Menuju konten utama

Leptospirosis: Penyakit Pasca-Banjir yang Sering Disepelekan

Penyakit kencing tikus bukan cuma menyasar daerah perdesaan saja, tapi akibat banjir dan tata kota buruk, penyakit ini juga menyerang wilayah urban.

Leptospirosis: Penyakit Pasca-Banjir yang Sering Disepelekan
Tikus tertangkap. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Anggap kencing tikus sebagai ancaman serius, tahun 2016, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) pernah menyerukan gerakan membasmi tikus.

Bulan Januari hingga Februari adalah puncak musim penghujan di tahun 2020. Selain banjir susulan, masyarakat perlu waspada terhadap risiko bencana lain, termasuk ancaman kesehatan saat dan pasca-banjir. Satu yang paling mematikan adalah leptospirosis.

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira di ginjal hewan (paling umum tikus). Leptospira bisa menyebar melalui kencing hewan di tanah maupun air, dan jamak dijumpai di negara-negara tropis-subtropis karena iklim panas-lembab di negara ini mendukung siklus hidup bakteri.

Sebuah studi berjudul "Leptospirosis in the Asia Pacific Region" (2009) membuktikan analisis ini. Mereka memuat data insiden tahunan mencapai 0,1-1 per 100 ribu di daerah beriklim sedang. Sementara di daerah tropis lembab angka kejadiannya menyentuh 10-100 per 100 ribu penduduk. Ketika mewabah, maka prevalensi penyakit ini naik menjadi 100 per 100 ribu jiwa.

“Risikonya makin tinggi pada saat curah hujan berlebih dan banjir,” demikian keterangan lain dari WHO.

Beberapa faktor risiko kasus leptospirosis terkait iklim (tropis), genangan air, sanitasi buruk, aktivitas rekreasi/okupasi, dan terakhir kedekatan hewan (mamalia) dengan populasi manusia. Peternak sapi, kambing, domba berisiko tinggi terinfeksi. Penyebaran bakteri bisa terjadi misalnya lewat aktivitas seperti memerah susu.

Penyakit yang lazim disebut kencing tikus ini bisa masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir, mata, hidung, kulit lecet, dan makanan. Tanda gejala penularannya dimulai dari mengigil, batuk, diare, sakit kepala mendadak, demam, nyeri otot, mata merah, dan kehilangan nafsu makan. Infeksi leptospira pada manusia paling parah bisa menyebabkan kematian.

Bukan Penyakit 'Orang Kampung'

Leptospirosis merupakan penyakit langganan yang terjadi setiap banjir datang. Bakteri ini menyebar lewat aliran air dan bisa menginfeksi manusia melalui kontak dengan air tercemar. Menurut data akumulatif Kemenkes sepanjang tahun 2018 hingga Januari 2019, terdapat 866 kasus dan 147 kematian yang ditemukan di delapan provinsi akibat leptospirosis.

Antaramerinci jumlah kasus per provinsi. Banten memiliki angka kejadian mencapai 104 kasus dengan 26 kematian. Sementara ibukota, Jakarta pada musim banjir tahun lalu melaporkan 11 kasus leptospirosis dengan dua kematian. Jawa Barat hanya melaporkan dua kasus tanpa ada kematian.

Angka laporan paling tinggi berasal dari Jawa Tengah dengan 427 kasus dan 89 kematian. Yogyakarta memiliki 186 kasus dan 16 kematian, Jawa Timur melaporkan 128 kasus dan 10 kematian. Lalu catatan terakhir berada di Kalimantan Utara dengan 3 kasus dan 2, serta 5 kasus dan 2 kematian di Maluku.

Kasus Leptospirosis paling banyak ditemukan di daerah-daerah yang rawan bencana banjir seperti di Kabupaten Demak, Klaten, Banyumas, Pati, dan Kota Semarang. Kabupaten Demak malah sudah dikenal sebagai area endemis leptospirosis dengan angka insiden mencapai 2,9 dari 100 ribu penduduk dan angka mortalitas mencapai 20 persen.

Studi yang dilakukan Universitas Diponegoro (2018) di Demak menyebut individu yang terinfeksi kebanyakan laki-laki (21-50 tahun). Mereka sebagian besar berprofesi sebagai petani, tinggal di daerah padat, dataran rendah, dengan curah hujan tinggi, dan mendapatkan infeksi lewat air.

“Kondisi lingkungan yang buruk diperparah dengan keberadaan tikus dan genangan air,” tulis peneliti.

Meski angka kejadian tertinggi berada di geografis perdesaan, akan tetapi penyakit ini juga tak luput menyerang wilayah urban. Apalagi perubahan lingkungan membikin banjir dan curah hujan semakin tinggi. Leptospira dapat bertahan di air hingga beberapa minggu, sementara di tanah, bakteri ini mampu hidup hingga 43 hari.

Di Jakarta leptospirosis banyak menyasar wilayah barat. Misalnya pada tahun 2014 terdapat 96 warga terinfeksi leptospira, sebanyak 59 kasus terjadi di Jakarta Barat. Lalu tahun depannya (2015) terdapat 25 kasus leptospirosis, 17 insiden masih berasal dari wilayah yang sama. Sementara pada tahun 2016, 19 kasus dari 40 insiden leptospirosis juga disumbang oleh Jakarta Barat.

Wilayah ini adalah area padat perkantoran yang memiliki jumlah titik banjir paling banyak di provinsi DKI Jakarta.

Bisa Membunuh tapi Disepelekan

Leptospira paling mudah berkembang di udara hangat dengan suhu sekitar 25 derajat celcius, dan tanah basah atau lembab dengan pH 6,2-8. Inilah alasan mengapa penyakit yang lazim disebut kencing tikus tersebut berpeluang seribu kali lebih besar terjadi di negara tropis, ketimbang sub tropis.

Leptospirosis termasuk jenis penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia, manusia ke manusia, tetapi tidak kembali dari manusia ke hewan. Di Indonesia penyakit ini selalu menjadi langganan ketika musim hujan tiba. Tapi para peneliti Leptospirosis di kawasan Asia Pasifik menyebut kasusnya selalu dianggap sepele.

Infografik Leptospirosis

Infografik Leptospirosis. tirto.id/Quita

Dokumentasi pada tahun 2001 menunjukkan dari 139 sampel serum manusia sebanyak 18,7 persen positif terinfeksi leptospira. Lalu paska banjir besar di Indonesia Januari 2002, leptospirosis sempat mewabah terutama di ibukota dan bagian lain Pulau Jawa. Sebanyak 12 persen dari 418 sampel dinyatakan positif terinfeksi bakteri.

“Pembawa bakteri paling tinggi terdeteksi pada hewan domestik seperti kucing, anjing dan ternak.”

Jumlah kasus infeksi leptospira pada manusia meningkat secara nasional sejak tahun 2006/2007. Dari 667 kasus di tahun 2007 sebanyak 93 persen dikonfirmasi terinfeksi leptospira. Kejadian luar biasa (KLB) Leptospirosis pernah diumumkan di Kabupaten Kota baru Kalimantan Selatan pada tahun 2014. Kementerian Kesehatan mencatat, selama 2014 terdapat 435 kasus dengan 62 kematian akibat penyakit leptospirosis.

Di Jakarta sebagai upaya mengurangi wabah, pada tahun 2016, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah membuat aturan khusus untuk mengurangi populasi tikus. Gubernur kala itu, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) mencanangkan Gerakan Basmi Tikus. Setiap satu tikus yang ditangkap di Jakarta dihargai Rp20 ribu.

Tikus yang ditangkap hidup-hidup dikumpulkan dalam satu bejana besar lalu dicampur bahan kimia khusus untuk diolah menjadi pupuk. Program tersebut dirancang untuk mengurangi ancaman leptospirosis di tahun 2017. Tak hanya Jakarta, Ponorogo, Jawa Timur juga membuat gerakan serupa bernama Gropyok.

Upaya meminimalisir penyebaran leptospira selama banjir bisa dilakukan dengan memakai sarung tangan dan sepatu karet tinggi. Jangan turun ke air jika terdapat luka di bagian tubuh. Kemudian jaga kebersihan dengan mencuci tangan serta bagian tubuh lain, simpan makanan dan minuman agar terhindar dari tikus. Terakhir, usai air surut, bersihkan bagian rumah dengan desinfektan.

Baca juga artikel terkait LEPTOSPIROSIS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf