tirto.id - Sebanyak 10 Ketua DPD tingkat II Golkar di Provinsi Maluku dinonaktifkan oleh DPP Partai Golkar. Penonaktifan itu diduga karena mereka mendukung pencalonan Bambang Soesatyo (Bamsoet) sebagai ketua umum pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar mendatang.
Meski belum mendeklarasikan dirinya, Bamsoet berpotensi menjadi lawan kuat petahana Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Keduanya sama-sama mengklaim telah mendapat dukungan dari sejumlah DPD tingkat provinsi.
Namun, nasib sial justru diterima pimpinan-pimpinan DPD yang mendukung Bamsoet. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar menonaktifkan 10 Ketua DPD tingkat II Golkar di Provinsi Maluku.
Kubu Airlangga membantah bila penonaktifan itu berkaitan dengan dukungan untuk Bamsoet dalam bursa calon ketum Golkar. Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Dave Laksono mengatakan alasan semacam itu hanya untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan 10 ketua DPD tingkat II itu.
"Enggak benar, itu hanya alasan yang mereka gunakan untuk menutupi kesalahan mereka dalam menjalankan roda organisasi," kata Dave saat dihubungi, Kamis (11/7/2019).
Dave mengklaim memiliki alasan kuat mengapa DPP Golkar melakukan penonaktifan kepada mereka, yakni salah satunya melakukan pelanggaran dalam hal mengurus keuangan di partai.
“Ada sejumlah pelanggaran yang dilakukan, khususnya soal keuangan partai dan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan garis komando partai,” ungkap Dave.
Hal senada diungkapkan Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Sumatera DPP Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia. Ia mengatakan alasan penonaktifan tentu berbasis urusan organisasi, bukan di luar urusan organisasi, apalagi alasan politik.
“Jangan dikapitalisasi menjadi masalah politik apalagi ditarik-tarik dikaitkan dengan Munas," ucap Doli kepada reporter Tirto, Kamis (11/7/2019).
Selain itu, kata Doli, di dalam aturan organisasi partai, juga diatur bila penonaktifan itu menimbulkan keberatan-keberatan bisa melakukan langkah mediasi, bahkan bisa diselesaikan di Mahkamah Partai.
"Jadi masalah Maluku itu harus kita lihat sebagai masalah organisasi yang kalau pun dianggap ada perselisihan dapat diselesaikan secara organisatoris. DPP, dalam konteks ini Korbid Kepartaian, pasti akan mengambil langkah-langkah segera untuk menyikapi masalah itu," jelas Doli.
Bamsoet Sarankan Cabut Dukungan
Bamsoet buka suara terkait isu penonaktifan itu. Pria yang juga ketua DPR RI ini menyarankan agar para ketua DPD II tersebut mencabut dukungan kepada dirinya agar bisa tetap mempertahankan posisinya.
“Saya sebetulnya tidak ingin pendukung-pendukung saya menjadi korban, saya lebih memilih dia mencabut dukungan dari saya yang penting mereka selamat," kata Bamsoet, di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Bamsoet mengaku sangat menyayangkan kejadian tersebut. Pasalnya, tidak ada pengangkatan Plt dalam rentang waktu enam bulan menjelang Munas Golkar yang diprediksi akan digelar pada Desember tahun ini.
"Setahu saya 6 bulan sebelum Munas itu tidak boleh ada Plt, karena Plt tidak punya suara dalam Munas,” kata Bamsoet.
Bamsoet juga melihat adanya potensi terjadi aklamasi dengan menonaktifkan pemilik-pemilik suara di Munas yang mendukung dirinya. Meski Bamsoet mengklaim telah mendapat 400 dukungan dari dewan pimpinan daerah, tapi hal itu bukan dukungan mutlak.
"Ya saya melihat ada indikasi ke arah sana [aklamasi] menurut saya praktik yang terjadi sebelumnya [aklamasi] ini enggak boleh. Golkar tidak terbiasa ketua umum lahir dari rapat pleno atau aklamasi, tetapi lahir dari Munas Golkar. Biasanya [saat Munas] panas, tapi kemudian bersatu kembali," ucap Bamsoet.
Namun, Bamsoet menilai ada gerakan dari sejumlah pengurus DPD yang menolak pemilihan ketua umum dilakukan secara aklamasi. Hal itu, kata dia, terlihat dari banyaknya dukungan DPD kepada dirinya untuk maju di Munas Golkar mendatang.
"Saya bersyukur sekali mereka-mereka sangat berani untuk mencegah terjadinya mobilisasi dukungan untuk praktik aklamasi. Sehingga kalau klaim sana 400 [dukungan], sini 400 [dukungan] ya enggak bisa dikatakan itu sebagai dukungan penuh untuk mengarah ke aklamasi,” kata dia.
Koordinator Bidang Kepartaian Partai Golkar Ibnu Munzir tak menampik soal upaya menjadikan Airlangga sebagai ketua umum melalui jalan aklamasi. Ia mengatakan pemilihan secara aklamasi justru diatur.
“Mekanisme di Golkar, kan, ada aklamasi. Aklamasi itu bukan hal yang mustahil, tabu. Tapi mekanismenya harus jalan dengan benar," kata Munzir pada wartawan, Kamis (11/7/2019).
Munzir mengatakan, ada mekanime tersendiri untuk bisa maju sebagai ketua umum. Salah satunya calon tersebut harus mendapatkan 30 persen dukungan kader.
“Kalau hanya satu yang dapat dukungan di atas itu dan yang lain tidak, maka mekanisme memungkinkan aklamasi dalam arti dilanjutkan hanya dengan calon tunggal," ungkapnya.
Ia menambahkan, aklamasi tetap harus dilakukan dalam kaidah-kaidah demokrasi serta sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar.
"Cuma prosesnya harus demokratis, harus berjalan dengan benar sesuai aturan, dan tata cara pemilihan yang berlaku," ucap dia.
Pemecatan Timbulkan Persaingan Tak Sehat
Dosen politik di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan pemecatan-pemecatan dengan alasan perbedaan dukungan justru bisa memperkeruh persoalan di internal Golkar.
Seharusnya, kata Ujang, persaingan untuk merebut kursi ketua umum partai dilakukan secara sehat tanpa adanya pembersihan partai dari orang-orang yang tak mendukung Airlangga.
"Bersaing saja secara sehat, jangan ada penonaktifan. Karena akan menjadi preseden buruk bagi Golkar sebagai partai besar dan berpengalaman," jelas Ujang kepada reporter Tirto.
"Untuk menang kesannya apa pun dilakukan, termasuk menonaktifkan kader yang menyebrang ke lawan politik," tambah Ujang.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz