tirto.id - Fifi (23), mahasiswi UIN Jakarta merupakan salah satu dari sekian banyak mahasiswi bercadar di kampus tersebut. Wajahnya terlihat kekecewaan saat mendengar ada dosen perempuan bercadar yang diminta rektornya untuk memilih antara tetap bercadar atau terus mengajar. “Apa salahnya si bercadar? Kan bercadar itu tuntunan Islam. Ini kan juga kampus Islam. Harusnya pak rektor tidak bersikap begitu. Jujur saya kecewa,” kata Fifi pada Tirto, Senin (1/8/2017).
Fifi sendiri mengaku bercadar sejak lebih kurang setengah tahun yang lalu setelah melihat salah satu video dakwah di Youtube. Ia ingin mengikuti jejak salah satu putri Nabi Muhammad SAW. “Hati saya bergetar. Saya ingin jadi seperti Sayyidah Fatimah Az-Zahra. Lalu, saya memutuskan untuk mengikuti pengajian langsung ustaz tersebut setiap minggunya. Saya memutuskan berhijrah,” katanya.
Ia itu pun mengaku sampai saat ini belum berani bercadar secara terbuka di hadapan dosennya. Ia mengaku masih takut dianggap aneh. Apalagi rektornya pernah membuat kebijakan terhadap dosen bercadar. “Saya si enggak tahu diomongin di belakang atau tidak. Tapi, saya belum pernah ketemu dosen pakai cadar. Paling pakai masker. Dengan kebijakan pak rektor, saya jadi semakin ragu,” katanya.
- Baca juga: Apa Pandangan Orang Saat Kamu Bercadar?
Aul, mahasiswi lainnya di UIN Jakarta menilai cadar merupakan hak berpakaian seseorang. Sepanjang tidak mengganggu jalannya proses belajar mengajar Aul merasa cadar tak perlu menjadi persoalan. “Tidak masalah. Itu hak dosennya. Asalkan jelas saja penyampaiannya. Menurut saya, dengan pakai cadar masih bisa seseorang suaranya kencang,” kata Aul.
Mahasiswi angkatan 2013 ini mengaku cukup dekat dengan dosen berinisial "M" yang kemudian diminta Rektor UIN untuk memilih apakah akan tetap mengajar atau terus menggunakan cadar. Aul mendengar pada 2014 “M” sempat diisukan mengajar kembali, namun hal itu urung terjadi hingga sekarang.
“Waktu itu sempat mau ngajar lagi katanya. Saya juga sempat ketemu. Memang berbeda sih. Dulu biasa saja, paling jilbabnya saja panjang. Tapi pas ketemu di jalan itu dia sudah bercadar,” kata Aul.
Sebelumnya Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada mengaku pernah memberikan pilihan kepada seorang dosen perempuan terkait penggunaan cadar saat mengajar. Pilihan itu adalah sang dosen tetap bisa mengajar namun melepas cadar atau mengenakan cadar namun berhenti mengajar. Atas pilihan itu sang dosen mengambil opsi berhenti mengejar. “Pilihan dia mengundurkan diri, bukan saya pecat,” kata Dede kepada tirto di UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (1/8).
Dede tidak ingat persis kapan peristiwa itu terjadi. Namun ia ingat saat itu ada pihak dekanat yang melapor kepadanya tentang seorang dosen perempuan yang mengajar menggunakan cadar. Dari laporan itulah Dede kemudian memberikan dua opsi: bercadar atau berhenti mengajar.
Bagi Dede bercadar saat mengajar akan mengganggu pola komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Sebab mahasiswa tidak bisa melihat gerak bibir saat menyampaikan pelajaran. “Waktu itu saya hanya mengatakan bahwa pola komunikasi anda dengan mahasiswa terganggu,” ujar Dede seraya menolak jika dirinya dianggap memecat sang dosen.
Dari hasil penelusuran tirto, "M" merupakan dosen di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Dekan fakultas Arif Sumantri pun membenarkan hal ini. Menurutnya dosen perempuan berinisial “M” tersebut berhenti mengajar dengan alasan ingin fokus pendidikan dan mengembangkan rohani. “Itu bukan terkait cadarnya, tapi sudah lama mengundurukan dirinya sebelum ada kaitan dengan cadar,” katanya.
Pengamat Pendidikan Budi Trikoryanto menganggap kebijakan UIN Jakarta melalui kode etik tersebut berlebihan. Pasalnya, menurut Budi, cara berpakaian sudah lama merupakan ekspresi keimanan penganut agama. “Saya anggap hal tersebut berlebihan. Apalagi ini di UIN. Cara berpakaian sudah lama merupakan ekspresi keimanan penganut agama. Tidak boleh dilarang-larang sejauh tidak mengganggu orang lain,” kata Budi.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar