Menuju konten utama

Listrik EBT Belum Optimal, Mengapa Pemerintah Restui PLTN?

Pembangunan PLTN mendapatkan lampu hijau dari pemerintah, tapi sejumlah kalangan menganggap teknologi tersebut belum diperlukan lantaran EBT masih bisa dioptimalkan.

Listrik EBT Belum Optimal, Mengapa Pemerintah Restui PLTN?
Kepala Bidang Teknologi Energi Nuklir BATAN Djarot Sulistio Wisnubroto didampingi Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir BATAN Suryantoro mendengarkan penjelasan dari Kepala Bidang Fisika Teknologi Reaktor Syaiful Bakhri mengenai kerja alat Accoustic Emission atau alat monitoring pendeteksi peralatan nuklir lewat suara di Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (16/10/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

tirto.id - Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia mendapat lampu hijau usai Balitbang Kementerian ESDM merampungkan kajian atas pembangkit bertenaga thorium (PLTT) milik Thorcon International Pte Ltd.

Pembangkit tersebut dianggap memenuhi syarat regulasi dan keselamatan, antara lain Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 serta Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Thorium merupakan bahan bakar nuklir yang disebut lebih unggul ketimbang uranium. Sumber energi ini belum banyak dimanfaatkan namun beberapa kalangan menyebutnya sebagai "nuklir hijau".

Reaktor nuklir bertenaga thorium tidak pernah dapat meleleh. Hal ini karena thorium sedikit lebih ringan daripada uranium dan tidak fissile - artinya kita bisa menumpuknya dan tidak akan mengalami reaksi runway berantai. Sebaliknya, hanya perlu menyuntikkan energi ke dalam reaktor thorium agar menyala atau kick off.

Dengan investasi senilai 1,2 miliar dolar AS atau setara RP 17 triliun, pembangunan PLTT tersebut diproyeksikan bisa dimulai tahun 2023 dan dapat memasuki tahap uji coba tahun 2027.

Pembangkit yang dikembangkan ThorCon itu diperkirakan mampu menghasilkan biaya pokok produksi (BPP) di bawah angka nasional yaitu 7,7 sen dolar AS per KWh. Kini, ada tiga provinsi yang dianggap potensial untuk menbangun PLTT tersebut, yakni Kalimantan Barat, Bangka Belitung dan Riau.

“ThorCon International adalah perusahaan nuklir dari Amerika Serikat yang menyatakan minatnya secara serius kepada pemerintah RI untuk mengembangkan dan membangun PLTT tipe TMSR500 di Indonesia,” ucap Kepala Perwakilan ThorCon Internasional Bob S Effendi seperti dikutip dari Antara.

Tahun ini, dorongan untuk memanfaatkan teknologi nuklir sebagai pembangkit listrik memang santer terdengar terutama dari kompleks parlemen Senayan, Jakarta Selatan.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara komisi Komisi VII DPR dan Kementerian ESDM Juli lalu, misalnya, anggota dewan mendesak agar tenaga nuklir masuk dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RKUN) 2019-2028.

Anggota komisi VII fraksi Partai Nasdem, Kurtubi, menganggap pembangunan PLTN sangat mendesak untuk kebutuhan industri 10 tahun mendatang.

Selain efisien, pembangkit listrik rendah emisi itu juga diperlukan untuk mengatasi problem lingkungan yang muncul dari pembangkit bertenaga batu bara.

Dalam sidang tahunan MPR Agustus lalu Ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang bahkan mengklaim bahwa 87 persen masyarakat di Kalimantan Barat setuju PLTN dibangun di wilayah mereka.

Pemerintah Diminta Prioritaskan EBT

Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat, Anton P. Widjaya meminta pemerintah mengkaji kembali rencana PLTT yang menurutnya tak akan semurah dan seaman yang dibayangkan. Terlebih, Kalimantan masih rentan terhadap bencana banjir dan longsor.

Meski dinilai efisien, ongkos untuk mengelola limbah PLTN sebenenarnya tak murah. Bahkan untuk decommissioning atau pembongkaran dalam tahap menonaktifkan PLTNbisa lebih mahal dari biaya pembangunannya sendiri.

“PLTN bukan sebuah energi yang murah dan aman. Kebijakan energi yang menyejahterahkan bukan membangun PLTN, melainkan memanfaatkan seluruh sumber energi yang terbarukan,” ujar Anton dalam keterangan tertulis 16 Agustus 2019 lalu.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Dharma menilai masuknya ThorCon dapat menambal kekurangan kebutuhan energi nasional. Namun, menurutnya, PLTN seharusnya baru bisa setelah 2030.

Sebab, jika mengacu PP No. 79 tahun 2014, PLTN hanya bisa digunakan jika potensi dan kapasitas energi yang ada terutama Energi Baru Terbarukan (EBT) habis.

Ia mencontohkan, Indonesia memiliki potensi EBT 440 GW, tetapi kebutuhan listrik nasional secara umum baru menyentuh 60 GW (56,4 GW dalam RUPTL 2018-2019). Sumbangsih EBT sendiri baru 9,1 GW per 2017.

“Saya kira apa yang dituangkan dalam kebijakan energi nasional EBT prioritas ya itu mestinya dijalankan dulu,” ucap Surya kepada wartawan Rabu (25/9/2019) saat ditemui di Hotel Morrissey pekan lalu.

Menurut Surya, sulit untuk mengukur pengembalian modal maupun nilai investasi rata-rata pembangkit thorium lantaran belum ada negara yang menggunakan sumber energi tersebut.

Meski demikian, ia membenarkan bahwa teknologi PLTN saat ini memang masih lebih tinggi biayanya dari EBT. Terlebih, bahan bakar seperti thorium tak bisa didapat dengan mudah dan masih harus diimpor.

“Kalau PLTN ya lebih tinggi dari EBT. Walaupun orang bilang murah, angkanya gak pernah dirilis ayng bener. Kalau EBT energinya ada di situ, orang juga gak akan mempersoalkan harga kalau sudah massal,” tutur Surya.

Peneliti Australian National University (ANU) Arndt-Corden Department of Economics, Budy Resosudarmo mengatakan, pemerintah sebaiknya memprioritaskan EBT lantaran yang masih jauh dari target 23 persen dalam bauran kebijakan energi nasional di tahun 2025.

Budy juga menyarankan agar Indonesia mencontoh India dalam pengelolaan energi. Pada tahun 1985, bauran EBT negeri bollywood itu masih sama seperti Indonesia. Namun, pada 2017, setrum listrik tenaga sampahnya (satu dari sekian pembangkit EBT di India) sudah mencapai 51 GW.

“Itu dulu deh dikerjain. Itu bisa. Itu harus ada kemauan nasional dan perlu dipimpin orang nomor 1 di Indonesia,” terang Budy kepada Tirto pekan lalu.

Baca juga artikel terkait PLTN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana