tirto.id - Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyebut bahwa wacana sistem kelas rawat inap standar (KRIS) sebenarnya bukan untuk menghapus program kelas BPJS Kesehatan, tapi untuk lebih menyederhanakannya.
Budi menjelaskan bahwa fasilitas kesehatan masyarakat nantinya akan dinaikkan kelas perawatannya setara kelas II dan III. Hal itu bertujuan untuk mengangkat kualitas standar layanan kesehatan yang diberikan.
Menanggapi hal tersebut, sekalangan masyarakat kompak menolak jika sistem KRIS bakal menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan. Pratomo, seorang buruh di Jakarta, mengaku tak mau jika iuran BPJS Kesehatan menjadi lebih mahal hanya untuk alasan standarisasi.
"Gak setuju, keberatan. Jelas menolak kalau memang iurannya bakal naik," ucapnya saat ditemui Tirto, Kamis (16/5/2024).
Menurut Pratomo, sistem KRIS lebih baik dibatalkan. Alih-alih, pemerintah mestinya mendorong peningkatan pelayanan dalam sistem kelas perawatan yang sudah ada.
"Tidak perlu untuk jaminan KRIS ini. Mending balik sistem kelas seperti semula dan lebih meningkatkan pelayanannya daripada melakukan sistem standarisasi," kata dia.
Pratomo juga menilai bahwa sistem KRIS akan menciptakan ketidakadilan karena besaran iuran BPJS Kesehatan sebelumnya akan sia-sia jika berujung disamakan dalam kelas perawatan di rumah sakit.
"Justru dengan KRIS ini menciptakan ketidakadilan karena membayar iuran lebih mahal, tapi jaminan kualitasnya malah disetarakan," ujarnya.
Seorang pekerja di Jakarta bernama Ayub juga melontarkan komentar senada. Menurutnya, sistem KRIS berpotensi menaikan tarif iuran yang selama ini dibayar oleh masyarakat, terutama pengguna kelas III. Hal ini lantaran usulan Menteri Kesehatan yang memang akan menaikkan kelas tersebut ke kelas II.
"Kayaknya bakal naik, tapi kalau bisa pemerintah mensubsidi khususnya bagi kelas yang dinaikkan," tutur Ayub.
Di samping itu, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) berharap iuran penerima BPJS Kesehatan kategori PBI (penerima bantuan iuran) menjadi Rp100.000 per bulan usai pemerintah menyeragamkan kelas perawatan melalui KRIS.
Ketua Umum ARSSI, Iing Ichsan Hanafi, menyebut pertimbangan penetapan tarif iuran dengan nominal tersebut didasarkan pada kesesuaian mutu layanan bagi pasien.Dengan besaran tarif itu, rumah sakit juga bisa tetap berkembang dan BPJS Kesehatan mampu bergerak sustainable.
"Yang jadi beban itu misalnya PBI. Kalau PBI, misalnya, jadi Rp100 ribu akan bagus. Yang untuk BPJS-nya, mungkin kelas II dan kelas I naik berapa. [Dengan begitu] menurut saya akan terjamin dengan bagus untuk keuangan ke depan," ucap Ichsan saat dihubungi Tirto, Rabu (15/5/2024).
"Tapi, harapan saya PBI bisa Rp100 ribu," imbuhnya.
Penetapan tarif iuran KRIS akan diterapkan pada 2025. Ichsan mengaku pemerintah melibatkan asosiasinya, juga Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan asosiasi pengusaha guna menentukan besaran iuran yang paling ideal.
"Kalau tarif, RS iya (dilibatkan dalam penetapan iuran), tapi kalau preminya mau berapa, tentu di sini ada Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, terus mungkin asosiasi pengusaha," ujarnya.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Fadrik Aziz Firdausi