tirto.id - Jepang menyongsong era baru. Kaisar Akihito yang telah duduk di Takhta Krisantemum selama hampir tiga dekade mengundurkan diri per 30 April 2019. Posisinya digantikan oleh Putra Mahkota Naruhito mulai 1 Mei 2019.
Naruhito adalah putra sulung pasangan Kaisar Akihito dan Ratu Michiko Shoda. Dua adik Naruhito adalah Pangeran Fumihito dan si bungsu Sayako Kuroda yang akrab dipanggil Putri Nori.
Kabar pengunduran diri Akihito mulai santer terdengar sejak 2016. Kondisi fisiknya yang menua membuatnya kewalahan mengikuti agenda kenegaraan. Itulah alasan mengapa Akihito memilih undur dan mengoper tongkat estafet kepada Naruhito. Kaisar Jepang yang terakhir kali turun takhta sebelum waktunya adalah Kaisar Kokaku. Ia turun takhta pada 1817 atau 202 tahun silam.
Selama menjabat sebagai kaisar, Akihito beberapa kali mendobrak pakem kerajaan. Pertama, ia menikahi seorang rakyat biasa bernama Michiko Shoda pada 10 April 1959. Kedua, menjelang Piala Dunia 2002, ia mengaku punya leluhur raja Korea.
Dua hal di atas adalah tabu dalam tradisi kekaisaran Jepang yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Pasalnya, semua putra mahkota kaisar menikahi trah dinasti kerajaan atau bangsawan. Tak pernah pula seorang kaisar mengklaim punya darah Korea dalam garis keturunannya. Terlebih lagi, Jepang menjajah Korea dari 1910 hingga 1945. Hingga kini, hubungan kedua negara tak begitu hangat.
Sang kaisar juga tertarik pada kehidupan di laut, terlebih soal ikan Gobi. Minat besarnya itu menghasilkan 27 makalah yang diterbitkan di Japanese Journal of Ichtiology. Semuanya tentang ikan Gobi. Nama Akihito bahkan diadopsi sebagai nama spesies dan genus ikan gobi, yaitu spesies Exyrias akihito dan Platygobiopsis Akihito, serta genus Akihito vanuatu dan Akihito futuna.
Namun ada hal lain yang bikin Akihito tampak paling berbeda. Ia sering minta maaf kepada negara-negara yang pernah diperangi Jepang saat Perang Dunia II.
Rajin Minta Maaf
Berakar dari kebudayaan Cina, Jepang adalah negara yang masih mempertahankan tradisi pemberian nama berbeda untuk tiap-tiap era kepemimpinan kaisar. Nama periode Akihito adalah era Heisei yang berarti “perdamaian berlaku di mana pun” atau “mencapai perdamaian”.
Hanya berselang dua tahun setelah diangkat menjadi kaisar, Akihito berkunjung ke Cina dan mengungkapkan penyesalan. Ia mengakui bahwa invasi Jepang ke Cina pada 1930-an telah menyengsarakan rakyat Cina. Diperkirakan 300.000 rakyat sipil dan tentara Cina yang menyerah dibunuh oleh Jepang. Banyak perempuan Cina yang diperkosa tentara Nippon.
Pengakuan dan penyesalan kembali dilakukan oleh Akihito pada Oktober 1996. Saat itu Akihito bertemu Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dalam sebuah jamuan makan malam. Sang kaisar mengakui bahwa penjajahan Jepang atas Semenanjung Korea (1910–1945) telah menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat Korea. "Kesedihan mendalam yang saya rasakan atas hal ini tidak akan pernah dilupakan". Semasa penjajahan itu, puluhan ribu sampai ratusan ribu wanita Korea dijadikan budak seks untuk melayani para tentara Jepang yang berada di seluruh wilayah kekaisaran matahari terbit.
Dalam peringatan 70 tahun kekalahan Jepang di Perang Dunia II pada 2015 lalu, Akihito kembali menyatakan penyesalan mendalam atas kelakuan negerinya selama perang dunia. Ia berharap kerusakan akibat perang tidak akan pernah terjadi lagi.
Akihito dan permaisurinya memang kerap melakukan perjalanan sebanyak mungkin ke tempat-tempat di mana Jepang bertempur selama Perang Dunia II. Tujuannya untuk mendoakan jiwa-jiwa yang terbunuh, tak cuma orang Jepang tapi juga pihak yang diperangi. Sang kaisar melakukan kegiatan tersebut atas kemauannya sendiri.
Namun, pemerintahan Jepang yang kini dipegang Perdana Menteri Shinzo Abe tak sepenuhnya nyaman dengan tindakan Akihito.
Pemerintahan Abe yang konservatif memang berupaya menegakkan kembali nilai-nilai nasionalisme dan memulihkan citra otoriter kekaisaran. Abe dan barisan pendukungnya tak setuju bila Jepang terlalu sering mengekspresikan rasa penyesalan atau bersalah atas masa lalunya yang brutal.
Abe bahkan pernah membuat marah para pemimpin Cina dan Korea Selatan. Saat itu, Desember 2013, Abe mengunjungi Kuil Yasukuni, sebuah situs kontroversial di mana para pemimpin Jepang dan para prajurit yang terindikasi melakukan kejahatan perang dimakamkan. Kaisar Hirohito berhenti mengunjungi kuil tersebut sejak 1970-an.
Saat perayaan 70 tahun kekalahan perang, Shinzo Abe memang menyatakan rasa penyesalan yang sama seperti apa yang dikatakan Akihito. Namun, ia menuai kecaman karena selanjutnya menyatakan bahwa generasi muda Jepang tak boleh terus-terusan meminta maaf karena mereka dianggap tak punya hubungan dengan era peperangan.
Lantas apa yang membikin Akihito harus bersusah payah melakukan permintaan maaf?
Akihito diangkat menjadi kaisar pada 12 November 1990. Ia menggantikan ayahnya, Hirohito yang meninggal pada 7 Januari 1989. Ia menjadi kaisar di saat dinasti kekaisaran Jepang berada dalam masa krisis. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, kaisar Jepang tak lagi dianggap sebagai sosok dewa yang diagung-agungkan rakyatnya. Hirohito mulai melirik sistem monarki konstitusional ala Eropa.
Guru privat Akihito saat kecil adalah Elizabeth Gray-Vining, seorang penulis buku kanak-kanak asal Amerika Serikat yang memang khusus didatangkan oleh Hirohito. Selain mengajari berbagai pelajaran, Vining tampaknya juga menanamkan pemahaman pemerintahan monarki konstitusional ala Barat.
Osamu Watanabe, peneliti konstitusi dan profesor kehormatan di Universitas Hitotsubashi, menilai kegiatan Akihito mengunjungi banyak situs perang dan meminta maaf atas kejahatan perang Jepang sebagai sesuatu yang politis.
Dilansir dari Japan Times, Watanabe menyebut bahwa kolonialisme Jepang dan agresi militer selama era Showa (Kaisar Hirohito) memang dilakukan atas nama Kaisar. Itulah sebabnya Konstitusi Jepang pasca-Perang Dunia II melucuti semua kekuatan politik yang melekat pada diri kaisar. Seorang kaisar hanya dipandang sebagai simbol negara dan persatuan rakyat Jepang.
Tiap kali melawat ke luar negeri, Akihito tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk meminta maaf atas segala kebijakan perang yang digulirkan ayahnya. Meski masih banyak dosa kejahatan perang yang harus dipertanggungjawabkan Jepang, tindakan Akihito sebagai raja memang patut diapresiasi.
Editor: Windu Jusuf