tirto.id - Lois Owien ditetapkan sebagai tersangka karena pernyataannya terkait COVID-19 dianggap hoaks. Lois adalah dokter yang surat tanda registrasinya sudah tak berlaku sejak 2017 dan mendadak viral lantaran menyangkal adanya Corona. Menurutnya kematian selama pandemi disebabkan oleh interaksi obat dalam penanganan pasien, bukan akibat virus SARS-CoV-2.
Pengakuan tersebut ia dilontarkan melalui akun Twitter @LsOwien, lantas disebarkan pengikutnya. “Interaksi antarobat. Kalau buka data di rumah sakit, itu pemberian obatnya lebih dari enam macam," ucap Lois kala menjawab penyebab kematian akibat COVID-19.
Dalam pemeriksaan oleh kepolisian, Lois mengakui opininya perihal pandemi COVID-19. Lois adalah orang yang mengklaim tidak mempercayai virus Corona, bahkan omongannya tidak berdasarkan riset keilmuan.
“Segala opini terduga [Lois] terkait COVID-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset. Ada asumsi yang ia bangun, seperti kematian karena COVID-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien,” kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Slamet Uliandi, Selasa (13/7/2021).
Sementara, perihal pendapatnya tidak percaya COVID-19, serta penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi COVID-19, merupakan asumsi cum tanpa riset. Lois mengakui buah pikiran yang ia publikasikan di media sosial, membutuhkan penjelasan medis, tapi hal itu menjadi bias karena di dunia maya hanyalah debat kusir.
Terakhir, soal pernyataannya selaku ‘orang yang memiliki gelar dan berprofesi sebagai dokter,’ tidak memiliki pembenaran otoritas kedokteran. Lois mengakui bahwa perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara kode etik profesi. Alasan ia mengunggah pernyataan yaitu sebagai tindakan komunikasi untuk memengaruhi opini publik.
Slamet melanjutkan, penyidik telah menyimpulkan hasil pemeriksaan Lois yakni yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti.
“Yang bersangkutan (Lois) menyanggupi tidak akan melarikan diri. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, hal ini juga sesuai dengan konsep Polri menuju presisi yang berkeadilan,” kata Slamet.
Lois dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan Undang Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Menurut Slamet, pemenjaraan dokter yang beropini, diharapkan tidak menambah persoalan bangsa dan menyelesaikan perkara Lois dengan cara keadilan restoratif.
“Kami melihat bahwa pemenjaraan bukan upaya satu-satunya, melainkan upaya terakhir dalam penegakan hukum atau ultimum remedium. Sehingga Polri dalam hal ini mengedepankan upaya preventif agar perbuatan seperti ini tidak diikuti oleh pihak lain,” kata dia. Penanganan kepolisian terkait kasus Lois kali ini berbeda.
Pada Maret 2020, Polda Metro Jaya juga menangkap empat terduga penyebaran berita hoaks. Tentu informasi tidak benar itu dapat melahirkan keonaran publik. Informasi yang disebarkan para tersangka seperti isolasi sementara di kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur; akses jalan tol mengarah ke Jakarta yang ditutup, video korban COVID-19 di perbelanjaan Cempaka Mas, Jakarta Pusat; dan video perihal virus Corona yang telah masuk ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Para pelaku dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 45A ayat (1) dan/atau Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1) dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang lnformasi dan Transaksi Elektronik. Mereka terancam hingga 6 tahun kurungan.
Penyelesaian Perkara Hoaks Corona
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 3.785 pengajuan ‘takedown sebaran hoaks COVID-19 di media sosial’, periode 23 Januari 2020-13 Juli 2021. Facebook menjadi basis penyebaran hoask terbanyak dengan 3.163 perkara, disusul Twitter (547 perkara), Youtube (49), dan Instagram (26).
Lantas, pada 18 April 2020, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 akan memberikan sanksi tegas bagi penyebar kabar bohong terkait Corona, bahkan terancam denda hingga Rp1 miliar. Sanksi itu tercantum dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE.
“Tindakan memproduksi maupun meneruskan hoaks adalah tindakan melanggar hukum. Itu berpotensi dikenakan pasal pidana yang bisa 5-6 enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar,” ujar Menkominfo Johnny G Plate.
Namun, 15 bulan setelah omongan Johnny, hal tersebut tak berlaku kepada Lois.
Pengajar Hukum Acara Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat perbuatan Lois belum memenuhi unsur pidana. “Menurut saya, belum memenuhi unsur pidana. Karena tidak boleh orang dipidana karena perbedaan pendapat, seharusnya diwadahi,” kata dia kepada Tirto, Selasa (13/7/2021).
Lois ia anggap punya dasar pendidikan dan pengetahuan kedokteran. “Kecuali Lois bukan dokter, baru bisa dituntut atau diproses pidana karena tidak punya otoritas,” kata Fickar.
Keadilan restoratif merupakan penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, mengedepankan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Meski mekanisme itu ada di kasus anak berhadapan dengan hukum atau perkara lalu lintas, tapi penerapannya dalam pidana umum pun mungkin saja. Asalkan, lanjut Fickar, “sepanjang korban bisa menerima.”
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang menerbitkan surat edaran ihwal proses hukum terhadap ITE. Orang nomor wahid di Bhayangkara itu memerintahkan jajarannya untuk mengutamakan pendekatan restoratif. Hal itu tertuang dalam Surat Telegram Nomor: ST/339/II/RES.1.1.1/2021 bertanggal 22 Februari 2021 perihal Pedoman Penanganan Tindak Pidana Siber Khususnya Ujaran Kebencian.
Kapolri juga menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/2/II/2021 bertanggal 19 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.
Poin 2 Surat Edaran menyebutkan bahwa kepolisian berkomitmen menegakkan hukum yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Dalam penegakan hukum tersebut Polri mengedepankan edukasi dan persuasif guna menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan, serta menjamin ruang digital Indonesia tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.
“Seharusnya kepolisian tidak sembarang menggunakan UU ITE untuk menjerat orang dengan tuduhan seperti ini. Mestinya kepolisian konsisten [menegakkan hukum] kepada orang lain juga seperti hal ini [Lois]” kata Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur, kepada reporter Tirto, Selasa (13/7/2021).
Bisa dibilang kali ini polisi ada benarnya juga sebab tidak sembarangan menjerat publik dengan UU ITE, ada ‘arah yang lebih baik dan tidak serampangan’, sambung Isnur. Namun, kata dia, hukum haram tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyatakan keadilan restoratif dilakukan apabila pihak yang berkonflik setuju menempuh upaya tersebut. Dus, perlu dicek kepada pelapor dan perlu dianalisis dampak atau akibat perbuatan tersangka.
“Sehingga tidak bisa jika keadilan restoratif dilakukan bukan berdasarkan kemauan kedua belah pihak,” ucap dia kepada reporter Tirto, Selasa (13/7).
Ihwal penahanan tersangka, hal tersebut adalah hak penyidik berdasarkan alasan subyektif dan obyektif berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP. Bila penyidik menganggap tersangka tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti dan/atau mengulangi lagi tindak pidana, maka hal tersebut adalah subjektivitas penyidik.
Poengky mengatakan, Kompolnas berharap proses penanganan perkara Lois ini diproses secara profesional dan mandiri, didukung dengan penyidikan berbasis ilmiah, agar hasilnya valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Saya melihat kasus masih ditangani, tapi tersangka tidak ditahan. Cuma untuk keadilan restoratif itu yang menjadi tanda tanya. Apakah disepakati juga oleh pelapor atau tidak? Jika pelapor tidak mau keadilan restoratif, ya, tidak boleh ‘dikesankan’ seolah kasus ini akan diselesaikan dengan keadilan restoratif,” tutur Poengky.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz