tirto.id - Rumah tangga di Indonesia, umumnya tidak memilah sampah berdasar jenisnya. Sampah rumah tangga biasanya terkumpul dalam satu kantong plastik, kemudian dibuang begitu saja di tempat sampah domestik. Di tempat publik, membuang sampah berdasarkan jenisnya pun bukanlah kebiasaan, meski telah disediakan tempat sampah khusus. Cobalah tengok, takada perbedaan isi sampah di dalam tempat sampah hijau (organik), kuning (bisa didaur ulang), dan merah (non hijau dan kuning).
Tapi, itu pun sudah tergolong bagus karena masih banyak orang yang membuang sampahnya ke selokan atau sungai. Kebiasaan buang sampah sembarangan ini sampai memunculkan anekdot, “Buang sampah disuruh mikir, ya enggak bisa.” Indonesia bahkan pernah diganjar “prestasi” sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia—hanya kalah dari Cina.
Di masa pandemi, kala pergerakan manusia dan perekonomian dibatasi, permasalahan sampah itu tidak membaik. Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada April-Mei 2020 menunjukkan, volume sampah plastik justru mengalami peningkatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah pembungkus plastik dari transaksi belanja daring.
“Transaksi belanja daring naik menjadi 1-10 kali per bulan. Transaksi berbentuk paket meningkat 62 persen, sedangkan layanan antar makanan naik 47 persen,” papar Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ujang Solihin Sidik dalam diskusi Pandemi COVID-19 dan Ekonomi Sirkular beberapa waktu lalu.
Belum juga rampung urusan pengelolaan sampah umum itu—terutama plastik, di masa pagebluk ini, Indonesia mendapat tambahan pekerjaan rumah: limbah medis.
Situasi pandemi menimbulkan peningkatan volume limbah medis sekali pakai, seperti masker, sarung tangan, dan hazmat. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Bisnis mencatat, timbulan limbah medis mencapai 294,66 ton per hari (Mei 2020) dalam satu bulan pascakasus pertama COVID-19 muncul di Indonesia.
Saat itu, data masih mencakup 146 rumah sakit rujukan dan 48 laboratorium PCR. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah No. 47/2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, terdapat 2.889 rumah sakit, 10.062 puskesmas, 7.641 klinik, serta 26.418 apotek.
Fasilitas pelayanan kesehatan tersebut masih ditambah unit transfusi darah, fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, fasilitas kesehatan tradisional, hingga tempat praktik mandiri dokter maupun bidan. Sementara itu, perusahaan pengolah limbah medis hanya ada di 15 lokasi.
Seiring pesatnya pertambahan kasus infeksi harian, volume limbah medis di Indonesia tentu ikut meningkat. Data per Oktober 2020 dari Kementerian LHK memperkirakan, volume limbah medis telah naik sekitar 30-50 persen.
“Total limbah infeksius sampai 1.662,75 ton,” demikian seperti disiarkan Antara.
Kita adalah Penghasil Sampah Medis
Sampah medis lazimnya adalah limbah dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain. Tapi, di masa pandemi ini, rumah tangga pun menghasilkan limbah medis. Rumah tangga setidaknya menyumbang limbah masker sekali pakai dan beberapa sarung tangan lateks serta hazmat.
Meski masker kain lebih direkomendasikan untuk penggunaan umum, masker medis kembali jadi primadona di masyarakat setelah harganya stabil. Alasannya karena ia lebih praktis dan lebih efektif menangkal virus. Efektivitas masker bedah menyaring partikel bisa mencapai 90 persen, sementara masker kain tiga lapis 70 persen.
“Hal yang perlu kita edukasi ke masyarakat adalah soal pembuangan limbah medis. Masih banyak limbah medis dicampur dengan sampah rumah tangga lain,” kata Rosa Ambarsari, Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas LH Jakarta.
Dalam serial diskusi virtual pengelolaan sampah bersama Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Jumat, (22/1/2020), Rosa membeberkan bahwa limbah medis dari rumah tangga selama ini dipilah secara konvensional oleh petugas tanpa alat perlindungan diri (APD) standar.
Padahal, sampah medis sangat berisiko menularkan penyakit jika tidak dikelola dengan standar ideal. Di wilayah Jakarta, alur pemilahan sampah biasanya dilakukan di lingkup kecamatan. Setelah itu, jasa pengolahan limbah medis selaku pihak ketiga akan membawa limbah ke dipo kota atau PLTSA Bantar Gebang untuk dibakar dengan insenerator.
“Nah, petugas memang harus ngorek-ngorek untuk mengumpulkan limbah medis rumah tangga,” kata Rosa.
Rosa juga membeberkan sejumlah permasalahan lain di sektor limbah medis, seperti penyediaan sarana dan prasarana kebersihan dan perlindungan kesehatan untuk petugas yang belum mumpuni. Di fasilitas kesehatan, alur pembuangan limbah medis memang lebih jelas. Fasilitas kesehatan pun memiliki standar operasional memilah sampah. Meski begitu, pengelolaan sampah medis di fasilitas kesehatan tetap butuh perbaikan.
Rumah sakit yang memiliki insenerator bisa langsung memusnahkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Sementara itu, rumah sakit yang tidak memilikinya akan menggunakan jasa pihak ketiga untuk membawa limbah ke tempat insenerasi sewaan. Di Jakarta saja, hanya terdapat 10 rumah sakit yang memiliki insenerator mandiri, sisanya masih menyewa.
Data ini menunjukkan, sarana dan prasarana pengelolaan sampah, baik di tingkat rumah tangga maupun fasilitas kesehatan,sebenarnya masih kurang. Padahal, jumlah sampah medis akan melonjak seiring dengan naiknya kasus harian COVID-19. Dalam periode April-Desember 2020, timbulan limbah infeksius di ibu kota saja tercatat mencapai 1.538 kg.
“Dalam periode 28 Desember-3 Januari, 73 rumah sakit rujukan melaporkan jumlah limbah medis sebanyak 203,5 ribu kg per minggu. Sementara 109 rumah sakit bukan rujukan mencapai 40,2 ribu kg per minggu.”
Sulit Terurai dan Tak Bisa Didaur Ulang
Peta jumlah limbah B3 yang dirilis LIPI dan KLHK menunjukkan, penambahan limbah B3 merata di tiap daerah selama periode Maret-September 2020. Berbanding lurus dengan jumlah kasus infeksi, wilayah Pulau Jawa tetap menjadi penyumbang terbesar limbah jenis ini.
Region 1 yang meliputi Pulau Sumatera menghasilkan limbah sebanyak 190 ton, Jawa 903 ton, Region 3 yang meliputi Bali dan Nusa Tenggara sejumlah 150 ton, Region 4 Kalimantan 286 ton, Region 5 Sulawesi 54 ton, Region 6 Maluku dan Papua 75 ton.
Perhitungan Asia Development Bank (ADB) malah jauh lebih besar dari itu. Analisa mereka mengungkap jumlah limbah lima kota besar di Asia Tenggara yakni Manila, Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Hanoi bisa mencapai 1.016 ton per hari. Khusus Jakarta, prediksinya mencapai 12.720 ton limbah medis selama 60 hari.
Hal yang jadi persoalan besar adalah mayoritas limbah medis itu terbuat dari plastik. Ia mengandung polipropilen, polietilen, polivinil klorida, dan polistirena. Pembuangan sampah infeksius juga harus dilapisi kantong plastik sehingga beban penanganan sampah plastik kian bertambah.
Selain itu, limbah B3 tidak bisa dibuang sembarangan. Ia tidak bisa didaur ulang karena berbahaya dan sangat sulit terurai—butuh waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Jika pun terurai, ia ikut menambah jumlah mikroplastik dalam laut dan rantai makanan.
“Nah, bayangkan 61 persen wilayah Indonesia belum terlayani angkutan sampah. Maka limbah ini lagi-lagi bermuara di sungai dan laut,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Saut Marpaung.
Menurut Saut, peluang mendaur ulang limbah medis hanya bisa dilakukan pada jenis noninfeksius, seperti botol infus atau spuit suntikan. Selebihnya, nilai ekonominya diceruk dari jasa pengangkutan atau pengolahan dengan insenerasi. Jadi, satu-satunya jalan keluar mengatasi beban perlimbahan ini adalah dengan membenahi sektor pengelolaan sampah dari hulu ke hilir dan edukasi manajemen pemilahan sampah kepada masyarakat.
“Bila urusan sampah umum saja belum tertangani, bagaimana dengan limbah medis,” kata Saut menyindir buruknya sistem persampahan di Indonesia.
Manajemen pengelolaan sampah rumah tangga sebenarnya sudah tertuang dalam UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan limbah medis bekas pakai dan mendesinfeksinya. Desinfeksi bisa dilakukan dengan merendam sampah menggunakan larutan desinfektan/klorin/pemutih.
Langkah selanjutnya, bentuk sampah harus diubah agar takbisa digunakan kembali atau mencegah supaya sampah tidak menjerat hewan. Ingat, sampah medis juga harus dikumpulkan dalam wadah khusus dan tidak dicampur dengan sampah rumah tangga lain.
Selanjutnya, buang limbah ke tempat sampah domestik atau dikubur. Jangan membakar sampah medis karena butuh penanganan khusus dengan insenerator bersuhu 600 derajat agar tidak menimbulkan penyakit lain. Terakhir, mencuci tangan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi