Menuju konten utama

Maria Ulfah dan Dunia Poskolonial Asia yang Humanis

Maria Ulfah adalah Ketua Kowani atau Kongres Wanita Indonesia, sebuah badan kontak yang menghimpun organisasi-organisasi wanita di Indonesia.

Maria Ulfah dan Dunia Poskolonial Asia yang Humanis
Delegasi Kowani ke Kongres Wanita Asia-Afrika di Kolombo, Februri 1958. foto/Perpustakaan Nasional

tirto.id - Dalam foto bertahun 1958, delapan tokoh perempuan Indonesia berjejer memegang buket bunga dalam busana formal – kebaya dan kain jarik. Mereka adalah Nani Soewondo, S.K. Trimurti, Soehartini, Maria Ulfah Santoso, Hurustiati Soebandrio, Nyonya Soejono Prawirobismo, Nyonya Ilyas Sutan Pangeran, dan Kartini K. Radjasa. Para perempuan yang memiliki rekam jejak dalam aktivisme hak-hak perempuan dan perbaikan status dan posisi kaum perempuan ini adalah delegasi Indonesia untuk Konferensi Perempuan Asia-Afrika yang berlangsung di Kolombo dari 15—24 Februari 1958.

Gema pergerakan perempuan dalam kancah internasional makin terdengar gaungnya pasca Konferensi Asia-Afrika pada 1955. Dalam Konferensi Solidaritas Asia-Afrika di Kairo pada 1957, yang pertama kali membahas isu-isu perempuan, adalah Maria Ulfah Santoso yang ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia.

Tentu ada alasan mengapa Maria Ulfah terpilih. Kala itu, ia adalah ketua Kowani atau Kongres Wanita Indonesia, sebuah badan kontak yang menghimpun organisasi-organisasi wanita di Indonesia, dan merupakan salah satu inisiator kunci dari Konferensi Perempuan Asia-Afrika pada 1958. Organisasi ini dipimpinnya sejak 1950. Pengalaman politik Maria Ulfah pun sangat kaya. Ia merupakan salah satu founding mothers dari Republik Indonesia atas keterlibatannya dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan. Ditambah, Maria Ulfah merupakan perempuan pertama yang menjabat menteri, yakni sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir pada tahun 1946—1947 yang mengurusi repatriasi tawanan Jepang. Terakhir, Maria Ulfah adalah peripatetic activist, orang yang secara aktif bepergian dari satu kota ke kota lain di Asia serta Eropa untuk mendatangi pertemuan-pertemuan internasional, terlibat dalam aktivisme transnasional, dan menjajaki hubungan dan jejaring dari aktivitasnya tersebut.

Terbukanya Horizon Internasionalis

Terpaparnya Maria Ulfah dengan aktivisme transnasional dapat dirunut sejak ia berkuliah di Belanda di awal tahun 1930-an. Maria Ulfah yang saat itu berstatus mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Leiden, diajak oleh Sjahrir, mahasiswa Ilmu Hukum di Universitas Amsterdam, untuk menghadiri pertemuan Liga Anti-Imperialisme yang diadakan di gedung bioskop Hooge Woerd di Leiden. Ajakan Sjahrir tentu datang bukan tanpa sebab. Sjahrir bersimpati kepada Maria Ulfah yang memiliki cita-cita ingin memajukan rakyat Indonesia, terutama kaum perempuan, setelah kembali ke tanah air (Rasid, 1982).

Maria Ulfah lulus dari Universitas Leiden di tahun 1933 dan menjadi wanita pertama Indonesia bergelar Meester in de Rechten (sarjana hukum). Sebagai self-reward atas kelulusannya, ia menghadiahi dirinya sendiri berkeliling ke Eropa; ke Norwegia, Denmark, Skotlandia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Swiss. Perjalanan ini membuka pikiran dan wawasannya tentang keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan dunia. Perjalanan tersebut memberikan pengalaman modernitas yang lebih luas, yang dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat betapa tertinggalnya Indonesia di bawah kolonialisme Belanda.

Idealisme Maria Ulfah pun terwujud ketika kembali ke tanah air. Ia yang semula bekerja sebagai tenaga honorer di Kantor Kabupaten Cirebon karena ingin dekat dengan tempat tinggal ayahnya di Kuningan, tidak betah dan meninggalkan privilege-nya sebagai anak Bupati Kuningan dengan pergi ke Jakarta untuk menjadi guru di sekolah yang dikelola Muhammadiyah dan sekolah rakyat.

Melalui ‘jaringan’ pendidikan ini, Maria Ulfah berkenalan dengan Ir. Djuanda (kepala sekolah Muhammadiyah tempatnya mengajar), Amir Sjarifuddin (pemimpin sekolah rakyat), Moh. Yamin, dan A.K. Gani. Di samping aktivitasnya tersebut, ia juga memberikan kursus membaca dan menulis gratis kepada kaum perempuan.

Maria Ulfah pun mulai berkecimpung dalam organisasi perempuan, bergabung dengan organisasi Istri Indonesia dan berkesempatan untuk mengikuti Kongres Perempuan Indonesia (KPI) II di tahun 1935. Melalui KPI, Maria Ulfah yang memiliki basis keilmuan hukum mumpuni, mengusulkan adanya undang-undang pernikahan yang melindungi posisi perempuan dalam poligami. Ia memimpin Biro Konsultasi Perkawinan yang didirikan oleh KPI untuk membantu perempuan yang mengadukan nasib mereka karena menderita akibat ‘dimadu’. Aktifnya Maria Ulfah dalam kegiatan sosial dan politik dan bergaul dengan kaum nasionalis pun harus dibayar dengan hidupnya yang sederhana dalam perantauan serta ayahnya yang dipensiunkan dini dari jabatannya sebagai Bupati Kuningan.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, Maria Ulfah terlibat dalam perancangan negara Indonesia melalui BPUPK atas usulan Sukarno. Di situlah, ia diperhitungkan sebagai tokoh pergerakan perempuan sekaligus ahli hukum. Ia mewakili kaum perempuan bersama satu aktivis perempuan lain, yaitu Sukaptinah Sunaryo. Keterlibatan mereka menandakan bahwa Republik Indonesia digodok tidak hanya oleh kaum laki-laki tetapi juga ada pikiran dan energi dari kaum perempuan. Dalam rapat rancangan Undang-Undang Dasar, Maria Ulfah mengusulkan adanya hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sebuah pemikiran yang lahir, menurut saya, dari pergumulannya dalam membela hak-hak perempuan di Indonesia sekaligus dari pengalaman internasionalnya saat hidup dan belajar tentang kondisi sosial masyarakat Eropa.

Dari New Delhi ke Kolombo: Memperjuangkan Masa Depan Asia

Tugas pertama yang ditawarkan kepada Maria Ulfah setelah Indonesia merdeka berkaitan dengan politik luar negeri. Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia kala itu, menawarinya posisi sebagai liaison officer antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Sekutu. Maria Ulfah tidak bisa menolak permintaan Sjahrir karena sebelumnya ia telah menolak jabatan Sekretaris Jenderal di Kementerian Luar Negeri. Sebagai liaison officer, Maria Ulfah diberi pekerjaan untuk memberi laporan kepada Sekutu bila terjadi bentrokan dan muncul korban dari Indonesia

Penunjukan Maria Ulfah menurut Sjahrir krusial. Pertama, untuk membantah asumsi bahwa Republik yang baru ini bukan rekaan Jepang. Dalam politik Jepang, peranan perempuan dibatasi dan jarang ada kesempatan bagi mereka memegang posisi signifikan. Kedua, Sjahrir merasa bahwa dengan memilih perempuan maka Sekutu akan lebih tanggap dengan laporan-laporan dari pihak Indonesia (Rasid 1982; Jazimah dan Nugroho 2021).

Namun demikian, saya berpendapat bahwa di samping alasan strategis dan pragmatis, Bung Kecil yakin Maria Ulfah dapat menangani persoalan diplomatik karena ia telah bersentuhan dengan aktivitas transnasional sejak muda, ditambah kemampuan intelektual dan bahasanya yang mumpuni.

Pekerjaan sebagai perwira penghubung yang mengawasi bentrokan antara kekuatan imperialis lama Eropa dan negara pasca-imperial baru seperti Indonesia, menyadarkan Maria Ulfah bahwa transisi dari dunia kolonial ke poskolonial melewati jalan terjal. Berakhirnya Perang Dunia ke-II memang memberi goncangan dahsyat terhadap kedigdayaan imperium Eropa di Asia. Beberapa negara Asia kemudian melihat kesempatan ini sebagai ‘waktu yang tepat’ untuk memerdekakan diri dan membentuk pemerintahan berdaulat. Sayangnya, bagi Indonesia dan Vietnam, kemerdekaan mereka dianggap tidak sah. Dekolonisasi yang baru dimulai pun dihadang oleh senapan.

Kesadaran bahwa Asia harus bersatu untuk menghadapi transisi ke sebuah era baru ini diperkuat oleh pengalaman Maria Ulfah dalam Asian Relations Conference di New Delhi tahun 1947. Konferensi ini diprakarsai oleh Jawaharlal Nehru, yang sejak masa kolonial berupaya mendorong kerjasama Asia (Stolte, 2014). Dalam transisi Asia yang luar biasa menuju era poskolonial, menurut Nehru, negara-negara Asia perlu duduk bersama, mengolah perasaan solidaritas, dan maju bersama-sama menghadapi zaman baru.

Maria Ulfah, sebagai Menteri Sosial, ikut dalam delegasi Perdana Menteri Sjahrir yang datang terlambat ke konferensi ini akibat harus mengurusi perjanjian Linggarjati. Ia memang tidak meninggalkan catatan detail pandangannya atas konferensi ini. Namun, saya berasumsi bahwa konferensi ini meninggalkan impresi bagi Maria Ulfah tentang dilema yang dihadapi oleh Asia di masa transisi dan bagaimana cita-cita Asia ingin membangun dunia poskolonial yang merdeka, berdaulat, damai, dan saling bekerja sama. Di New Delhi, Maria Ulfah untuk pertama kalinya bertemu dengan tokoh besar India, Mahatma Gandhi, penyair dan tokoh emansipasi perempuan India Sarojini Naidu, serta pemimpin India Jawaharlal Nehru. Dan di sinilah, Maria Ulfah merasakan visi masa depan Asia yang humanis dari Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan terutama dari mentor politiknya: Sjahrir.

Maria Ulfah berupaya merealisasikan cita-cita Asia yang humanis lewat jaringan sosialis Asia. Melalui hubungan dengan Praja Socialist Party di India dan Burma Socialist Party, jaringan yang mereka tempa kemudian terkulminasi dalam Konferensi Sosialis Asia di Rangoon tahun 1953. Konferensi ini dihadiri oleh 28 negara Asia, termasuk peninjau dari beberapa negara Afrika dan Socialist International (diwakili Clement Atlee). Pertemuan ini berupaya untuk menyatukan gerakan sosialisme di Asia, meskipun mereka terkoneksi dengan Socialist International – yang mereka kritik berperspektif Eurosentrik. Dari Indonesia, delegasi besar Partai Sosialis Indonesia yang berangkat ke Rangoon, di antaranya adalah Maria Ulfah, Djohan Shahroezah, Hamid Algadri, Sumitro Djojohadikusumo, Soebadio Sastrosatomo, dan Sjahrir sebagai pimpinan.

Konferensi Sosialis Asia disebut oleh Kyaw Zaw Win sebagai ‘pendahulu’ KAA, karena ada kesamaan topik yang diangkat dalam anti-kolonialisme, hak asasi manusia, dan solidaritas internasional. Meski demikian, ada perbedaan fundamental di antara keduanya. Menurut Su Lin Lewis, konferensi ini menguraikan visi tentang welfare state dan promosi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, di samping memberikan ruang terhadap kebebasan individual (Lewis, 2019).

Kesetaraan hak terhadap perempuan dalam resolusi Konferensi Sosialis Asia dipengaruhi salah satunya oleh keterlibatan tokoh-tokoh aktivis perempuan seperti Maria Ulfah. Dalam visi Maria Ulfah, negara harus membangun tatanan sosial yang egaliter, rasional, dan mengapresiasi hak-hak kaum perempuan.

Pandangan progresif dan humanis Maria Ulfah ini terekam dalam keterlibatannya mengadvokasi hak dan peningkatan status perempuan melalui Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Di bawah kepemimpinannya, Kowani aktif dalam meningkatkan status dan posisi perempuan di Asia. Kowani mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh UNESCO di New Delhi tentang kedudukan wanita di Asia Selatan pada tahun 1952 dan 1953, seminar status wanita di Moskow oleh PBB tahun 1956, dan konferensi tentang wanita di New York oleh PBB pada 1957. Di tahun 1957 pula, Maria Ulfah mewakili Kowani dalam Seminar Wanita Asia di Bangkok yang diadakan oleh PBB mengenai peningkatan partisipasi perempuan Asia dalam kehidupan publik.

Body Artikel Leiden

Maria Ulfah Membacakan pidato. foto/KITLV

Upaya Maria Ulfah dan Kongres Wanita Indonesia untuk memperbaiki posisi perempuan dan memperjuangkan hak-haknya dalam dunia poskolonial Asia direalisasikan melalui Konferensi Wanita Asia-Afrika di Kolombo tahun 1958. Konferensi ini lahir karena terinspirasi oleh Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung dan bertujuan untuk mempertemukan dan mendikusikan dalam platform bersama masalah-masalah mendasar yang dialami oleh perempuan dan anak di negara-negara Asia dan Afrika.

Kongres Wanita Indonesia menjadi salah satu dari lima inisiator konferensi, di samping Women’s Welfare League of Union of Burma, The All Ceylon Women’s Conference, The All India Women’s Conference, dan All Pakistan Women’s Association. 120 delegasi dari 18 negara Asia dan Afrika hadir di sana. Mereka mendiskusikan enam tema sentral, yaitu kesehatan, pendidikan, wanita dan kewarganegaraan, perbudakaan dan perdagangan wanita dan anak, masalah perburuhan, dan kerjasama yang erat di antara wanita Asia dan Afrika.

Konferensi ini, menurut Elisabeth Armstrong (2016), adalah upaya feminisme sosial-reformis yang berusaha menjadikan hak-hak sosial perempuan, reformasi kultural, dan sosial sebagai prioritas. Berbeda dengan KAA tahun 1955, Konferensi Wanita Asia-Afrika bertendensi ‘non-politis’, walaupun inisiator mengakui bahwa Spirit Bandung adalah inspirasi konferensi. Meskipun kecenderungan konferensi tidak mau membicarakan masalah perempuan dan politik, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Maria Ulfah ngotot untuk mendiskusikannya. Delegasi Indonesia berargumen bahwa mereka ke Kolombo dengan membawa pesan dari gerakan perempuan Indonesia. Di samping masalah perempuan, delegasi Indonesia juga mengangkat masalah Irian Barat dan hukuman mati empat perempuan pejuang kebebasan Aljazair oleh Perancis.

Kegigihan berpendapat Maria Ulfah dan delegasi Indonesia juga tampak saat mereka mengeluarkan manifesto anti-kolonial di tengah konferensi tentang peran perempuan dalam kemerdekaan dan pemeliharaan perdamaian. Dalam manifesto tersebut tertera bahwa kolonialisme membahayakan perdamaian dan kebebasan sehingga menjadi tugas perempuan Asia-Afrika untuk melenyapkan kolonialisme. Sayangnya, manifesto Indonesia ini ditolak oleh delegasi lain dan inisiator konferensi yang ngotot mempertahankan karakter non-politis konferensi.

Meskipun ditolak, manifesto itu menunjukkan pandangan para aktivis perempuan Indonesia, termasuk Maria Ulfah, yang menginginkan terbentuknya kebebasan dan perdamaian Asia dengan melawan ancaman kolonialisme.

Konferensi Wanita Asia-Afrika menjadi gerbang pembuka kerjasama gerakan wanita di Asia dan Afrika. Saya berpendapat bahwa konferensi ini memberikan landasan krusial bagi gerakan perempuan Asia-Afrika tentang pentingnya membangun inisiatif kerjasama transnasional dan persaudaraan wanita di tengah maskulinnya politik Dunia Ketiga waktu itu. []

Wildan Sena Utama, dosen sejarah Universitas Gadjah Mada

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis