tirto.id - Ada yang menganggapnya jelmaan Bob Marley, ada pula yang menyebutnya seniman edan yang kecipratan momentum untuk jadi tenar. Pendapat-pendapat semacam itu yang menyertai perjalanan Mbah Surip.
Mbah Surip, toh, cuek bebek. Baginya yang terpenting adalah bagaimana caranya bersenang-senang dan tertawa sepuas-puasnya di tengah hidup yang kacrut. Selama ia masih tertawa keras, hidup kiranya akan baik-baik saja.
Namun, sayang, masa edar Mbah Surip tak berlangsung lama. Pada 4 Agustus 2009, tepat hari ini sembilan tahun silam, ia berpulang. Meninggalkan pengikutnya dengan beribu pertanyaan, “Mengapa harus secepat ini kau pergi, Mbah?”
Tak ada yang tahu pasti apa jawaban dari pertanyaan tersebut. Tapi, satu hal yang jelas, di alam sana, ia akan bertingkah seperti biasanya—meracau sembarang dan menutup ucapannya dengan punchline yang mantap:
“I LOVE YOU FULL! HA... HA... HA!”
Menertawakan Hidup
Mbah Surip terlahir dengan nama Urip Achmad Riyanto di Mojokerto pada 6 Mei 1957 dari pasangan Sukotjo dan Rasminah. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Masa kecilnya bisa dikata berjalan cukup sulit.
Di saat anak-anak seumurannya bermain penuh tawa, Mbah Surip harus meluangkan waktu untuk membantu orang tua berjualan kikil, es lilin, hingga kacang goreng. Kendati disibukkan dengan aktivitas berjualan, Mbah Surip tetap berupaya merampungkan sekolah, bahkan hingga bangku perkuliahan.
Meski punya bekal pendidikan yang cukup, hidup Mbah Surip tak serta merta berjalan mulus. Ia susah mendapatkan pekerjaan tetap. Agar dapur keluarganya senantiasa mengepul, Mbah Surip rela kerja serabutan. Dari penjaga bioskop sampai pengamen ia jalani dengan seksama.
Memasuki periode 1980-an, Mbah Surip memutuskan merantau ke Jakarta. Tujuannya satu: mendapat pekerjaan yang layak supaya ia bisa menghidupi keluarganya di Mojokerto. Namun, nasib masih berkata lain. Mbah Surip belum juga memperoleh sumber penghasilan yang memuaskan.
Di tengah kegundahan semacam itu, Mbah Surip mulai berkenalan dengan dunia seni. Di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Mbah Surip menjalin relasi dengan seniman-seniman jalanan. Sedikit demi sedikit ia belajar bikin lagu serta memainkan hasil ciptaannya tersebut sewaktu mengamen.
Selain di Bulungan, Mbah Surip juga kerap bertandang ke Bengkel Teater milik penyair W.S. Rendra. Mbah Surip punya kedekatan emosional dengan tempat ini. Bahkan, Mbah Surip pernah berpesan kepada salah satu seniman bahwa kelak, ketika ia menghadap Tuhan, ia ingin dimakamkan di pemakaman yang tak jauh dari lokasi Bengkel Teater berada—yang pada akhirnya diwujudkan di hari kematiannya.
Perkenalan Mbah Surip dengan dunia seni, sekali lagi, tak berujung baik. Nasibnya masih sama seperti dulu kala: hidup penuh kesusahan dan pontang-panting ke sana dan ke mari cari uang tambahan. Meski begitu, Mbah Surip mencoba tetap percaya, bahagia, dan menjaga asa. Ia tak menyerah serta meyakini bahwa kesusahannya adalah bagian dari laku duniawi.
Satu Lagu dan Meledak
Jalan ninja Mbah Surip di ranah kesenian membuahkan hasil pada 1997 ketika ia merilis album berjudul Ijo Royo-Royo. Walaupun tidak sukses-sukses amat di pasaran, album debut tersebut membuka pintu ke album berikutnya: Indonesia I (1998) serta Reformasi (1998).
Butuh lebih dari sepuluh tahun bagi Mbah Surip untuk benar-benar bersinar sebagai seniman. Pada 2009, ia melepas Tak Gendong. Tak dinyana, album ini meledak di pasaran. Salah satu lagu di dalamnya yang berjudul sama dengan tajuk album, sukses meraih popularitas yang begitu masif di kalangan masyarakat Indonesia.
Balada “Tak Gendong” begitu sederhana, baik secara lirikal maupun instrumentasi. Cukup dengan lima kunci nada, “Tak Gendong” dengan mudah dapat dimainkan.
Yang bikin “Tak Gendong” jadi istimewa ialah ia cepat meresap ke pikiran orang-orang karena liriknya yang terdengar jenaka, menggelitik, namun punya filosofi yang dalam—berpesan agar manusia jangan takut salah. Ditambah, gaya Mbah Surip yang selengean dan tak acuh membuat masyarakat kian jatuh hati pada lagu ini.
Lagunya boleh sederhana, tapi tidak dengan dampak yang ditimbulkannya. Pasar menyambut positif “Tak Gendong.” Nilai jualnya bisa dikata sangat tinggi. Sejak pertama kali rilis, sampai tiga bulan setelahnya, “Tak Gendong” selalu masuk 10 besar teratas ring back tone (RBT) atau nada sambung pribadi (NSP) yang banyak diunduh.
Di salah satu penyedia jasa layanan operator, XL, misalnya, angka unduh “Tak Gendong” dalam dua bulan pertama naik sampai 600%, dari mulanya 10 ribu jadi 70 ribu. Hebatnya, “Tak Gendong” mengalahkan lagu “Jangan Menyerah” dari d'Masiv (berada di posisi kedua) dan “Your Are Not Alone” dari Michael Jackson yang berada di posisi ketiga.
“Dari 70 ribu orang ini, 65 ribu orang hanya mengakses lagu “Tak Gendong” saja. Sisanya, 5.000 orang, mengakses lagu-lagu Mbah Surip lainnya,” kata Public Relations Manager PT Excelcomindo, Pratama Febriati Nadira, kepada Tempo. “Booming RBT Mbah Surip memang baru beberapa bulan terakhir.”
Jika dihitung-hitung, “Tak Gendong” menyumbang penghasilan total sebesar Rp9 miliar. Dari jumlah tersebut, Mbah Surip mengantungi setidaknya Rp4,5 miliar—yang diambil dari hak royalti. Sebagai catatan, angka yang fantastis di eranya itu didapatkan hanya dari penjualan RBT semata. Dahsyat.
Kecemerlangan “Tak Gendong” tak bisa dilepaskan dari fenomena RBT yang sedang hangat-hangatnya pada era itu. RBT, seketika, jadi mesin pencetak uang. Tak cuma bagi para musisi, melainkan juga bagi penyedia konten serta operator telepon seluler. Sebagaimana dilaporkan Liputan6, nilai total bisnis RBT pada 2008 mencapai Rp3 triliun.
Besarnya perputaran uang itulah yang membuat musisi-musisi di zaman tersebut, termasuk Mbah Surip, ramai-ramai menggadaikan jiwanya ke bisnis RBT. Dalihnya: daripada repot-repot membikin album—yang kemudian akhirnya dibajak juga—lebih baik bikin beberapa lagu dan masukkan saja ke RBT. Tak perlu menunggu waktu lama, pundi-pundi uang akan segera mengalir dengan sendirinya.
Fenomena RBT juga didukung dengan berubahnya masyarakat dalam menikmati musik. Dulu, masyarakat berbondong-bondong untuk membeli kaset. Tapi, kebiasaan itu perlahan berubah. Masyarakat cenderung memilih membeli pulsa dan memanfaatkannya untuk memasang RBT, alih-alih datang ke toko kaset dan membeli rilisan terbaru berwujud album. Alasannya: tidak makan banyak biaya.
Suara kontra bukannya tidak bermunculan. Bagi sebagian pihak yang tidak nyaman dengan keberadaan fenomena ini, beranggapan bahwa RBT merusak budaya berproses musisi serta menciptakan ambisi serba instan demi meraih dua hal: ketenaran dan kekayaan.
“RBT itu, kan, hanya direkam pada bagian refrein saja. Yang saya takutkan adalah banyak musisi yang ingin instan kaya mendadak tapi dengan mempercantik bagian refrain saja, sedangkan bagian lain dari lagu terkesan asal, hanya untuk mengejar angka penjualan RBT,” ujar Denny MR, pengamat musik, dalam wawancaranya dengan harian Pikiran Rakyat.
Sementara Andre Hehanusa, penyanyi pop, mengungkapkan bahwa musisi yang kaya dengan hanya berjualan RBT bukanlah “seniman sesungguhnya.”
“Kalau mau kaya, ya, concern saja ke RBT kayak Mbah Surip,” tegas Andre.
Tetap Membumi
Ketenaran Mbah Surip sebagai imbas dari meledaknya “Tak Gendong” turut mengubah kehidupannya. Mbah Surip mendadak jadi superstar yang rutin mengisi acara televisi sampai manggung dari satu konser ke konser lainnya. Namanya dielu-elukan. Kehadirannya selalu dinantikan. Statusnya tak lagi seniman jalanan, melainkan artis papan atas ibukota.
Tapi, segala kemewahan tersebut rupanya tak menjadikan Mbah Surip sebagai sosok yang lupa daratan. Ia tetap rendah hati dalam berperilaku dan menganggap apa yang dimilikinya saat itu adalah “titipan Tuhan semata,” yang suatu saat bakal sirna.
Ihwal ini bisa dilihat ketika ia bersikeras menjual motor tuanya. Motor yang diberi nama ‘Harley Davidchiang’ itu tetap ia jaga dan rawat—meski kondisinya sudah memprihatinkan. Baginya, ‘Harley Davidchiang’ adalah saksi jatuh bangun kehidupannya.
“Ini motor kesayangan Mbah Surip, tidak boleh dijual. Dia pernah bilang, ‘Waktu miskin, itu kenang-kenangan saya,’” kata pemilik kontrakan tempat Mbah Surip tinggal, Nyiman (60), pada 2009 silam.
Contoh lainnya adalah tatkala ia lebih memilih naik ojek dibanding mobil untuk hadir dari satu pementasan ke pementasan lainnya. Ia mengaku “lebih enak dan senang naik ojek” meski sudah ada fasilitas transportasi roda empat yang siap menghantarnya ke mana ia pergi.
Yang tak kalah bikin trenyuh, Mbah Surip masih peduli dengan teman-teman seniman jalannya di Kawasan Bulungan. Ia sering datang ke sana dan membagi-bagi makanan untuk mereka.
Segala laku hidupnya yang tetap rendah hati itu membuat beberapa musisi mengutarakan kekagumannya, salah satunya ialah gitaris band pop-rock, Padi, Piyu.
“Orangnya polos dan sederhana sekali, itu yang saya suka dan kagumi dari almarhum,” terang Piyu kepada Detik, tak lama usai Mbah Surip meninggal. “Bayangin aja ke mana-mana masih naik motor.”
Piyu berpendapat, Mbah Surip tidak tergoda dengan gaya hidup selebritas yang serba mewah. Mbah Surip, kata Piyu, tetap membumi dengan segala tindakannya yang sederhana.
Editor: Ivan Aulia Ahsan