Menuju konten utama

Lokataru Minta Jokowi Perhatikan 3 Masalah Kinerja Polri Era Tito

Lokataru meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian terhadap masalah kinerja Polri yang terkait dengan penegakan hukum, menjamin kebebasan sipil dan kekerasan terhadap warga. 

Lokataru Minta Jokowi Perhatikan 3 Masalah Kinerja Polri Era Tito
Kantor Lokataru, Rawamangun, Jakarta Timur. tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Lokataru Foundation menyampaikan catatan kritis terhadap kinerja Polri selama tahun 2016-2019 atau di periode kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian. Catatan itu disampaikan untuk menyambut HUT Bhayangkara ke-73 yang diperingati pada 1 Juli 2019.

Peneliti Lokataru Foundation, Anis Fuadah menyatakan lembaganya menyoroti kinerja Polri selama 2016-2019 yang berhubungan dengan tiga hal.

“Yaitu penanganan kasus pelanggaran hukum, penetapan kebijakan yang berpotensi mengancam kebebasan sipil, serta keterlibatan [polisi] dalam aksi-aksi kekerasan terhadap warga,” kata Anis dalam konferensi pers di kantor Lokataru, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Dalam penanganan kasus pelanggaran hukum, Lokataru mencatat ada 790 peristiwa kekerasan oleh polisi selama periode Juni 2016-Mei 2017. Jumlah itu melonjak dibandingkan periode 2015-2016. Ratusan peristiwa kekerasan itu menyebabkan 1.096 orang terluka, 268 orang meninggal dunia, 2.255 ditahan, dan 95 orang mengalami tindakan lain.

Lokataru juga menyoroti insiden 182 extrajudicial killing akibat operasi penegakan hukum jelang Asian Games 2018 digelar. Tercatat ada 236 korban tembak di tempat dan 73 kasus penyiksaan yang diterapkan saat investigasi atau ketika hukuman berjalan.

Untuk konteks penegakan hukum, Lokataru juga menilai kasus Novel Baswedan merupakan contoh penanganan tindak pidana di kepolisian yang tidak efisien.

Sementara terkait kebijakan yang mengancam kebebasan sipil, Lokataru mempersoalkan patroli siber oleh Polri yang merambah grup Whatsapp. Anis mengatakan Lokataru menilai patroli siber melanggar HAM dan privasi warga.

Sementara hak privasi warga sudah diatur dalam Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945 dan pasal 14 ayat 1 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Lokataru juga mengkritik langkah kepolisian membubarkan acara di LBH Jakarta saat membahas pengungkapan sejarah tahun 1965-1966.

Anis menambahkan Lokataru juga mempersoalkan penangkapan sejumlah orang dengan tuduhan makar, seperti Kivlan Zen, Mustofa Nahrawardaya, Soenarko dan lainnya. Dalam catatan Lokataru, selama sebulan terakhir, 25 pendukung Prabowo-Sandi menjadi tersangka. Kasus-kasus itu dinilai berpotensi menjadi kriminalisasi terhadap mereka yang mengkritik kebijakan negara.

Soal kekerasan yang melibatkan polisi, Lokataru menyoroti keterkaitannya dengan banyak konflik agraria. Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 659 konflik agraria pada 2017, 28 di antaranya melibatkan aparat kepolisian.

Masih menurut data KPA, pada 2017, Lokataru mencatat 369 korban dikriminalisasi, 224 dianiaya, 6 tertembak, dan 3 tewas karena konflik agraria. Sementara pada 2018, 132 orang dianiaya, 216 ditahan, 6 tertembak dan 10 tewas akibat konflik agraria. Dari data itu, penangkapan tanpa prosedur maupun kekerasan dilakukan oleh polisi, masing-masing 21 kali pada 2017 dan 2018.

Lokataru mendesak Presiden Joko Widodo memberikan atensi terhadap temuan itu dan mendorong kepolisian bersikap profesional dalam setiap proses penegakan hukum.

“Lokataru mengingatkan Presiden, meski UU Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan Kapolri diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada presiden, tetapi peran dan fungsinya ditujukan kepada masyarakat dalam hal penegakan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan,” kata Anis.

Anis menambahkan upaya "menyeret" Polri ke pusaran pertarungan politik, yang dinilai sudah kasat mata oleh sejumlah pihak, harus segera diakhiri.

“Karena berpotensi merusak profesionalitas Polri," kata dia.

Baca juga artikel terkait HUT BHAYANGKARA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom