tirto.id - 11 Mei kemarin, Guster Sihombing (24) sengaja memakai pakaian serba-hitam sebelum pergi ke kantor. Sepulang kerja, ia dan tiga orang kawan kantornya sudah bikin janji untuk turut hadir dalam aksi mendukung Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama di Tugu Proklamasi, Jakarta. Malam sebelumnya, Guster dapat pesan siar tentang aksi tersebut. Dalam pesan itu, para partisan diminta memakai pakaian serba-hitam, dan membawa lilin sebagai tanda simpati.
Aksi tersebut adalah salah satu reaksi yang muncul setelah dua hari sebelumnya, 9 Mei 2017, Ahok divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto. Mantan Gubernur Jakarta itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama.
Guster dan massa yang hadir dalam aksi itu merasa putusan pengadilan untuk Ahok tidak adil. Mereka yakin kalau tindakan Ahok di Pulau Seribu tempo hari bukan perlakuan menista agama. Sebagian lain heran karena hakim memvonis Ahok dengan pasal yang tidak dituntut jaksa. Sebagian lain bahkan menganggap Ahok korban pasal karet dan malpraktik hukum Indonesia.
“Aksi kemarin bukan cuma sekadar tentang Ahok,” ucap Guster. Baginya, ada penggerusan nilai-nilai keragaman Indonesia yang dipertontonkan pengadilan Indonesia lewat kasus Ahok. “Ahok cuma jadi momentum dari akumulasi (tindakan-tindakan) intoleransi selama ini,” tambahnya.
Di malam yang sama, di Medan, Laura Pangaribuan (22) juga bikin janji dengan kawan-kawannya untuk menghadiri aksi serupa. Sama seperti Guster, Laura juga dapat pesan siar tentang aksi mendukung Ahok. Ia juga sempat melihat selebaran aksi tersebut di Facebook. Seruannya sama: mengenakan pakaian hitam, membawa lilin, bahkan fotokopi KTP, sebagai tanda keseriusan mendukung Ahok dan menuntut kebebasannya.
Laura sebenarnya bukan orang yang senang mengikuti perkembangan politik Indonesia. Ia sebelumnya tak pernah turun ke jalan dan melakukan aksi. Tapi, menurutnya ketidakadilan pada Ahok perlu dibela dan disuarakan.
Laura sama sekali tak kenal Guster, namun ia juga merasakan hal yang sama: kasus Ahok bukanlah tindakan melecehkan agama. Menurut Laura, ada orang-orang yang jauh lebih frontal dari Ahok dalam melecehkan agama lain. “Bahkan dia jelas-jelas mengumbar hate speech—ujaran kebencian. Kita bisa lihat sendiri di video-video Youtube. Harusnya orang-orang begitu yang ditangkap. Orang-orang yang jelas menyebarkan perpecahan,” ungkap Laura.
Gerimis mengguyur Medan sejak aksi itu dimulai pukul setengah tujuh malam hingga pukul 10 malam. Bahkan sempat menderas di di tengah-tengah itu, tapi tak menyurutkan antusias demonstran. Laura dan kelompoknya bahkan turut menyumbang lilin untuk mereka yang tak membawa.
Dukungan pada Ahok ini, menariknya tidak hanya terjadi di satu-dua kota saja. Tak hanya Jakarta dan Medan, kota-kota besar lain di Indonesia juga menggelar aksi serupa. Bandung, Yogyakarta, Batam, Samarinda, Nias, Pekanbaru, Kupang, Denpasar, Sorong adalah kota-kota besar lain yang turut menyalakan lilin dan protes atas vonis Ahok. Mereka ingin menunjukkan kalau masyarakat Indonesia yang mendukung demokrasi dan menjunjung nilai keberagaman Indonesia masih ada.
Dukungan terhadap Ahok terus mengalir. Masa terus bertambah, lilin-lilin itu juga dinyalakan di luar negeri. Sekitar 2 ribu orang Indonesia di Taiwan juga menggelar aksi serupa. Warga Indonesia di Inggris, Belanda, Australia, Hong Kong dan sejumlah simpatisan lokal pun menyuarakan dukungan mereka.
Menurut Yohanes Sulaiman, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Achmad Yani, Bandung, tumbuhnya gerakan dukungan Ahok ini adalah sebuah tanda baik. Dalam opininya yang dimuat The New York Times, Yohanes menyebut dukungan-dukungan ini adalah simbol bahwa masyarakat Indonesia yang percaya demokrasi multikultural masih ada.
Hal itu jadi pesan penting karena citra Indonesia sebagai negeri intoleran meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Temuan Komnas HAM setidaknya menunjukkan kenaikan angka intoleransi di negeri ini terus naik setiap tahun. Kasus Ahok yang dimulai sejak September tahun lalu juga membuat aksi-aksi intoleran makin muncul ke permukaan. Akibatnya generasi muda bahkan juga terkena dampak memelihara sikap intoleran.
Dalam survei yang digelar Setara Institute pada 2015 tentang persepsi siswa di Jakarta dan Bandung terhadap toleransi, sebanyak 79,5% siswa tidak mempertimbangkan aspek agama dalam memilih teman sejawat. Media sosial juga dibanjiri pesan-pesan intoleran. Kasus Ahok juga membuat media internasional terus menyorot Indonesia. Ahok dijadikan simbol korban minoritas ganda di Indonesia: Kristen dan Cina.
Meski sebagian orang yang menganggap Ahok penista agama membela diri bahwa aksi tanggal-tanggal cantik tak ada kaitannya dengan agama sang mantan gubernur Jakarta itu, namun yang ditemukan Tirto di lapangan, politik identitas tetap diselipkan dalam ranah agama.
Semisal larangan memilih pemimpin beda agama dalam pengajian dan khotbah Jumat, atau seruan tentang larangan umat selain Islam membahas ayat Al-Quran; atau mengaitkan etnis Ahok sebagai sensitif anti-komunis yang masih jadi hantu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Richard Paddock dari The New York Times bahkan menyebut kekalahan Ahok dalam pemilu Gubernur Jakarta berbanding lurus dengan kekuatan Islamis.
Namun, lilin-lilin yang dibakar di sepenjuru Indonesia dan dunia membuktikan lain hal. Masyarakat yang selama ini diam dan cenderung tak menyuarakan pendapatnya mulai tergerak. Jumlah mereka rupanya tak sedikit dan tersebar di berbagai tempat.
“Normalnya aku biasanya jauh-jauh dari urusan politik, tapi tidak kali ini. Aku merasa harus menyuarakannya, dan aku memanggil mayoritas lain yang selama ini diam juga-(kawan-kawan) Muslim Moderat di penjuru Indonesia untuk turut vokal,” kata Daniel Ong, salah satu simpatisan aksi di Perth, Australia.
Hal yang sama juga diungkapkan Laura. “Aku biasanya juga enggak mau ikut-ikut politik, tapi kali ini enggak bisa didiamkan. Hukum Indonesia harus benar-benar adil,” ungkapnya. “Aksi (dukungan Ahok yang digelar banyak orang di banyak tempat) ini bukti pada pemerintah kalau masyarakat Indonesia bukan cuma satu kelompok. Indonesia itu demokrasi dan beragam. Itu yang harus dijunjung.”
Ia menambahkan, “Orang-orang kayak aku ikut ke jalan supaya pemerintah lebih berani. Ada, kok, orang-orang yang masih percaya demokrasi di Indonesia.”
Aspek emosi memang masih cukup kentara dalam aksi-aksi lilin untuk Ahok ini. Dan sesungguhnya membangunkan kepedulian secara spontan seperti dalam lilin Ahok ini tidak benar-benar baru. Cukup sering aksi-aksi solidaritas dalam isu-isu tertentu, dari pelemahan KPK hingga aksi-aksi solidaritas lain, mencuat ke permukaan.
Pertanyaannya apakah aksi-aksi lilin sebagai bentuk solidaritas untuk Ahok ini bisa tumbuh menjadi satu gerakan yang bernafas panjang, serta memiliki -- setidaknya-- agenda-agenda jangka pendek atau jangka menengah, misalnya dalam target politik menghapus pasal karet tentang penistaan agama? Pertanyaan inilah yang masih harus ditunggu jawabannya di waktu-waktu mendatang.
=======
Ralat (5 Juni, pukul 4:32): Dalam artikel yang dirilis kali perdana, 16 Mei, disebutkan 79,5% siswa mempertimbangkan aspek agama dalam memilih teman sejawat, mengutip survei Setara Institute mengenai persepsi siswa di Jakarta dan Bandung terhadap toleransi. Kutipan ini keliru. Kutipan yang betul: sebanyak 79,5% siswa tidak mempertimbangkan aspek agama dalam memilih teman sejawat. Tetapi ada 13,5% yang mempertimbangkan latar belakang agama teman.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS