tirto.id - Tragedi kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Banten, adalah bukti nyata pincangnya sistem rehabilitasi pengguna narkotika di Indonesia. Pendekatannya masih menggunakan hukum pidana. Sementara sistem rehabilitasi untuk korban narkotika baru jadi pilihan dengan syarat transaksi uang.
Setidaknya begitulah fakta yang tersurat dalam pernyataan Budi Waseso saat menjabat sebagai kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2017 lalu. Saat itu Buwas, panggilan karibnya, punya wacana menutup pusat rehabilitasi lantaran rekomendasi rehab dianggap transaksional.
“Kalau ditangkap orang kan ingin direhab bukan dipidana. Nah, rehabilitasi jadi alasan pembenaran, dan pasti ada tawar-menawar, 'kamu mau dipidana atau direhabilitasi? Wani piro? Berani [bayar] berapa kamu?',” ujarnya seperti dikutip Medcom.
Tak salah jika selama ini stigma masyarakat menempatkan para pesohor sebagai tangkapan istimewa jika berkaitan dengan kasus narkotika, sebab mayoritas dari mereka bisa masuk pusat rehabilitasi dibanding pengguna kelas teri dalam kasus yang sama.
Saking getolnya aparat menjebloskan konsumen narkotika ke penjara, lembaga permasyarakatan (lapas) terisi penuh oleh narapidana narkotika. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan hal tersebut sebagai musabab kelebihan kapasitas di penjara Indonesia.
“Lapas di daerah sudah tidak kondusif. Lebih dari 200 ribu narapidana atau warga binaan itu separuhnya 50 persennya itu kasus narkoba,” ungkap Mahfud seperti dilansir CNN Indonesia. Dalam tragedi kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, sebanyak 40 dari 41 korban tewas adalah narapidana kasus narkotika. Sementara satu lainnya merupakan narapidana kasus terorisme.
Padahal jika menilik ke belakang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menargetkan rehabilitasi sebagai napas pengendalian narkotika. Ia ingin menggenjot pelayanan program rehabilitasi menjadi 100 ribu di tahun 2015 dan 200 ribu di tahun 2016, dari semula hanya 18 ribu di tahun 2014.
Sayang target itu tak tercapai, apalagi kaitannya dengan kinerja pemerintahan, rasanya jadi muskil. Yang terjadi justru sebaliknya, data akhir tahun BNN menunjukkan program rehabilitasi terus turun setiap tahun.
Di tahun 2015 dari target 100 ribu rehabilitasi, BNN hanya mampu memberi rekomendasi rehabilitasi sekitar 23 ribu. Kemudian tahun selanjutnya di 2016 target rehabilitasi diharapkan bisa naik ke angka 200 ribu, namun capaiannya hanya sekitar 16 ribu.
Pada tahun 2017 capaian rehabilitasi kasus narkotika sempat naik ke angka 18 ribu. Namun di tahun 2018 hingga sekarang angka rehabilitasi berangsur turun menjadi 15 ribu, kemudian 13 ribu di tahun 2019, dan hanya empat ribu di laporan akhir tahun lalu (2020).
Lima tahun setelah BNN mengeluarkan Peraturan Kepala BNN No 11 tahun 2014 yang berisi rekomendasi rehabilitasi pengguna narkotika, mereka menahan sekitar 42 ribu tersangka tindak pidana narkotika pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut hanya 1.575 orang atau sekitar 2,69 persen yang mendapat rehabilitasi.
Produk Hukum yang Bergeser
Mungkin sebagai awam, ada saja yang pro pemidanaan bahkan hukuman mati bagi pengguna narkotika. Pertanyaan soal “kenapa harus direhabilitasi” terus digaungkan ketika rehabilitasi dijadikan alternatif pengentasan kasus narkotika.
Jawaban pertanyaan tersebut sebenarnya sudah terangkum dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Pasal 54 menyatakan “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Pemidanaan pengguna narkotika tidak akan memutus mata rantai peredaran, sebab pengguna tidak mendapat perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Setelah pemenjaraan, pengguna berpeluang kembali menjadi target transaksi narkotika.
“Intinya rehabilitasi itu membiasakan mereka tidak mencari narkotika, supaya tidak berada di lingkungan sebelumnya yang mendukung konsumsi narkotika,” jelas Patri Handoyo, salah satu pendiri Rumah Cemara, organisasi yang membela korban marginalisasi narkotika dan HIV. Patri juga adalah penulis buku Menggugat Perang Terhadap Narkoba (2018).
Undang-undang Narkotika yang saat ini berlaku adalah hasil perjuangan yang berbelok arah dari pendekatan kesehatan masyarakat. Mulanya untuk merespon kenaikan angka HIV di kalangan pengguna narkotika, Sidang umum MPR RI tahun 2002 melalui ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 merekomendasikan revisi UU No 22 Tahun 1997 dan UU No 5 Tahun 1997.
Kemudian setelah melalui rapat paripurna, pembahasan RUU Narkotika dibawa dalam rapat Bamus ke-1 pada masa sidang II tahun sidang 2005-2006. Lantaran pendekatan awal merujuk pada kesehatan masyarakat, maka revisi diserahkan pada Komisi IX DPR RI.
RUU Narkotika baru rampung pada akhir masa kerja periode 2004-2009 dan lalu disahkan oleh presiden pada 12 Oktober 2009. Namun sayangnya produk revisi yang keluar justru memperberat klausul hukuman pidana, bukan mengakomodasi pendekatan kesehatan masyarakat seperti ide awal.
“Selain karena produk hukumnya berat ke pidana, tim penilaian terpadu yang memutuskan kepatutan rehabilitasi juga memasukkan unsur penegak hukum,” kata Patri menjawab pertanyaan soal pemidanaan kasus narkotika.
Jika dibandingkan dengan Portugal, tim penilaian serupa hanya terdiri dari para praktisi kesehatan, sehingga penilaian mereka murni dilihat dari sisi kesehatan, bukan pidana. Lalu pertanyaannya, pendekatan mana yang berhasil menekan tingkat konsumsi narkotika?
Jawabannya ada dalam penelitian penelitian Louisa Degenhardt, dkk (2008). World Health Organization (WHO) menyimpulkan negara-negara yang melarang keras penggunaan narkotika justru memiliki populasi pengguna lebih tinggi dibanding negara dengan aturan melegalkan narkotika.
Celah dalam Rehabilitasi
Indonesia tengah berjuang mengembalikan klausul dalam UU Narkotika ke pendekatan kesehatan dan mendorong rehabilitasi pengguna narkotika, alih-alih pidana. Sementara di belahan dunia lain PBB justru telah merekomendasikan penghapusan tempat-tempat rehabilitasi karena dianggap tidak efektif--seperti pemidanaan bagi pengguna narkotika.
Rekomendasi ini muncul atas dasar laporan Human Rights Watch yang melakukan investigasi pusat rehabilitasi di Vietnam, Cina, Kamboja, dan Laos. Mereka menyingkap adanya pelecehan serius, penyiksaan, kekerasan fisik dan seksual, serta kerja paksa berkedok rehabilitasi. Para pengguna narkotika ini menerima hukuman fisik ketika melarikan diri atau melanggar aturan “rehabilitasi”. Begitu pun jatah makan bakal dipangkas saat melewatkan kuota kerja.
“Semua perlakuan tersebut bukanlah pengobatan ketergantungan narkotika. Pemerintah harus menutup pusat-pusat rehabilitasi dan donor berhenti mensubsidi pelanggaran tersebut,” desak Rebecca Schleifer, direktur advokasi kesehatan dan hak asasi manusia di Human Rights Watch.
Apalagi laporan mereka juga mengungkap tingkat kekambuhan tinggi pasca rehabilitasi. Plus kerentanan dari penularan virus dan sulitnya menjaga jarak fisik selama pandemi. PBB bersama Human Rights Watch mengusulkan rehabilitasi diganti dengan layanan sosial dan kesehatan yang menganut hak asasi manusia dengan terlebih dulu melakukan penilaian menggunakan bukti kuat.
Portugal bahkan lebih visioner karena membuat ruang aman konsumsi heroin dengan tujuan menghindari kematian akibat kelebihan dosis. Para pengguna heroin bisa datang ke tempat penyuntikan yang disupervisi tenaga kesehatan supaya konsumsi heroin mereka terpantau.
“Jadi fokusnya menjadikan pengguna narkoba hidup sejahtera dan produktif dengan pengelolaan konsumsi narkoba,” terang Patri.
Namun gagasan tersebut ibarat jalan tak berujung di Indonesia. Kampanye anti narkotika terlanjur melekatkan stigma buruk pada penggunanya. Sebagai korban dari rantai panjang peredaran narkotika, pilihan mereka cuma dua: berhenti atau penjara.
Editor: Irfan Teguh Pribadi