Menuju konten utama

Akihito, Kaisar Jepang Nyeleneh yang Cinta Sains dan Ikan Gobi

Selain dikenal sebagai Kaisar Jepang, Akihito juga peneliti biologi kelautan yang menekuni ikan gobi.

Akihito, Kaisar Jepang Nyeleneh yang Cinta Sains dan Ikan Gobi
Akihito dan Ikan Gobi. tirto.id/Fiz

tirto.id - Ada tiga hal dalam hidup Akihito, kaisar Jepang saat ini, yang membuat dirinya dipandang sebagai kaisar Jepang paling nyeleneh. Ketiganya berkaitan dengan takhta dan wanita.

Berdasarkan tradisi Jepang, Akihito merupakan keturunan langsung ke-125 dari Jimmu, kaisar pertama Jepang. Selama ribuan tahun eksistensi Kekaisaran Jepang, semua putra mahkota kaisar menikahi trah dinasti kerajaan atau bangsawan. Tetapi, Akihito menyempal dari tradisi tersebut. Pada usia 25, putra mahkota Kaisar Hirohito itu menikahi Michiko Shoda, putri seorang pebisnis penggilingan tepung. Akihito bertemu dengan Michiko di lapangan tenis Karuizawa. Di situ, sang pangeran kalah dari Michiko dalam pertandingan tenis nomor ganda. Itulah kenyelenehan pertama Akihito.

Selama Kekaisaran Jepang berdiri, tidak pernah pula seorang kaisar mengatakan ada kontribusi orang Korea dalam garis keturunannya. Jepang menjajah Korea dari 1910 hingga 1945. Ada kecenderungan elite politik dan keluarga kekaisaran Jepang menolak mengakui ada darah Korea mengalir dalam nadi kaisar mereka, meski sejumlah makalah ilmiah telah menyimpulkan kemungkinan itu. Akihito, yang menjadi Kaisar Jepang sejak 1989, menunjukkan kenyelenehan berikutnya: ia mengakui ada darah Korea mengalir dalam tubuhnya.

"Saya, dalam bagian saya, merasakan kekerabatan tertentu dengan Korea, mengingat itu tercatat dalam Kronik Jepang bahwa Kaisar Kammu adalah keturunan Raja Muryong dari Paekche," kata Akihito saat merayakan ulang tahun ke-68.

Kaisar Kammu berkuasa atas Jepang dari 781 hingga 806, sedangkan Muryong memerintah Kerajaan Paekche di Korea pada 501-523.

Pernyataan Akihito itu muncul jelang Piala Dunia 2002 yang dihelat Jepang dan Korea Selatan secara bersama-sama. Guardianmencatat hanya Ashahi Simbun, salah satu koran terbesar Jepang, yang memuat pernyataan Akihito secara rinci. Koran Jepang lainnya hanya memuat soal darah Korea dalam garis keturunan kaisar sekelebat saja. Sedangkan koran-koran di Korea Selatan membuatnya menjadi headline berita.

Pada Agustus tahun lalu, pria kelahiran 1933 itu menunjukkan kenyelenehan ketiga. Ia mengumumkan bahwa dirinya hendak pensiun sebagai kaisar. Tanggalnya pun sudah ditetapkan, yaitu pada 30 April 2019.

Katanya, dia sudah berusia 80 dan kebugarannya semakin menurun. Akihito khawatir mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas sebagai simbol negara.

Dengan begitu, Akihito adalah kaisar Jepang pertama yang menyatakan ingin pensiun. Dan jika kelak benar-benar mengundurkan diri, ia akan menjadi kaisar Jepang kedua yang mundur dari takhta setelah Kaisar Kokaku pada 1817.

Ketika Putra Mahkota Diajar Guru dari Amerika

Sangat sopan, agak canggung, dan kurang inisiatif. Begitu Elizabeth Gray Vining mengingat sosok Akihito muda dalam memoarnya, Windows for the Crown Prince (1952). Menurutnya, sang pangeran bertabiat seperti itu karena lingkungan pergaulannya.

"Saya pikir dia menjalani kehidupan yang sangat membosankan dan terbatas. Saya ingin membebaskannya, memberinya kesempatan untuk mengembangkan rasa antusias dan minat," ujar Vining

Vining ialah salah satu orang dekat Kekaisaran Jepang. Economist melansir bahwa setahun setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Kaisar Hirohito memintanya datang ke Jepang untuk menjadi guru bagi Akihito yang saat itu berusia 12.

Di tempat asalnya, Philadelphia, Amerika Serikat (AS), Vining bekerja sebagai pustakawan dan penulis buku anak-anak. Perempuan itu juga seorang Quaker, sebutan bagi anggota Religious Society of Friends di Amerika Serikat, perkumpulan umat Kristen yang didirikan Geoge Fox pada abad ke-17.

Dalam memoarnya, Vining mengatakan Kaisar Hirohito sendiri yang punya gagasan bahwa seorang guru asal AS mesti dibawa ke dalam lingkaran istana Kekaisaran Jepang. Selain mengajar Bahasa Inggris dan cara-cara hidup orang AS kepada Akihito, Vining juga mengampu kelas Bahasa Inggris di Gakushūin—sekolah khusus bagi keluarga kaisar dan bangsawan Jepang—serta menjadi guru Bahasa Inggris bagi adik-adik Akihito dan dua saudara laki-laki Hirohito.

Meskipun pada awalnya Vining melihat Akihito tidak menunjukkan gelagat ketertarikan pada suatu hal, seiring waktu, kegairahan Akihito dalam belajar tumbuh. Sama dengan ayahnya, Akihito tertarik dengan kehidupan di laut. Ketertarikan itu berujung keseriusan Akihito menekuni riset biologi kelautan.

Akihito si Peneliti Ikan Gobi

Akihito menulis 27 makalah di Japanese Journal of Ichtiology. Makalah paling awal yang dipublikasikan Akihito di jurnal yang khusus membahas soal ikan itu berjudul "On the Scapula of Gobiid Fishes" (1963). Hingga diangkat sebagai kaisar pada 1989, hampir setiap tahun dia memublikasikan makalah di jurnal tersebut. Total makalahnya sampai saat itu sebanyak 26. Semuanya membahas soal ikan gobi.

Menurut data yang dihimpun Scopus, Akihito memublikasikan 5 makalah sejak 1989 hingga sekarang. Makalah terakhirnya berjudul "Speciation of two gobioid species, Pterogobius elapoides and Pterogobius zonoleucus revealed by multi-locus nuclear and mitochondrial DNA analyses" terbit pada 2016 di jurnal Gene. Scopus mencatat hasil penelitian Akihito pada 1989-2016 disertai 110 penelitian lain.

Pada 1980, Akihito dipilih sebagai anggota luar negeri Linnean Society of London, perkumpulan yang fokus pada penyebaran informasi seputar sejarah ilmu pengetahuan alam, evolusi, dan taksonomi. Nama perkumpulan diilhami nama ilmuwan asal Swedia pencetus ilmu taksonomi makhluk hidup, Carl van Linne. Pada 2007, Akihito diminta berpidato untuk perkumpulan ini guna memperingati 300 tahun kelahiran Carl van Linne.

Dalam pidatonya, Akihito menceritakan proses berkembangnya biologi dan ilmu taksonomi di Jepang serta pengalamannya meneliti ikan gobi. Dia mengatakan buku Fish Morphology and Hierarchy (1955) yang ditulis Matsubara Kiyomatsu sering dijadikan rujukan olehnya saat memulai penelitian soal ikan gobi.

Dia juga mengatakan ada dua buku yang menarik minatnya untuk meneliti ikan gobi: The Osteology and Relationships of Certain Gobioid Fishes, with Particular Reference to the Genera Kraemeria and Microdesmus (1955) yang ditulis William Gosline dan sebuah disertasi berjudul Studies of the Gobioid Fishes in Japanese Waters yang ditulis Takagi Kazunori.

Infografik Akihito dan Ikan Gobi

Masih dalam pidatonya di Linnean Society of London, Akihito mengatakan tidak ada seorang pun di Jepang pada 1960-an yang mengklasifikasikan ikan gobi berdasarkan susunan sensor papila hingga dia memublikasikan makalah yang membahas klasifikasi empat spesies ikan gobi bergenus Eleotris berdasarkan sensor itu pada 1967.

"Tampaknya ada beberapa orang yang telah meragukan klasifikasi saya. Namun, susunan sensor papila sekarang menjadi faktor penting dalam mengklasifikasikan ikan gobi, dan saya bangga bahwa saya telah bisa membuat kontribusi dalam bidang ini," ujar Akihito.

Pada 1990-an, nama Akihito disematkan sebagai nama dua spesies ikan gobi, yakni Exyrias akihito and Platygobiopsis akihito. Yang terakhir merupakan spesies ikan gobi yang hidup di perairan Flores, Indonesia. Lalu pada 2007, nama Akihito dijadikan nama genus ikan gobi. Ada dua spesies termasuk dalam genus itu: Akihito vanuatu dan Akihito futuna.

The Biology of Gobies (2011) mencatat penelitian Akihito dan rekannya pada 2000 merupakan usaha pertama penelaahan kekerabatan ikan gobi berdasarkan urutan genetika. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dalam makalah berjudul "Evolutionary aspects of gobioid fishes based upon a phylogenetic analysis of mitochondrial cytochrome B genes".

"Pada tahun-tahun mendatang, saya pikir analisis DNA mitokondria akan membuka kemungkinan yang besar untuk mengungkap spesies-spesies baru [ikan gobi] yang tidak dapat dibedakan berdasarkan morfologi tetapi secara jelas dapat dibedakan di tingkat biologi molekuler," ujar Akihito dalam pidatonya di Linnean Society of London.

Baca juga artikel terkait KAISAR JEPANG atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan