Menuju konten utama

Bahaya Laten Pasal Karet

Belum lama pegiat masyarakat sipil mengusahakan agar pasal-pasal karet dihapuskan. Kini masyarakat sipil "menggoda” kepala negara menggunakan lagi pasal karet.

Bahaya Laten Pasal Karet
Yusniar dipenjara karena status Facebook-nya dianggap menghina pihak tertentu dengan jerat pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Doc Twitter

tirto.id - Ia hanya ibu rumah tangga biasa di Makasar. Ia senang berbagai cerita dan kabar melalui akun Facebook pribadinya. Hari-harinya berjalan biasa seperti ibu-ibu rumah tangga yang lain. Tapi, mendadak ia menjadi terkenal karena status yang ia unggah pada 14 Maret lalu.

Yusniar, 27 tahun, sedang merasak sebal yang sangat. Di statusnya, ia bercerita tentang rumah orangtuanya yang didatangi 100 orang lalu dirubuhkan atas perintah seorang anggota DPRD.

Singkat cerita, insiden pada 13 Maret itu berhasil dikendalikan petugas dari Polres Tamale yang datang ke lokasi. Biar pun begitu, beberapa sudut dinding dan atap rumah terlanjur rusak akibat dihantam balok dan linggis oleh massa.

Dalam bahasa Makasar Yusniar menulis, "Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga masalahnya. Anggota DPR t*lo, pengacara t*lo. Mau nabantu orang yang bersalah, nyata-nyatanya tanahnya ortuku pergiko ganggui Poeng.”

Tak dinyana, ada anggota DPRD yang tersinggung dengan status yang dituliskan Yusniar. Meskipun tak berteman di Facebook, Sudirman Sijaya merasa tersinggung. Ia pun melaporkan Yusniar ke kepolisian berdasar 27 ayat 3 UU ITE dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia resmi ditahan 24 Oktober lalu, dan disidangkan pertama kali 2 November kemarin.

Yusniar bukan lagi orang biasa. Ia dibicarakan oleh sejumlah kalangan. Ia kini ia masuk daftar korban pasal karet.

Yusniar tidak sendiri. Dikutip dari CNN, menurut data yang dikumpulkan LSM Southeast Asia Fredom of Expression Network (SafeNet) ada 69 kasus UU ITE dari tahun 2008 hingga 2014. Dengan wilayah cakupan penyebaran wilayah Aceh sampai Makassar.

Itu baru dari satu pasal karet. Pasal-pasal lentur itu bukan hanya perkara pencemaran nama baik. Pasal-pasal lentur itu bahkan sudah ekssis sejak republik ini lahir. Yang paling uzur adalah pasal karet tentang penghinaan kepala negara.

KUHP—yang diadopsi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang disusun pemerintah kolonial Hindia Belanda—memuat Buku II Kejahatan Bab II tentang Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Ini merupakan adaptasi dari peraturan pemerintah Belanda yang melarang warganya mencemooh Ratu mereka.

Tapi pasal karet satu ini sudah hilang. Diperjuangkan oleh para aktivis dan pegiat masyarakat sipil, dan tentu saja setelah memakan sejumlah korban, Mahkamah Konstitusi akhirnya menghapus pasal itu dalam KUHP pada 4 Desember 2006 lalu. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, dua orang aktivis yang justru sempat dijerat dalam bui oleh pasal karet satu ini.

Namun, pasal-pasal lentur terkait kepala negara kembali hangat diperbincangkan karena Jokowi mencoba menghidupkan kembali pasal ini dengan mengajukannya dalam revisi KUHP pada Agustus lalu. Sampai sekarang, RUU KUHP ini masih menggantung di DPR.

Situasi terakhir justru pengaktifan pasal-pasal karet banyak dianjurkan oleh masyarakat sipil sendiri. Kontestasi politik pasca Pilpres 2014 yang masih berlanjut dampaknya, membuat polarisasi kubu di wilayah massa masih berjalan. Serangan personal kepada tokoh-tokoh politik, terutama Jokowi sebagai presiden, terus berlanjut.

Terkait Aksi 4 November kemarin, kecaman-kecaman kepada Jokowi yang dilakukan secara verbal oleh banyak orang justru direspons dengan keras oleh para pendukung Jokowi. Banyak yang meminta agar orang-orang itu ditangkap oleh kepolisian karena dianggap telah menghina kepala negara.

Agak menyedihkan, memang. Belum terlalu lama pegiat masyarakat sipil mengusahakan agar pasal-pasal karet terkait penghinaan kepala negara, atau simbol-simbol negara, dihapuskan dari Undang-Undang karena dianggap represif dan kelewat lentur. Kini malah masyarakat sipil sendiri yang justru “menggoda” kepala negara untuk menghukum orang-orang dengan pasal karet itu.

Infografik bahaya laten pasal karet

Pasal karet lain yang sudah tiada tapi lumayan lama hidup di negeri ini adalah delik perbuatan tidak menyenangkan. Ia termaktub dalam Pasal 335 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 yang baru berhasil dihapus oleh MK, Januari 2014 lalu. Tentu sudah ada korban. Salah satunya, Oei Alimin Sukamto Wijaya, yang menjadi tersangka karena pasal karet ini. Ia pula yang mengajukan uji materi atas pasal ini sehingga dihapuskan oleh MK.

Dalam buku Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Profesor Universitas Indonesia Slamet Muljana menyebut pasal karet sebagai senjata politik warisan kolonial Belanda. Pasal-pasal multitafsir memang sengaja diciptakan untuk menjerat aktivis kemerdekaan Indonesia.

Di era ini, tak jarang pasal karet dikenakan sebagai senjata pamungkas untuk membungkam banyak orang. Salah satu pasal karet yang paling gampang menimbulkan gempar dan sukar melepaskan tersangkanya dari jeratan bui adalah pasal penistaan agama.

Kasus paling anyar menimpa Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta, yang maju kembali dalam Pilgub DKI 2017. Posisi Ahok yang awalnya unggul dalam banyak poling mulai tergerus karena isu ini. Terlepas dari kisah Ahok yang masih berjalan, pasal penistaan agama sendiri adalah salah satu pasal karet yang cukup tinggi penggunaannya di dunia menurut laporan Pew Research.

Di negara-negara mayoritas penduduk muslim, tak jarang pasal penistaan agama bahkan merenggut nyawa-nyawa tersangkanya. Misalnya, di Pakistan sejak 1987-2014, ada lebih 1.300 yang dituduh melakukan penistaan agama, dan lebih dari 60-nya telah dihukum mati. Untuk itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui penyidik khususnya bidang kebebasan agama atau kepercayaan menyerukan penghapusan undang-undang penistaan agama secara universal.

PBB menilai pasal-pasal demikian justru membatasi kebebasan menyatakan pendapat serta lebih parahnya, meningkatkan intoleransi terhadap agama-agama minoritas.

Pasal karet yang tak kalah mencengangkan ialah soal dukun santet. Sejak 1998 hingga 2016 di Indonesia, dari data yang dihimpun tim riset Tirto, ada lebih 150 orang yang dibunuh massa karena dituding dukun santet. Padahal tidak terlalu jelas bagaimana membuktikan seseorang memiliki kekuatan gaib. Pembuktiannya sulit, setidaknya sama sulitnya seperti membuktikan bahwa gaib itu nyata.

Hebatnya lagi, Indonesia dengan gagah berani memasukkan perkara gaib ini ke dalam RUU KUHAP yang sedang digodok. Sehingga menimbulkan kesan kalau negara memfasilitasi penghakiman yang dilakukan untuk mereka yang dianggap dukun santet.

Sejatinya, konstitusi diciptakan untuk membatasai kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti hak berkeyakinan, berpendapat, dan berserikat. Bukan malah menciptakan pasal-pasal karet yang siap menjepret siapa saja.

Ya, menjepret siapa saja. Namanya juga karet: lentur, dapat ditarik ke mana-mana. Kali ini si A yang mengusulkan si B dihukum dengan pasal karet, besok-besok siapa tahu si A pula yang kena jepret ketika situasi politik telah berubah dan rezim telah berganti.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS