tirto.id - Mereka meluangkan waktu jauh hari. Fahira Humaira dari Bogor, Herlina Sari dari Serang, sementara Iis Isnaini dan Ida Mardiana Fitri dari Jakarta Pusat. Untuk ke Cibubur, lokasi pertemuan kami dengan Komunitas Muslimah Bercadar, mereka harus menempuh 30 – 100 kilometer, antara 1 hingga 2 jam. Mereka sengaja datang untuk menerima kedatangan saya.
Kami bikin janji di sebuah warung Sunda. Setiba di sana, saya diberi bingkisan kecil. “Untuk hadiah pertemanan,” ujar Fahira.
Komunitas itu dibentuk pada 20 Desember 2013, dan klaim mereka, kini memiliki sekitar 5.000 anggota di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk membantu para perempuan yang baru memutuskan memakai nikab, selain mengenalkan cadar kepada masyarakat luas.
“Supaya setidaknya, pemikiran orang bisa terbuka, cadar hanyalah kain hitam yang tak ada hubungannya dengan bom, atau aktivitas negatif lain,” kata Fahira.
Sebagian besar kegiatan komunitas ini bercorak agama dan sosial seperti pengajian dan menyantuni anak yatim, janda, dan kaum duafa. Saat pawai damai apa yang disebut “aksi bela Islam” pada 2 Desember tahun lalu, komunitas ini membuka dapur umum. Selain itu, mereka mengadakan jumpa darat empat bulan sekali sebagai ajang perkenalan satu sama lain.
Isna, salah satu penggiatnya, menjelaskan bahwa sifat komunitas ini “menghargai toleransi tinggi kepada sesama anggota sekalipun berbeda mazhab.” Malah, klaimnya, beberapa anggota yang berpikiran terlalu kaku disaring kembali di komunitas.
“Ada yang dikit-dikit bidah, gimana kita bisa toleran? Kasihan yang baru hijrah, tahu-tahu dicap dan malah jadi bingung. Kalau dia bilang rusuh dan enggak bisa toleran ke orang lain, kita remove,” katanya.
“Kan Islam mengajarkan cinta dan supaya kita saling memberikan hadiah, makanya kami tercipta karena itu.”
Prasangka acapkali mengecoh. Pandangan umum kerap menghakimi bahwa mereka yang mengenakan cadar cuma mengurusi pekerjaan domestik. Ini tidak berlaku bagi Lina, gadis bercadar yang masih rutin berlatih bela diri. Ia mengaku bekerja di satu perusahaan yang pemiliknya orang Tionghoa non-muslim.
Walau begitu, ia dan bosnya seringkali bertukar pikiran tentang agama dan tetap menghormati satu sama lain. “Dia selalu katakan kepada saya, ‘Indah ya orang Islam, bisa menutup aurat dan lelaki tak bisa menggodanya.’ Dan kami tak pernah bersitegang masalah agama,” ujar Lina tentang lingkungan kerjanya.
Fahira, yang mengelola bisnis di bidang networking, seringkali mesti bersentuhan dengan rekan kerja yang kebanyakan orang Tionghoa. Namun, itu tak membuatnya rikuh.
Fahira justru merasa dirinya punya nilai lebih justru karena ia bercadar, melakukan kerja di luar rumah, sembari mengurusi peran-peran sebagai istri dan ibu rumah tangga. Dengan begitu, menurutnya, batas antara agama dan diskriminasi terhadap perempuan bercadar dapat dilebur.
“Mereka akan lupa dengan cadar dan akan melihat value yang lain,” tuturnya.
Ia juga tidak memandang, pertama-tama, pada agama orang lain ketika ia menekuni studi, seperti saat ia belajar ke sejumlah universitas luar negeri via online maupun saat mendalami ilmu psikologi di salah satu kampus negeri.
“Ambil ilmunya, pisahkan agamanya,” sarannya.
Memang diskriminasi biasanya muncul dan kerap hadir di masa perdana mereka mengenakan cadar dan, dengan pakaian itu, mereka harus berinteraksi dengan lingkungan luar. Seringkali bahkan mereka harus meneguhkan diri ketika lingkungan keluarga juga menentang pilihan berpakaian mereka. Ini terjadi pada Lina, Isna, dan Fitri.
Fahira sendiri, dengan pengalaman berbeda, baru merasakan ada perlakuan bernada diskriminatif ketika ia kuliah sesudah menyelesaikan pendidikan di rumah. Namun, mungkin karena dorongan minoritas dalam berbusana di tengah komunitas kampus negeri, ia melompati pelbagai pandangan curiga itu dengan prestasi. Ia tak segan mengambil kesempatan lomba pidato dan sekarang ini ia rutin mengisi pelatihan bisnis.
"Cadar hanyalah kain hitam yang menutupi muka dan tak ada hubungannya dengan aktivitas negatif," ujarnya.
Pengalaman Memakai Nikab
Untuk mengalami bagaimana pandangan curiga secara berlebihan itu bekerja, saya melakukan eksperimen dengan memakai gamis, kerudung panjang, dan cadar.
Area publik pertama saya adalah sebuah bank. Saya berjalan dari pintu masuk menuju lantai dua, beberapa pasang mata menatap aneh kepada saya, menjelajahi pakaian saya (dan tubuh saya) dari atas ke bawah. Saya mengabaikannya, bergegas untuk melakukan setoran.
Di tempat loket, saya diterima seorang kasir yang melayani saya dengan ramah. Ia tidak menatap aneh seperti yang lain, dan dengan cepat menyelesaikan segala urusan. Usai tanda tangan bukti setoran, saya berjalan keluar sembari membalas senyuman satpam dengan anggukan kepala.
Tak ada hambatan besar selama perjalanan memakai motor, kecuali kekhawatiran ujung pakaian terjepit jeruji roda motor. Sekitar 20 menit kemudian, saya tiba di Stasiun Pondok Ranji untuk naik komuter ke arah Kebayoran.
Saya duduk di bangku tunggu selama sekitar 15 menit di stasiun. Ada seorang wanita yang melintasi dan menatap saya. Tatapan itu saya balas, dan ia segera membuang muka, meski sesekali sudut matanya ke arah saya.
Sekitar pukul 1 siang kereta pun tiba. Saya memasuki gerbong umum tetapi tak ada bangku kosong. Di depan saya ada pria yang lebih muda dari pria satunya, yang bersebelahan. Yang lebih muda tengah asyik membalas chat di ponselnya, sementara yang berumur tua hanya membolak-balik ponselnya dan terlihat gelisah. Di sebelah mereka ada wanita muda yang juga asyik memainkan gawai dan menutupi telinganya dengan earphone.
Di bangku belakang, ada dua ibu yang berbisik dan membalas anggukan satu sama lain. Ibu itu berkata, “Enggak takut jatuh, ya. Ribet gitu.”
Pria lebih tua di depan saya berdiri, dan seakan-akan memberi kesempatan saya untuk duduk. Saya membiarkan bangku itu kosong. Saya masih muda dari dia, pikir saya, dan saya akan turun di stasiun terdekat.
Saya agak bergeser untuk memberi ruang bagi siapapun yang berminat duduk di kursi depan saya. Tapi ternyata, sampai saya hampir turun, tak seorang pun yang duduk di sana. Padahal gerbong kereta cukup padat penumpang dan banyak yang harus berdiri.
Sampai ketika pelantang suara informasi berbunyi, “Sebentar lagi kereta Anda akan tiba di Stasiun Kebayoran” dan saya merapat ke pintu keluar, tiga orang datang dari arah berlawanan, berebut kursi hijau di depan saya.
Keluar stasiun, saya mencari angkot jurusan Ciputat - Kebayoran, melanjutkan perjalanan ke sebuah mal. Di dalam angkot hanya saya dan dua perempuan. Barulah saya merasakan gerah dengan busana saya, seakan terpanggang selama nyaris 30 menit.
Saya menuju mal itu, semuanya berjalan biasa saja, tetapi kemudian angin mendadak bertiup agak kencang dan bikin pakaian saya berkibar-kibar.
Di belakang, saya mendengar segerombolan anak muda tertawa cekikikan. “Wah, terbang nih bentar lagi,” salah satu dari mereka berkata.
Saya tersenyum kecut, tetapi saya terus melangkah ke salah satu restoran, tak sabar ingin menyantap sepotong pizza bertabur keju dan cacahan daging.
Lagi-lagi saya harus berurusan dengan segerombolan anak muda yang mungkin, dari cara mereka, hendak mengambil foto saya secara diam-diam yang tengah menyantap makanan Barat di sebuah mal. Bisa saja pikiran mereka: ada perempuan muslim, mengenakan cadar, tetapi makan di tempat kebarat-baratan, dan itu cukup bikin mereka bahagia dengan cara mengolah lelucon berbalut stereotip tersebut.
“Heh, jangan pakai blitz, nanti ketahuan!”
Lampu kamera ponsel yang mereka pakai rupanya lupa dimatikan. Saya mendengarnya, merasa geli, tapi pura-pura tidak tahu.
Saya memutuskan pulang setelah itu.
Di perjalanan menuju rumah, saya teringat obrolan dengan keempat penggiat Komunitas Muslimah Bercadar. Fahira mengatakan bahwa "maling juga ditutup kain hitam"—maksud dia, mestinya masyarakat umum tidak harus berpandangan penuh selidik terhadap orang yang mengenakan nikab. Pengalaman saya selama sehari memakai nikab ikut merasakan bagaimana tatapan curiga itu bekerja, dan perasaan risih terhadapnya.
"Kamu bisa tahu siapa sebenarnya mereka, bergaul dulu, jangan langsung berprasangka buruk," kata Fahira.
Di sebuah warung Sunda di Cibubur, pada Minggu siang, 15 Januari lalu, saya dan ketiga teman Fahira mengobrol dengan nyaman selama tiga jam. Ketika saya hendak pulang, Fahira minta akun Facebook saya sembari menyodorkan ponselnya.
“Wah main medsos juga?” tanya saya, masih heran.
“Saya ada Facebook, Instagram, BBM. LINE, Telegram, YouTube juga ada.”
Saya mengangguk sembari meraih ponselnya, menuliskan nama akun saya. Fahira dan teman-temannya mengakhiri perjumpaan itu dengan pelukan hangat, dan undangan untuk kembali bertemu.
“Jangan kapok, ya!” kata mereka.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam