tirto.id - Pertengahan tahun lalu Bapak mengganti ponsel lawas ke ponsel pintar. Konsekuensinya mudah ditebak. Hobi barunya adalah meneruskan pesan berisi lelucon dari grup WhatsApp koleganya, baik ke saya pribadi maupun ke grup keluarga.
Salah satunya pernah dikirim menjelang waktu Subuh. Judulnya lumayan bombastis: "PENGUMUMAN...!! INFO MEDIS 2019".
Saya, dalam kondisi belum sepenuhnya sadar, terpaksa membaca sisanya.
“Hati-hati bagi berwisata ke pantai, terutama yg pakai celana pendek dan baju renang. Jangan lagi duduk di pasir pantai khususnya pasir pantai yg putih bersih.
Baru-baru ini telah ditemukan virus baru yang menular lewat pasir pantai yang basah oleh air laut. Dokter masih belum menemukan penawarnya...!! Pakar di AS menamakan virus itu "littel bonsir". Virus ini termasuk langka, tapi sudah banyak memakan korban.”
Di titik ini saya mengerutkan dahi, kemudian mengambil napas panjang. Punchline-nya paripurna, khas guyonan bapak-bapak:
“Ternyata, setelah melalui berbagai penelitian, virus "littel bonsir" itu singkatan dari "silit gatel kelebon pasir.”
Sedikit penjelasan untuk pembaca non-Jawa, kalimat di atas berarti “pantat gatal kemasukan pasir”. Pesan diakhiri nasihat agar tidak tertawa sendirian, juga rentetan emoji tertawa, tos, dan monyet menutup mata.
Saya menafsirkannya sebagai (1) penjelasan bahwa pesan tersebut guyon semata, dan (2) ajakan implisit agar si penerima menyebarkan pesan ke orang lain.
Seketika itu juga saya membagikan pesan ke seorang teman. Dua jam kemudian ia membalas dengan tiga buah emoji menangis.
Dunia humor Amerika menyebut guyon bapak-bapak sebagai dad jokes. Menurut definisi terpopuler versi Urban Dictionary, dad jokes adalah “lelucon murahan dan/atau bodoh yang dibuat-buat oleh seorang ayah untuk anak-anaknya".
Peyoratif, memang, merujuk pada analisis Chi Luu di kanal JSTOR Daily. Tapi, jika mau ditelaah lebih mendalam, dad jokes memiliki karakteristik khas sebagaimana genre humor lain. Lebih menariknya lagi: ia punya kekuatan khusus untuk membuat orang tertawa.
Tanpa kehadiran internet, dad jokes barangkali hanya akan berkelindan di kalangan anak-istri atau keluarga besar. Sekarang ada banyak orang selow yang mendirikan forum daring, laman, atau akun media sosial untuk menyebarkan konten dad jokes.
Ada yang orisinal. Ada yang berupa hasil tangkap layar dari kiriman para bapak di grup WA atau pesan japri (jalur pribadi). Sejumlah media di Amerika bahkan mengumpulkan dad jokes warganet untuk dikompilasikan dalam konten perayaan Hari Ayah setiap tahunnya.
Penelusuran Devika Desai dalam laporan National Post mengungkapkan istilah dad jokes pertama kali muncul ke publik pada tahun 1987. Pencetusnya adalah Jim Kalbaugh.
Saat itu Kalbaugh bekerja sebagai penulis di Gettysburg Times. Dalam satu kolom ia tidak hanya menyebut dad jokes beserta contohnya, tapi juga mengajak pembaca agar melestarikan guyon tersebutsetiap perayaan Hari Ayah Sedunia. Lebih dari 30 tahun berselang, tradisi ini masih hidup.
Untuk perayaan tahun 2019, misal, NPR mengunggah sepotong dad jokes melalui akun Twitter mereka. Warganet menanggapinya dengan antusias.
Misalnya @bsutton530 yang mencuit “saya punya beberapa lelucon tentang remaja yang menganggur, tetapi tidak ada satupun yang bekerja. #dadjokes”.
Jika Anda tidak punya ayah dengan selera humor kebapakan, tenang. Buka laman Facebook Lelucon grup whatsap bapak-bapak. Anda akan disuguhi guyon-guyon a la “littel bonsir”.
"Ayah: "Nak, kalau ujianmu jelek lagi, jangan sekali-kali panggil Ayah!"
Keesokan harinya...
Ayah: "Bagaimana hasil ujianmu, Nak?"
Hasil Survey menyatakan bahwa suami-suami yang berasal dari kota Purwodadi 100% adalah type suami yang setia dgn satu istri, tidak tertarik perselingkuhan & tidak pernah sama sekali terbetik niat untuk berpoligami.
Maka berbahagialah ibu-ibu yg punya suami dari kotanya para Snex & Panser, karena terbukti mereka adalah suami yg paling setia.
Hasil survey yang dirilis LSI kemarin, sungguh mengejutkan.
Responden dipilih secara random/acak dari berbagai wilayah di kota PURWODADI.
LSI melakukan survey dengan wawancara langsung.
👍👍👍👍
*_Saat wawancara, responden didampingi istri masing masing & mertuanya_*
🤣🤣🤣🤣🤣"
Para pengamat membedah dad jokes rata-rata berbentuk lelucon satu kalimat (one-liner). Konsep lainnya bisa berangkat dari pelesetan atau permainan kata. Di Amerika Serikat para ayah rata-rata mengungkapkan dad jokes melalui percakapan ringan.
Bayangkan. Pada suatu sore seorang anak sedang menonton acara di ruang tamu. Sang ayah datang sambil menggenggam bir dingin dan roti isi enak.
Lalu si anak, secara tidak sadar, memancing keluarnya kalimat paling klasik dalam sejarah peradaban dad jokes.
“Hey. Aku lapar.”
“Halo, Lapar. Aku Ayah”.
Anda bisa membayangkan si anak memutar bola matanya. Ia—dan generasi muda pada umumnya—seringkali memandang dad jokes sebagai bentuk lelucon yang receh, garing, bahkan memalukan. Alih-alih tertawa, mereka akan menepuk jidat sambil mengeluh “Apaan, sih, Yaah..”.
Respons demikian selaras dengan status “peyoratif” yang Chi Luu sebutkan dalam artikelnya. Chi Luu lantas bertanya: apakah dad jokes dan reputasi buruknya bersifat universal?
Jika standarnya adalah respons dingin sang anak, dad jokes tidak hanya hadir dalam komunikasi antara ayah-anak di Amerika atau melalui percakapan WA seperti yang terjadi di Indonesia.
Masyarakat Jepang mengenal oyaji gyagu yang berarti “candaan orang tua”. Japan Times menerangkan langsung ke contohnya: “Dua orang laki-laki dua berusia sekitar 50 tahun masuk ke restoran sushi. Satunya memesan jas hujan, yang lain memesan garasi.”
Cara memahaminya adalah dengan membandingkan “jas hujan” atau kappa dan “garasi” atau shako. Keduanya mirip dengan kappa maki yang berarti sushi gulung mentimun dan shakko yang berarti garasi.
Dad jokes Jepang berbentuk permainan kata sederhana. Kesederhanaan inilah yang membuat oyaji gyagu dianggap sebagai guyon kurang berkelas di mata anak muda Jepang. Di sisi lain, kesederhanan itu membuat oyaji gyagu sering dipakai dalam puisi atau penamaan produk.
Di Korea muncul sebentuk dad jokes yang menjadi tren sejak tahun 2015. Mengutip pembahasan Choi Jinsook di Jurnal Korean Anthropology Review (April 2018), istilahnya adalah ajae gaegeu.
Ajae gaegeu biasanya keluar dari mulut para pembawa acara komedi televisi yang berusia antara pertengahan 30-an hingga pertengahan 40-an. Bentuknya masih permainan kata yang multi-makna. Sayangnya, pemirsa muda Korea menilainya tidak lucu karena terdengar kuno dan dipaksakan.
Dad jokes boleh muncul dalam beragam bentuk di berbagai negara, tapi karakteristik dan respons yang dihasilkan pada dasarnya serupa.
Kegaringannya bisa menimbulkan rasa tidak nyaman (cringe). Namun, kegaringan dan ketidaknyamanan itulah yang justru kerap ditertawakan oleh si penerima lelucon.
Beberapa menggolongkannya sebagai anti-jokes, jenis lelucon yang punchline-nya sengaja dibikin tidak lucu. Seperti tragikomedi mengenai diri sendiri, para bapak kadang menyadari bahwa leluconnya berkualitas buruk.
Fenomenanya mirip karya seni yang “saking buruknya ia menjadi bagus” (so bad it's good) Ambil contoh film terburuk terbaik sepanjang masa, The Room (2003). Orang tidak tertawa pada isi leluconnya, tapi pada buruknya kualitas lelucon dan mengapa ia bisa dipertontonkan, bahkan sampai bisa jadi satu “karya seni”.
Kondisi tersebut boleh jadi makin merecehkan dad jokes. Tapi, di sisi lain, dad jokes berkembang menjadi lelucon yang merakyat.
Semua bapak bisa mengutarakannya secara rileks. Hal ini berbeda dengan komedian profesional yang harus memastikan guyonan eksklusifnya bisa mengundang tawa.
Kembali merujuk pada laporan National Post, komedian Paul Seven mengatakan pelawak menjamin tawa penonton melalui humor yang agresif. Para bapak, di sisi seberang, tidak mengusung beban apapun karena dad jokes bersifat kalem, netral dan minim risiko.
“Jika Anda melihat komedi zaman dulu, seseorang selalu jadi subjek atau korban lelucon. Dalam pikiranku, komedi tidak harus seperti itu. Ia juga perlu menimbulkan rasa nyaman, terutama untuk dirimu sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut, komedian harus selalu tahu isu terkini untuk menjadi dasar leluconnya, sedangkan para bapak dianugerahi lelucon yang sifatnya abadi (timeless). “Ini genre yang menemani anak-anak tumbuh dan dapat merasa terhubung dengannya, dari mana pun mereka berasal.”
Dalam pandangan psikolog yang sejak lama meneliti urusan tawa secara serius, lelucon punya banyak fungsi.
Wall Street Journal pernah memaparkan bagaimana lelucon bisa memperkaya perspektif orang, membuat penyampaian sesuatu lebih efisien, hingga tentu saja, dapat mengurangi stres.
Bagi saya, yang paling menarik, adalah manfaat humor untuk mengakrabkan hubungan antar dua orang. Dalam konteks dad jokes, biar pun garing, jenis lelucon ini rupanya bisa mempererat hubungan antara bapak dan anak.
Saya tiba-tiba teringat: Bapak sebenarnya sering mengungkapkan dad jokes saat saya masih kanak-kanak. Kala itu saya tertawa.
Barangkali Bapak ingin mendapat respons serupa saat sekarang ia mengirimkan dad jokes melalui pesan WA. Barangkali bapak Anda, dan bapak-bapak lain di luar sana, juga memendam niat yang sama.
Editor: Windu Jusuf