tirto.id - Sejak kemarin malam, Ma'ruf Amin menyandang status sebagai calon wapres yang akan bersaing di Pilpres 2019. Maka dari itu beberapa pihak mendesak Ma'ruf menanggalkan jabatannya sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Ma’ruf menganggap dirinya bisa kembali lagi menjadi ketua MUI jika tak menang dalam persaingan Pilpres 2019. Sebab menurutnya tak ada aturan internal yang mengharuskan dia menanggalkan jabatan itu.
"Kalau sudah diangkat [wapres] saya harus mundur, kalau sekarang tidak harus mundur. Karena tidak harus mundur ya dijalani saja sampai nanti penetapan," ujar Ma'ruf di Kantor MUI, Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Tapi beberapa pihak justru berseberangan dengan Ma’ruf. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Didin Hafiduddin menegaskan, harusnya Ma'ruf mundur dari jabatannya sebagai ketua MUI ketika resmi ditetapkan KPU sebagai calon presiden dalam Pilpres 2019. Status Ma'ruf yang kini nonaktif sebagai ketua MUI, menurutnya belum cukup.
"Memang kalau aturannya nanti kalau sudah resmi [sebagai cawapres] mundur itu," ungkap Didin kepada reporter Tirto, Rabu (19/9/2018).
Alasannya menurut Didin, agar tak muncul konflik kepentingan. Untuk merundingkan terkait hal ini, akan dibahas dalam rapat rutin MUI yang digelar sebulan sekali.
"Kami pun dari dewan pertimbangan meminta supaya tidak membawa-bawa MUI ke dalam politik praktis. Jadi kami menunggu kesadaran beliau saja," ujarnya.
Sejumlah massa yang mengatasnamakan Koalisi Santri Pemuda Indonesia (KSPI), sudah jauh hari berdemonstrasi mendesak Ma'ruf melepas jabatan sebagai ketua MUI, pada Senin (13/8/18). Tujuannya agar MUI tak mudah disusupi agenda politik praktis.
"Jika tidak mundur, jelas Ma'ruf Amin rakus jabatan. Jika mencerminkan kedewasaan dan kebijaksanaannya, tidak akan ada namanya pijakan politik seperti ini. Jika Ma'ruf Amin tidak mundur, kami akan gempur kantor ini," kata Koordinator KSPI Ananda Imam di depan kantor MUI bulan lalu.
KSPI mendukung pelaksanaan pemilihan pemimpin baru MUI. Menurut Ananda, keberadaan Ma'ruf yang terang-terangan terjun ke ranah politik praktis mencederai posisi MUI yang tak tebang pilih melindungi kepentingan kelompok tertentu.
Senada dengan KSPI, Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto meminta agar Ma'ruf bergegas melepas jabatannya sebagai ketua MUI. Tujuannya agar lembaga keagamaan tersebut tak terseret ke pusaran politik praktis.
"Ketua umum MUI itu belum pernah terlibat dalam politik praktis atau politik secara langsung. Oleh karena itu kami minta atau kami sarankan ke Pak Kiai Ma'ruf Amin untuk melepaskan jabatannya," kata Yandri di Kediaman Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Rabu (19/9/2018).
Anggota komisi II DPR tersebut menilai, MUI harus terbebas dari dinamika berbagai permasalahan Pilpres 2019. "Biar Pak Maruf Amin konsentrasi maju sebagai cawapres, wara-wiri ke mana-mana untuk meyakinkan dia layak dipilih," tuturnya.
Copot Jabatan Rais Aam PBNU
Ketua DPP PBNU Robikin Emhas menerangkan, sehari usai ditetapkan sebagai cawapres 2019, Ma’ruf Amin akan melepas jabatan sebagai Rais Aam PBNU. Hal itu sesuai aturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PBNU.
“Akan ditentukan statusnya lolos sebagai cawapres atau tidak pada tanggal 20 September 2018,” kata Robikin kepada reporter Tirto.
Sehari usai ditetapkan sebagai cawapres, secara tidak langsung jabatan Rais Aam diserahkan kepada Miftahul Akhyar, Wakil Rais Aam PBNU. Setelahnya baru digelar rapat pleno untuk menentukan ketua Rais Aam pengganti Ma’ruf Amin.
“Sudah baku yang begitu jadi di NU sudah punya sistem," lanjut Robikin. "PBNU akan mengadakan rapat pleno tanggal 22 September 2018.”
Peneliti politik LIPI Wasisto Raharjo Jati menyarankan agar Ma’ruf Amin segera meletakkan posisi di PBNU maupun MUI. Ia khawatir komitmen netralitas kedua organisasi itu dipertanyakan karena pimpinannya terlibat politik praktis.
"Akan lebih bijak MA mundur karena menghormati prinsip NU dan juga menghindari sentimen politisasi agama oleh kubu Prabowo Sandi," kata Wasisto saat dihubungi reporter Tirto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dieqy Hasbi Widhana