Menuju konten utama

HUT Bhayangkara, KontraS: Evaluasi Internal Polri Belum Maksimal

Yati menegaskan, sejak Juni 2018-Mei 2019, pelaku kekerasan dari pihak kepolisian mencapai ratusan orang.

HUT Bhayangkara, KontraS: Evaluasi Internal Polri Belum Maksimal
Pasukan gabungan yang terdiri TNI-Polri telah bersiaga di depan pintu gerbang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019). tirto.id/Bayu septianto

tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menegaskan, sampai saat ini, masih ada banyak tindak penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan polisi.

Hal itu disampaikan KontraS guna menanggapi peringatan ulang tahun ke-73 Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli 2019.

Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan, salah satu penyebabnya adalah mekanisme evaluasi internal yang tidak berjalan maksimal, tepatnya pada bagian Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) dan Propam (Profesi dan pengamanan).

"Kinerja pengawas kepolisian di tingkat kepolisian di tingkat internal seperti Irwasum maupun Propam dalam menindak anggota yang melakukan tidaklah cukup dalam melakukan pengawasan dan penindakan," kata Yati di kantor KontraS, Kramat, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019).

Yati menegaskan, sejak Juni 2018-Mei 2019, pelaku kekerasan dari pihak kepolisian mencapai ratusan orang. Di tingkat Polres ada 406 pelaku, Polsek 115 pelaku, dan Polda sebanyak 108 pelaku.

Peristiwa paling banyak tersebar di daerah Jawa Timur (44 peristiwa), Sumatra Utara (42 peristiwa), Sumatra Selatan (38 peristiwa), Sulawesi Selatan (38 peristiwa), Jawa Barat (34 peristiwa) dan Papua (29 peristiwa).

Menurut Yati, kekerasan yang terjadi berupa penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan dan pembubaran paksa. Parahnya lagi, kata dia, peristiwa itu terjadi paling banyak di Polda tingkat A yang sudah diawasi oleh Inspektur Jenderal Polisi.

"Hal ini menjadi ironi, sebab daerah dominan terjadinya pelaku kekerasan di tingkat Polres terjadi di daerah-daerah dengan Polda Tipe-A yang memiliki jumlah personel lebih banyak dan pengawasan yang ekstra, baik terhadap warga yang melakukan pelanggaran maupun anggota kepolisian," kata Yati lagi.

Ia juga menyayangkan mekanisme pengawasan eksternal yang tidak maksimal. Misalnya, peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang minim dalam mendorong reformasi kepolisian.

"Kompolnas juga tak cukup aktif merespons peristiwa-peristiwa penting yang sebenarnya dapat menjadi titik tolak untuk mendorong reformasi Polri," tegasnya lagi.

Baca juga artikel terkait HUT BHAYANGKARA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto