tirto.id - Pekerja seks komersial maupun bintang porno hampir selalu dipandang rendah. Mereka yang memanfaatkan tubuhnya sendiri dan nafsu berahi orang lain untuk mencari nafkah dianggap tak sejajar dengan orang-orang yang mengandalkan otot, otak dan keterampilan khusus. Stigma-stigma negatif pun tak terelakkan: perempuan murahan, tak bermoral, berkemampuan finansial rendah sampai terpaksa menjual tubuh, bodoh, dan lain sebagainya.
Padahal, segala hal di dunia ini, termasuk identitas para pekerja seks komersial, bisa saja dipandang dengan cara yang lain, tidak monolitik dan penuh apriori.
Pada 28 Maret silam, situs Independent membuat laporan tentang buku karya Julia Fullerton-Batten yang berisi potret-potret para pekerja seks komersial. Buku bertajuk The Act itu memuat gambar perempuan-perempuan mulai dari escort, bintang porno, penari striptis, hingga dominatrix. Benang merah dari semua gambar tersebut adalah adanya elemen pertunjukan yang coba disuguhkan para perempuan yang melibatkan seksualitas dalam pekerjaannya.
Kepada Independent, Fullerton-Batten menyampaikan, “Saya penasaran terhadap motivasi perempuan-perempuan, yang beberapa di antaranya berpendidikan tinggi, untuk terjun ke industri seks secara sukarela dan mengabaikan stigma sosial serta penolakan dari keluarganya.”
Kendati bukunya berisi potret-potret perempuan pekerja seks, Fullerton-Batten menghindari kesan pornografis di dalamnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa The Act memuat ketelanjangan, tetapi tidak melibatkan hubungan seksual sepasang manusia sebagaimana jamak ditemukan dalam pornografi. Untuk menekankan penggambaran perilaku dan aktivitas para perempuan ini, alih-alih mengeksploitasi sensualitas tubuh mereka, Fullerton-Batten memotret aktivitas dan perilaku yang jarang ditangkap dalam representasi pekerja seks di media populer. Aktivitas yang lain ini tak selalu berkaitan dengan tindakan seksual.
Tentu saja, sebagaimana publikasi berkonten erotis lainnya, The Act berpotensi melahirkan kontroversi. Hal ini dikarenakan erotisisme merupakan hal sensitif dan bersifat subjektif. Patung-patung dewa Yunani yang sering digambarkan tanpa penutup tubuh, lukisan era Reinassance, atau relief candi Hindu saja bisa dianggap pornografi alih-alih dipahami sebagai seni. Maka, tak heran jika sebagian besar masyarakat mempertahankan stigma buruk para bintang porno atau pekerja seks komersial karena pemahaman mereka hanya terbentuk dari sudut pandang tunggal saja.
Dari Male Gaze ke Female Gaze
Banyak yang menganggap pornografi hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Kamera lebih sering menyoroti kaum hawa yang tengah melakukan aksi-aksi seksual terhadap laki-laki -- yang oleh Laura Mulvey disebut sebagai male gaze. Terlepas dari konteks pornografi, jamak pula representasi perempuan yang tidak terlepas dari kepentingan tontonan laki-laki.
Dalam esai berjudul "Visual Pleasure and Narrative Cinema", Mulvey mengutip pemikiran Freud bahwa hal ini terkait dengan scopophilia yaitu kenikmatan seksual yang didapat dari menyaksikan objek tertentu dalam film. Mulvey berargumen bahwa film-film kerap menempatkan perempuan tidak hanya sebagai objek erotis lawan main dalam cerita, tetapi juga sebagai objek erotis bagi para penonton film-film tersebut.
Apakah pendapat Mulvey selalu terbukti? Industri pornografi Jepang merupakan mencoba memberikan alternatif.
Meski masih berada di bawah dominasi male gaze, sejak 2014 BBC sudah mewartakan adanya tren pembuatan film porno untuk khalayak perempuan di Jepang. Film porno untuk perempuan berkebalikan dengan male gaze: yang lebih banyak disorot kamera adalah aktor laki-laki. Inilah female gaze itu. Kecenderungan ini dimulai setelah banyak produser menyadari pasar perempuan yang dianggap potensial untuk disasar.
Dalam video BBC tersebut, tampak sejumlah perempuan yang terlibat di dalam proses pembuatan female gaze pornography. Eri Makino, sang sutradara, menyatakan bahwa pornografi untuk perempuan ini berupaya untuk mengakomodasi target pasar yang kerap kali kesulitan membangun relasi romantis serta mendapatkan kenikmatan seksual di tengah atmosfer seksualitas yang dikuasai oleh laki-laki. Tidak hanya aktivitas seksual saja yang dikedepankan dalam pornografi untuk perempuan ini, tetapi juga nilai-nilai intimasi, keromantisan, pemuasan kebutuhan seksual perempuan.
Tak Melulu Alasan Uang
Memang benar bahwa industri seks menawarkan bayaran besar dengan upaya yang -- bagi sebagian orang -- dianggap sangat minimal. Namun tak melulu alasan finansial yang sering disalahpahami itu yang mendorong seseorang menjadi bintang porno.
Dalam The Pornography Industry: What Everyone Needs To Know, Shira Tarrant (2016) mengangkat opini Nina Hartley, aktris porno yang juga seorang pengajar, yang menyatakan bahwa ia bergabung dalam industri pornografi lantaran senang melakoninya. “Saya punya kecondongan seksual seperti halnya Mozart dengan kecondongan musikal… dan hidup dengan seksualitas yang terbuka bagi publik telah sejak awal saya anggap natural seperti bernapas,” demikian pernyataan Hartley.
Hartley bukanlah satu-satunya aktris porno yang berprofesi sebagai pengajar. Sederet aktris porno seperti Laurie Wallace, Tera Patrick, Shy Love, Asia Carrera, T.J. Hart, dan Annie Sprinkle juga dikabarkan memegang gelar dari universitas. Bahkan, beberapa di antara aktris tersebut ada yang meraih gelar Ph.D. dan menyelesaikan lebih dari satu bidang studi.
Stigma lainnya yang kerap dikenakan kepada para pelakon video porno atau pekerja seks komersial adalah mereka pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual saat kecil sehingga memilih atau terpaksa terjun di bidang ini. Dilansir attn, studi yang dilakukan Griffith et. al. (2012) menemukan bahwa hanya 36% dari 177 aktris porno yang disurvei yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Terlepas dari cap-cap buruk yang dilekatkan kepada mereka, para aktris porno ini juga dilaporkan memiliki penilaian diri lebih tinggi, perasaan positif, dukungan sosial, serta kepuasan seksual yang di atas rata-rata.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Zen RS