tirto.id - Seraya menyeka air mata, Prof. Dr. Djaali mencoba meluruskan tudingan yang mengaitkan namanya dengan pelbagai kasus di UNJ. “Saya tidak apa-apa diberhentikan, tapi ini permasalahan nama baik,” katanya pada 5 Oktober lalu di hadapan anggota Komisi X DPR—komisi yang menangani urusan pendidikan.
Hari itu Djaali mendatangi Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, untuk menghadiri sebuah rapat dengan anggota Komisi X. Ia didampingi Franz Ariatna (pengacara), Dedi Purwana (dekan Fakultas Ekonomi), Sofia Hartati (dekan Fakultas Ilmu Politik), Abdul Sukur (dekan Fakultas Ilmu Olahraga), Burhanuddin Tola (wakil direktur II Pascasarjana), R. Madhakomala (perwakilan Senat) serta beberapa mahasiswa Pascasarjana dan perwakilan dari Universitas Manado. Kepada Utut Ardianto, pemimpin rapat, Djaali membantah praktik plagiarisme serta nepotisme yang melibatkan namanya.
Ia pun membantah temuan Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Kementerian Ristekdikti yang mengaitkan namanya melakukan bimbingan dalam jumlah tak wajar. Ia menilai keputusan pemberhentiannya “terlalu tendensius.”
“Saya membimbing banyak orang. Ciri khas saya membimbing secara substansi. Bila mereka mengambil referensi dari mana-mana, saya tidak tahu,” kata Djaali.
Setelah diberhentikan sebagai rektor UNJ oleh Menteri M. Nasir pada 25 September lalu, Djaali melakukan upaya-upaya memulihkan nama baiknya.
Sebelum mengadu ke parlemen, Djaali membuat laporan ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri dua hari setelah diberhentikan. Melalui Frans Ariatna dan Agus Kilikily, kuasa hukumnya, ia melaporkan Ketua Tim EKA, Supriadi Rustad, dan Ubeidilah Badrun, dosen Fakultas Sosiologi UNJ, yang dituding telah melakukan pencemaran nama baik.
Awalnya, ketika mendatangi Gedung Bareskrim Polri, rencana pelaporan ditujukan terhadap M. Nasir dan Ali Ghufron Mukti, Ketua Tim Independen. Namun, niatan itu diurungkan pengacaranya.
Alasannya, Supriadi dan Ubeidilah-lah yang dituding mencemarkan nama baiknya melalui keterangan di media massa.
“Karena dari Tim EKA ini, Supriadi Rustad ini, dia yang mengatakan bahwa di UNJ itu terjadi plagiat dan jual-beli ijazah. Itu aja poinnya,” ujar Agus Ariatna, 27 September lalu.
Baca juga: Rektor UNJ Batal Laporkan Menristekdikti
Agus menjelaskan, temuan Tim EKA soal indikasi plagiat oleh lima mahasiswa doktoral dari kelas kerja sama dengan Pemda Sulawesi Tenggara tidak memiliki bukti.
“Tidak ada bukti fisik dan, kami bisa buktikan sebaliknya bahwa itu tidak benar. Itulah kami berani datang kemari,” kata Agus.
Namun, apa yang dikatakan Agus bertolak belakang dari temuan riil Tim EKA, yang dibentuk Kemenristekdikti untuk mengevaluasi perguruan tinggi.
Dalam laporan Tirto akhir Agustus lalu, indikasi jual-beli ijazah doktor pada Program Pascasarjana UNJ ini kentara. Misalnya, ada ketidakcocokan antara jumlah kelulusan mahasiswa doktor dan data penerbitan nomor ijazah sejak Desember 2004 hingga September 2016.
Selama 12 tahun, UNJ meluluskan 2.104 mahasiswa doktoral. Sebaliknya, ada 2.557 penerbitan nomor ijazah kelulusan. Artinya, ada selisih 453 mahasiswa yang lulus program doktoral selama kurun itu.
Baca juga: Bau Tak Sedap Program Studi Pascasarjana UNJ
R. Madhakomala, anggota senat sekaligus wakil direktur I Pascasarjana UNJ, irit berkomentar saat dikonfirmasi mengenai ketimpangan nisbah antara jumlah mahasiswa lulus dan data jumlah ijazah. Ia berkali-kali memperingatkan agar redaksi Tirto menulisnya dengan hati-hati.
“Saya tidak tahu itu data dari mana. Saya tidak pernah mengeluarkan data,” katanya melalui sambungan telepon, dan mengklaim “sejauh ini tak ada persoalan” pada Program Pascasarjana UNJ.
Menggugat SK Pencopotan Rektor Ke PTUN
Sehari setelah laporan pidana pencemaran nama baik, pengacara Djaali melaporkan pula M. Nasir ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 28 September 2017. Gugatan ini untuk menguji SK 402/M/KPT.KP/2017 yang dikeluarkan Menteri Ristekdikti tentang pembebasan sementara Djaali dari tugas-tugas jabatan fungsional. Sehari kemudian, PTUN melayangkan surat pemanggilan kepada M. Nasir.
Dalam salinan surat yang diperoleh redaksi Tirto, M. Nasir dipanggil untuk didengar keterangannya terkait SK Pembebasan untuk memberhentikan Djaali sebagai rektor. Djaali dalam meminta SK Pemberhentian ini dicabut Kemenristekdikti karena dinilai janggal. Nasir menolak berkomentar kepada redaksi Tirto.
Pada 10 Oktober, saat perkara ini digelar, gugatan itu ditolak pengadilan. Tak ada penjelasan soal penolakan itu. Djaali pun enggan memberi pernyataan pers.
“Saya tidak mau berkomentar mengenai itu,” ujar Djaali via telepon kepada reporter Tirto, beberapa waktu lalu.
Isu yang berkembang di kalangan internal UNJ bahkan menyebut PTUN “menangguhkan” gugatan tersebut. Djaali harus mengajukan keberatan terlebih dulu soal pemberhentiannya sebagai rektor kepada Menristekdikti.
“Jika keberatan ditolak, barulah gugatan PTUN dilanjutkan kembali,” tulis pesan berantai yang beredar di grup WhatsApp lingkungan UNJ yang diterima reporter Tirto, sehari setelah gugatan ditolak PTUN.
Dugaan Maladministrasi Penunjukan Senat
Di tengah upaya hukum tersebut, isu lain yang berkembang di lingkungan UNJ adalah dugaan maladministrasi usulan nama senat di Fakultas Teknik, yang kembali menyeret nama Djaali dalam skandal nepotisme. Ia melibatkan Baso Maruddani, anak kedua dan sekretaris pribadi Djaali. (Jabatan sekretaris pribadi ditiadakan oleh Prof. Intan Ahmad sebagai pelaksana harian rektor UNJ.)
Setelah Baso Maruddani dicopot dari jabatannya sebagai sekretaris rektor, muncul surat dengan kop resmi Fakultas Teknik bernomor 743/UN39.6.FT/LL/VIII/2017 tertanggal 11 September 2017. Isinya usulan nama Senat UNJ dari Fakultas Teknik, yang diteken oleh Moch Soekardjo, Plt dekan Fakultas Teknik. Ada indikasi penunjukan senat ini cacat administrasi. Ia mencantumkan Baso Maruddani dan Wesnina tanpa melalui prosedur rapat senat terlebih dulu.
Kejanggalan lain adalah Surat Keputusan Penetapan Senat yang dikeluarkan Djaali ketika masih menjabat rektor UNJ. Dalam Surat Keputusan Rektor yang diteken Djaali tentang Susunan Anggota Senat UNJ periode 2017-2021, Djaali sudah mencantumkan Baso Maruddani menjadi anggota senat.
Moch Sukardjo, ketika dikonfirmasi reporter Tirto, mengatakan “khilaf” dan bersedia menerima sanksi jika harus dicopot dari jabatannya. Ia meluruskan mengenai dua nama dosen dari Fakultas Teknik yang ia usulkan sebagai anggota senat.
“Nama itu sebetulnya sudah ada dan diusulkan oleh Pak Dekan (Agus Dudung) pada 22 Agustus dan diusulkan ke rektor, namun tidak ada kabar,” kata Sukardjo.
“Lalu tiba-tiba 10 September, Pak Rektor Djaali membuat surat edaran, untuk mengusulkan ulang nama-nama senat seluruh UNJ.”
Ketika surat edaran rektor itu keluar, menurut Sukardjo, Agus Dudung, Dekan Fakultas Teknik, “kebetulan” tidak ada di Jakarta. Lewat surat, Agus memerintahkan Sukardjo untuk menjadi pelaksana Dekan Fakultas Teknik selama tiga hari, selama Agus di Papua. Sukardjo menandatangani usulan dua dosen termasuk Baso Maruddani untuk diserahkan kepada rektor sebagai anggota senat UNJ.
“Karena namanya tidak berubah, maka kami usulkan ulang dengan orang yang sama, karena saya takut salah,” ujar Sukardjo.
Baso Maruddani menolak berkomentar mengenai hal ini. Ia tidak merespons upaya konfirmasi baik lewat pesan maupun telepon.
Sementara Djaali, saat ditemui di Lantai 5 Gedung Pascasarjana UNJ pada 24 Oktober lalu, juga menolak diwawancarai mengenai hal ini.
“Enggak, enggak, enggak. Saya mau ada acara,” ujar Djaali seraya meninggalkan reporter Tirto.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam