tirto.id - Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (1/11) kemarin melemparkan ide asuransi pengangguran. Asuransi tersebut, kata Bambang, untuk menyelesaikan persoalan pekerja yang baru mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Itu baru ide. Menurut saya mungkin lebih banyak asuransi pengangguran adalah sebagai bantalan bagi pekerja yang baru kena PHK, bukan yang belum bekerja ya. Sehingga ketika dalam tahap mencari pekerjaan baru, dia punya bantalan untuk menjaga rumah tangganya," kata Bambang seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Kendati demikian, Bambang menandaskan asuransi pengangguran tersebut masih dalam tahap ide. Ia mengaku tengah melakukan diskusi dengan berbagai pihak baik dari pemerintah, pengusaha, pakar, masyarakat, dan pihak terkait lainnya.
Perhitungan Bambang, asuransi pengangguran akan memunculkan dampak negatif seperti kasus di Australia, di mana penganggur di sana menjadi malas bekerja. Karena alasan itulah Bambang mengaku masih pikir-pikir untuk mencari skema yang pas diterapkan di Indonesia.
"Yang penting kita buat skemanya dulu, supaya dia (penganggur) punya bantalan, sampai dapat pekerjaan baru," ujarnya.
Silang Sengkarut Pesangon PHK
Bambang memang harus bercermin dari kenyataan sebelum merealisasikan idenya. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah diteken Presiden Megawati Soekarnoputri pada 19 Oktober 2004 silam.
Meskipun tidak mengatur sepenuhnya tentang asuransi pengangguran, dalam pasal 35 ayat 1 UU No 40 Tahun 2004 disebutkan “Jaminan Hari Tua (JHT) diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib”. UU ini juga mengatur bahwa setiap peserta dari SJSN berhak menerima jaminan ini secara tunai dengan tiga syarat: memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Dua syarat terakhir dengan gamblang dijelaskan, namun syarat “memasuki masa pensiun” ini mengundang banyak pertanyaan.
Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan tersebut dengan meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua pada 30 Juni 2015. Namun PP ini “bermasalah”. Sebab pada pasal 22 ayat 4 disebutkan JHT baru bisa dicarikan bila “Peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”
Selain itu pada pasal 26 ayat 3 disebutkan “Manfaat JHT bagi Peserta yang dikenai pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, dibayarkan pada saat Peserta mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.”
PP ini sontak mengundang polemik. Batas penentuan 10 tahun masa kerja dan dicarikan saat peserta mencapai usia 56 tahun dinilai merugikan para pekerja di Indonesia yang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain juga persoalan pencarian di lapangan yang berbelit-belit.
Akhirnya setelah hampir sebulan polemik itu bergulir, Presiden Jokowi lantas mengeluarkan PP Nomor 60 Tahun 2015 sebagai revisi atas PP Nomor 46 Tahun 2015 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua pada 12 Agustus 2015 dan mengumumkannya ke publik selang seminggu kemudian, 20 Agustus 2015.
Pada saat pengumuman revisi tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dakhiri menyebutkan bahwa terhitung mulai 1 September 2015, para pekerja yang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, yang berhenti bekerja atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai besaran saldo yang dicairkan.
“JHT tersebut juga bisa dicairkan bagi pekerja yang meninggal dunia dan pekerja yang sudah mencapai usia 56 tahun, serta pekerja yang mengalami cacat tetap,” kata menteri asal PKB itu seperti dikutip setkab.go.id
Untuk memperjelas teknis pencarian JHT, Menteri Hanif juga telah mengeluarkan Permen Ketenagakerjaan No 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Pasal 3 Permen No 19 Tahun 2015 juga mengatur tentang para Peserta yang berhenti bekerja yang meliputi mengundurkan diri, terkena PHK, dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Sampai di situ persoalan belum selesai. UU SJSN baru mengatur tentang jaminan sosial bagi para pekerja formal dan belum bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Catatan International Labour Organization (ILO) menyebutkan pangsa pekerjaan di sektor formal dan informal di Indonesia memang telah berubah selama beberapa tahun belakangan ini meski angkanya masih tinggi. Pada Agustus 2010 diperkirakan ada sekitar 59,0 persen pekerja yang bekerja sektor perekonomian informal, meskipun pada Februari 2014 angka ini turun menjadi 53,6 persen.
Asuransi Pengangguran di Thailand dan Vietnam
Kondisi sektor informal di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Thailand. Di negeri yang kerap dilanda kudeta militer itu pekerja di sektor informal mencapai 64 persen pada 2013 silam. Kendati belum menliputi para pekerja informal seperti petani dan pekerja rumah tangga Negeri Gajah Putih telah menerapkan asuransi pengangguran bagi pekerja formal sejak 1 Januari 2004.
Pembedanya lagi, Thailand pernah mencatatkan diri sebagai negara dengan tingkat pengangguran “terendah” di dunia yakni hanya sebesar 0,56 persen pada 2014 lalu—sangat jauh dibanding data Menaker Hanif Dhakiri yang menyebut pengangguran Indonesia 2016 mencapai titik terendah yakni 5,5 persen.
Bagaimana bisa pengangguran sebegitu rendah di negeri yang kerap dilanda konflik kudeta itu?
"Tingkat pengangguran (di Thailand) rendah bukan karena definisi (pengangguran) yang berbeda dari negara lain, tetapi karena struktur masalah,'' kata juru bicara Bank of Thailand (MWA) Chirathep Senivongs Na Ayudhaya kepada Bangkok Post (4/2/2015).
"Sektor pertanian menyerap buruh dan mereka yang tidak dapat menemukan pekerjaan selalu dapat mencari pekerjaan di sektor informal atau bekerja mandiri,'' jelasnya.
Laporan Bangkok Post itu juga menyebutkan bahwa di Thailand tidak cukup alasan bagi warganya untuk hanya mengandalkan asuransi pengangguran dan tidak ada dorongan bagi mereka menganggur lama. Mereka yang kehilangan pekerjaan masuk ke dalam sektor "informal" atau mencari kerja paruh waktu—dan dihitung sebagai dipekerjakan.
Sektor informal dalam ekonomi Thailand ini menyumbang lebih dari 64% dari total angkatan kerja pada tahun 2013, di antaranya meliputi para pedagang kaki lima, sopir taksi-sepeda motor, wiraswasta dan mereka yang bekerja di daerah ekonomi “abu-abu", misalnya prostitusi. Mereka sebagian besar dihitung sebagai “dipekerjakan”.
Lain halnya di Vietnam. Sejak 1 Januari 2009, pemerintah di negeri itu mengimbau seluruh karyawan dan perusahaan yang mengikat kontrak kerja berpartisipasi dalam asuransi pengangguran. Para pekerja formal yang terikat kontrak kerja; tidak terbatas, jangka waktu tertentu atau musiman (bekerja penuh selama 3 bulan dan kurang dari 12 bulan) ter-cover asuransi pengangguran, sebut vietnamlawmagazine.
Seperti yang ditentukan oleh undang-undang Vietnam, setiap perusahaan yang mempekerjakan 10 karyawan atau lebih diminta untuk berpartisipasi dalam asuransi pengangguran. Mempekerjakan lebih dari 200 karyawan, perusahaan wajib membeli asuransi pengangguran untuk karyawannya.
Perusahaan diwajibkan untuk membuat dan menyerahkan berkas-berkas asuransi pengangguran untuk karyawannya dalam waktu 30 hari sejak tanggal efektif kerja atau kontrak kerja karyawan.
Sementara ketika karyawan mengundurkan diri atau perusahaan melakukan PHK pembayaran premi asuransi pengangguran harus sudah dibayarkan.
Bagaimana asuransi pengangguran diberlakukan di sana?
Masih menurut vietnamlawmagazine, setiap bulan karyawan harus membayar premi asuransi pengangguran setara dengan satu persen dari gaji bulanan mereka, sementara perusahaan diwajibkan membayar satu persen dari dana gaji bulanan.
Namun bukan berarti asuransi pengangguran yang diterapkan di Vietnam tanpa masalah. VietnamNet Bridge (31/10/2016) melaporkan tunggakan hutang asuransi sosial—termasuk di dalamnya asuransi pengangguran—dari perusahaan-perusahaan menembus hingga 582.000.000 dolar AS sampai dengan akhir September tahun ini. Banyak pengusaha telah menghindari membayar premi asuransi sosial bagi staf mereka.
Berbicara pada sebuah konferensi di Hanoi pada 26 Oktober, Nguyen Tri Dai dari Asuransi Sosial Vietnam mengatakan utang asuransi pengangguran mencapai VND 480 miliar.
Dalam beberapa kali, menurut Nguyen, lembaga pemerintah telah menerapkan banyak terobosan solusi untuk mencegah tunggakan itu tapi hasilnya masih nihil.
Melihat realita seperti itu, Bambang Brodjo baiknya memang harus pikir-pikir.
Penulis: Agung DH
Editor: Zen RS