tirto.id - “Jika kamu adalah lulusan perguruan tinggi, khususnya yang memiliki kemampuan teknik dan mau mengasah kemampuan itu, kami siap memberi kesempatan,” ajak sebuah iklan yang ditayangkan Vkontakte, media sosial yang populer di Rusia. “Jika bergabung, kami jamin, Anda akan hidup dengan sangat nyaman,” lanjut iklan yang dibuat Angkatan Bersenjata Rusia.
Rusia, sebagaimana dilaporkan The New York Times, tengah melakukan pendefinisian ulang soal perang. Jika dulu, sebelum Uni Soviet runtuh, perang diterjemahkan dengan unjuk kekuatan senjata (dari mesin tempur hingga roket), kini, di bawah komando Vladimir Putin, perang adalah unjuk kekuatan di dunia maya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Panglima militer Rusia, Jenderal Valery V. Gerasimov. Menurutnya, selepas Perang Dunia I, II, serta Perang Dingin, dunia memasuki “nonlinear war” dan medan perangnya ada di dunia digital. Alih-alih membawa senapan, prajurit di zaman ini membela negara dengan menggunakan komputer, laptop, juga telepon seluler.
Maka dari itu pula, Sergei K. Shoigu, Menteri Pertahanan Rusia, mengatakan bahwa Rusia “kini tengah mencari bibit-bibit programer andal.” Bukan cuma pemuda-pemudi yang baru lulus kuliah, akan tetapi juga para penulis kode potensial, yang tersangkut kasus hukum alias hacker atau peretas.
Secara umum, jika Amerika Serikat dikenal sebagai negeri pencipta teknologi, Cina sebagai negara pembuat perangkat keras, dan India dianggap sebagai negeri tempat para penulis kode berasal, Rusia berada di sisi sebaliknya. Bukan cuma membangun, Rusia adalah negeri lahirnya serangan-serangan siber dunia.
Vice melaporkan, Rusia adalah negeri tertuduh yang melakukan peretasan 500 juta akun Yahoo pada 2014, pencurian 160 juta data kartu kredit milik warga Amerika, sekaligus negara tempat lahirnya 75 persen dari semua ransomware yang pernah ada di dunia. Tercatat, dua dari lima penjahat siber paling dicari AS adalah orang Rusia. Lalu, satu orang dari sisa tiga itu berasal dari Latvia, negara pecahan Uni Soviet.
Sebab itu pula mengapa jika AS punya Mark Zuckerberg dan India memiliki Sundar Pichai, Rusia justru menghadirkan Evgeniy Mikhailovich Bogachev, seorang hacker yang sudah bertahun-tahun menghuni daftar orang paling dicari atau "Most Wanted" FBI, dan orang-orang semacamnya.
Bermula dari Sistem Pendidikan
“Jika Anda melihat kuantitas serangan malware, Cina, Amerika Latin, dan Eropa Timur memimpin. Namun, jika berbicara soal kualitas serangan malware, Rusia adalah jawaranya,” tegas Vitaly Kamluk, peneliti keamanan siber, sebagaimana dikatakannya pada Reuters.
Kehebatan orang-orang Rusia dalam perkara melakukan serangan siber, menurut Dorothy Denning, profesor emeritus di bidang pertahanan, dapat dilihat dari sistem pendidikan teknologi informasi mereka, khususnya di bawah naungan Uni Soviet, yang memang terhitung sangat baik.
Berpuluh-puluh tahun lamanya Soviet membangun reputasi yang baik soal untuk urusan teknik. Foreign Policy melaporkan, Soviet punya dua pendekatan terkait hal tersebut. Pada dekade 1930-an dan 1940-an, untuk menciptakan suatu proyek yang dibutuhkan sesegera mungkin, Soviet tinggal menangkap orang-orang yang telah terbukti hebat di bidang teknik, dan memaksanya untuk melakukan pekerjaan yang dikehendaki.
Namun, dalam kerangka jangka panjang, mereka membangun sistem pendidikan yang mumpuni.
Brin Simon, dalam paper berjudul “Polytechnical Education in Soviet Schools” (PDF) menjelaskan, semenjak 1950-an, merujuk pemikiran Stalin, suatu saat “masyarakat Soviet harus memiliki kemajuan sosial budaya yang akan menjamin semua anggota masyarakat memiliki kemampuan fisik dan mental, yang pada akhirnya tiap orang Soviet memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan mereka.”
Maka, terentang dekade tersebut, Soviet mengubah sistem pendidikannya. Pendidikan dasar yang dahulu hanya dilakukan selama tujuh tahun, alias dari bocah umur 7 hingga 14 tahun, menjadi sepuluh tahun, atau dari umur 7 hingga 17 tahun.
Dalam lima tahun pertama dekade 1950-an, Soviet melakukan gerak cepat pembangunan sekolah, dari lebih dari 1.000 sekolah di awal 1950-an, menjadi 4.000 sekolah hanya dalam lima tahun atau dalam kerangka Five Year Plan.
Di tahun-tahun awal anak-anak Soviet belajar, mereka diperkenalkan banyak bidang studi: sejarah, geografi, sastra, bahasa asing, fisika, kimia, biologi, hingga matematika. Tetapi, di tahun-tahun penghujung masa sekolah, anak-anak Soviet difokuskan untuk belajar bidang teknik dan sains, khususnya untuk belajar fisika dan matematika.
Andrei Soldatov, dalam bukunya berjudul “The Red Web” menjelaskan, Soviet juga sangat gencar melakukan aksi penerjemahan buku-buku bacaan sains dan teknik asing ke bahasanya melalui program bernama “samizdat”.
Atas rancangan sistem pendidikan yang baik itulah kemudian lahir institusi pendidikan yang juga mumpuni. Ambil contoh, Kurchatov Institute, perguruan tinggi di mana Igor Kurchatov, salah satu akademisinya, sukses menciptakan bom atom pertama Soviet.
Lalu, pada dekade 1980-an, masih merujuk “The Red Web”, Alexey Soldatov merevolusi dunia pendidikan Soviet melalui posisinya sebagai direktur pada Computation Center Kurchatov Institute. Soldatov membentuk tim, mengadaptasi sistem operasi Unix buatan Bell Labs, AS, untuk digunakan Soviet sebagai sarana pembelajaran.
Dari tangannya pula, Soviet akhirnya memiliki komputer super pertama “ES” dan sistem operasi pertama “Demos”. Dan pada 28 Agustus 1990, Soviet juga dapat terhubung secara real-time di tataran global melalui lahirnya internet dan bekerja sama dengan University of Helsinki, Finlandia.
Hingga kini, sistem pendidikan teknik ala Soviet, khususnya teknologi informasi, masih terjaga, khususnya di Rusia. Bahkan, analisis The College Board (PDF) menyebut Rusia lebih baik daripada AS soal pendidikan komputer. Di AS, antara 2005 hingga 2016, 270 ribu murid di sana melakukan ujian ilmu komputer atau Computer Science Advanced Placement. Di Rusia, ujian yang sama dilakukan 600 ribu siswa.
Sayangnya, meskipun Uni Soviet memiliki sistem pendidikan yang mumpuni, negara federasi ini mengalami keruntuhan. Negara-negara pecahan Soviet masuk ke situasi ekonomi yang tidak menentu. Alexei Kruchenok, pembuat perangkat lunak asal Belarus, menyebut ketika Soviet runtuh sangat banyak rakyat mereka yang memiliki akses pada komputer dan tahu bagaimana mengeksploitasi berbagai cara untuk menggunakannya.
“Maka, tatkala orang-orang ini tidak memiliki pekerjaan akibat negara yang ambruk, mereka beranjak ke sisi abu-abu di internet untuk memperoleh uang,” terang Kruchenok.
Ia menambahkan: “Soviet memiliki komunitas orang-orang teknik terbesar di dunia, yang mendukung industri militer Soviet yang kompleks. Tatkala mereka sekarat, mereka masuk ke bisnis abu-abu di dunia maya, menciptakan spam, malware, dan menjual video porno.”
Secara umum, sebagaimana dilaporkan Reuters, lantaran memiliki pendidikan yang baik dan terlebih penegakan hukum yang lemah, maka bagi eks warga Soviet, wabilkhusus Rusia, “mencuri” uang dari jalan sesat di dunia maya dianggap bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Dengan pemahaman demikianlah lahir para peretas handal dari Tanah Merah.
Hingga kini, pemerintah Rusia masih memanfaatkan jasa para peretas tersebut melalui “skuadron sains” angkatan bersenjata mereka. Dan atas alasan inilah, komunitas digital dunia memang patut merasa terancam dengan serangan-serangan maya dari mereka.
Editor: Eddward S Kennedy