Siantar, Gusmiyari, dikutip dari Detik, Jumat (14/11/2025).
Budi Arie Nyatakan Ingin Bergabung ke Gerindra

Dalam Kongres III Projo yang digelar di Jakarta pada 1–2 November 2025, Budi Arie yang kembali terpilih menjadi ketua umum untuk periode 2025–2030 memastikan bahwa Projo tidak akan bertransformasi menjadi partai politik. Secara tersirat, ia bahkan mengaku akan bergabung ke partai yang dipimpin Presiden Prabowo tersebut, yakni Gerindra.
“Enggak usah diterjemahin lugas-lugas, kalian sendiri terjemahin, ya. Yang pasti begini, kami akan mendukung partai yang dipimpin oleh Presiden Prabowo,” tutur Budi usai membuka Kongres III Projo di Puri Agung Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Sabtu (1/11/2025).
Dalam kesempatan yang sama, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika era Joko Widodo (Jokowi) itu juga menyebut kongres Projo menghasilkan lima resolusi, salah satunya mendukung dan memperkuat pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta menyukseskan kepemimpinan Prabowo hingga 2029.
Gerindra Pertimbangkan Aspirasi Kader Daerah
Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) DPP Partai Gerindra, Prasetyo Hadi, menyatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan sikap sejumlah DPC yang menolak Ketum Projo, Budi Arie Setiadi, masuk ke partai berlambang kepala garuda tersebut.
Prasetyo menegaskan bahwa penolakan dari kader di daerah itu sudah diketahui oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
“Kita mendengarkan lah. Kita mendengarkan suara dari teman-teman DPC,” kata Prasetyo kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).
Meski demikian, menurut Prasetyo, Partai Gerindra sejauh ini belum mengambil keputusan terkait keinginan mantan Menkominfo itu untuk bergabung. Terlebih, ia menekankan bahwa Budi Arie belum secara resmi menjadi bagian dari Gerindra.
"Tapi kan memang belum, kita belum ambil keputusan. Beliaunya (Prabowo) secara resmi juga belum menyampaikan," imbuh Prasetyo.
Sementara itu, Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menilai wajar adanya penolakan terhadap Budi Arie.
Dasco mengatakan penolakan tersebut juga belum dibahas dengan Prabowo. Sebab, kata dia, Ketum Gerindra itu tengah sibuk melakukan lawatan kenegaraan.
Lalu, apa kata pengamat soal ramai penolakan kader Gerindra terhadap Budi Arie?

Analis sosiopolitik dari Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, melihat setidaknya ada dua tafsiran atas fenomena tersebut. Pertama, penolakan itu menunjukkan bahwa arus bawah Gerindra benar-benar tidak berkenan terhadap kehadiran Budi Arie. Jika Budi Arie bergabung, ada kekhawatiran bahwa sentimen negatif terkait kasus judi online akan ikut menyeret nama Gerindra.
Musfi mengingatkan bahwa arus bawah partai ini memang pernah bergejolak ketika Prabowo memutuskan bergabung dengan pemerintahan pada 2019. Rekam sejarah itu membuat sensitivitas mereka semakin kuat.
“Budi Arie kan dikenal sebagai orangnya Jokowi. Di tengah derasnya isu gesekan dengan kubu Jokowi, tentu saja arus bawah Gerindra tidak ingin Budi Arie bergabung. Ada kekhawatiran Budi Arie justru melakukan spionase politik,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (14/11/2025).
Tafsiran kedua, menurut Musfi, adalah bahwa penolakan arus bawah ini dapat dibaca sebagai cara halus Gerindra untuk menolak Budi Arie. Dunia politik Indonesia, katanya, tidak bergerak dengan bahasa lugas, melainkan melalui simbol dan sinyal.
Pendekatan ini sekaligus menghindarkan munculnya persepsi bahwa Prabowo secara pribadi tidak menginginkan kehadiran Budi Arie di Gerindra.
“Di sini Gerindra bermain sangat cantik. Mereka tidak ingin memperbesar sentimen gesekan dengan kubu Jokowi,” ujarnya.
Musfi menilai, melihat respons Prasetyo Hadi, sepertinya tafsiran kedua yang terjadi. Penolakan DPC Gerindra digunakan sebagai cara halus untuk menolak Budi Arie bergabung ke Gerindra.
“Dalam tebakan saya, nanti akan ada bahasa dari Prabowo bahwa penerimaan terhadap Budi Arie sulit dilakukan karena mempertimbangkan adanya penolakan dari akar rumput Gerindra,” ujarnya.
Menakar Makna “Suaka”
Menurut Musfi, istilah “suaka” yang digunakan para kader Gerindra perlu dimaknai dengan hati-hati. Ia menilai bahwa istilah tersebut membuka ruang tafsir bahwa sebagian kader menduga Budi Arie ingin mencari perlindungan—baik secara politik maupun hukum—terkait kasus judi online atau isu hukum lain yang pernah menyerempet namanya.
Dugaan seperti itu sulit dihindari karena isu judi online yang membayangi Budi Arie merupakan persoalan nasional yang mendapat sorotan luas.
“Arus bawah Gerindra tentu tidak ingin sentimen negatif itu menimpa partai mereka. Apalagi, Budi Arie sebelumnya sangat kontra dengan Prabowo. Ada memori kolektif terhadap ujaran dan sikap Budi Arie di masa lalu,” ujarnya.
Musfi menilai bahwa dalam banyak kasus, bergabung dengan partai politik yang tengah berkuasa kerap dipandang sebagai strategi yang menguntungkan. Ada anggapan bahwa menjadi kader partai penguasa akan memberikan “suaka politik” berupa perlindungan politik maupun hukum. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak selalu terbukti.
“Tapi kenyataannya tidak selalu demikian. Misalnya, berbagai kader PDIP terjerat kasus hukum di periode pemerintahan Jokowi. Yang terbaru juga kasus Immanuel Ebenezer yang tetap dicokok KPK meskipun telah bergabung dengan Gerindra,” ujarnya.
Lalu, bagaimana sebaiknya Gerindra bersikap atas situasi ini?
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai bahwa aspirasi para kader Gerindra di tingkat akar rumput perlu benar-benar diperhatikan agar suasana kondusif dan stabilitas internal partai tetap terjaga.
Karena itu, rencana masuknya Projo atau Budi Arie ke dalam tubuh partai harus dipertimbangkan secara cermat, termasuk apakah kehadiran mereka menjadi insentif atau justru membawa disinsentif elektoral.
Agung menambahkan bahwa jika yang dibutuhkan Gerindra adalah kelompok relawan yang solid, hal tersebut sebenarnya dapat dibangun sejak sekarang dengan mengoptimalkan mesin partai yang sudah ada dan telah terbukti efektif pada Pilpres 2024.
“Karena soliditas partai menjadi hal utama. Jangan sampai ini terganggu dan malah membuat mesin partai yang sudah sejak lama hidup, tumbuh, dan berkembang menjadi lesu, layu,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (14/11/2025).
Agung tak memungkiri bahwa secara mesin politik, Budi Arie dan Projo pernah memenangkan Jokowi selama dua periode, kemudian juga terlibat dalam kemenangan Prabowo satu periode. Di sisi lain, hal ini dinilai dapat menjadi modal bagi Gerindra untuk memperkuat konsolidasi politiknya.
Namun, perpindahan Projo dan Budi Arie dari Jokowisme ke Prabowoisme tetap perlu dilihat dengan cermat, terutama apakah perpindahan tersebut menggambarkan keputusan organisasi relawan secara kolektif. Ia mengingatkan bahwa relawan memiliki sifat yang cair.
“Dalam Projo sendiri ada juga yang sudah aktif di partai. Apakah dengan masuknya Budi Arie ke Gerindra secara otomatis memasukkan Projo juga? Itu pertanyaan dasarnya,” ujarnya.
Sementara itu, Musfi dari Helios menyebut bahwa pertanyaan yang muncul sekarang adalah mengapa Gerindra seolah tidak menginginkan Budi Arie bergabung. Menurutnya, sikap Gerindra sebenarnya menjadi jawaban atas kecurigaan banyak pihak terhadap kekuatan massa Projo selama ini.
Ia menyinggung bahwa sejak lama Projo kerap ditantang untuk membuktikan besarnya basis massa mereka dengan membentuk partai politik sendiri jika memang jumlah pendukungnya sebesar yang mereka klaim.
Tirto mencoba menghubungi Budi Arie secara langsung untuk dimintai komentar terkait ramainya penolakan dari kader Gerindra terhadap rencana dirinya bergabung dengan partai tersebut. Namun hingga Jumat, 14 November 2025, atau saat artikel ini ditulis, Tirto belum memperoleh keterangan darinya.
Meski demikian, mengutip pemberitaan Kompas, Budi Arie menyatakan bahwa ia tidak mempermasalahkan sikap sejumlah kader dan pengurus Gerindra di tingkat daerah yang menolak dirinya bergabung. Ia menilai bahwa sikap tersebut adalah hak dan bentuk aspirasi para kader, sehingga ia merasa tidak perlu memberikan respons lebih jauh.
"Ya itu hak, ya itu hak mereka. Saya menghargai mereka, enggak apa-apa. Saya menganggap teman-teman, enggak usah. Itu hak mereka. Mereka yang punya partai, masa saya apa, menjawab," kata Budi Arie dalam tayangan Gaspol! (Kompas.com), Rabu (12/11/2025).
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































