tirto.id - Dari data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tahun 2018 terdapat 79 titik penggusuran yang menimpa 277 kepala keluarga.
"Penggusuran paksa terus terjadi karena hak asasi manusia warga tidak dijadikan instrumen dalam pembangunan oleh pemerintah. Logika pemerintah selama ini, siapa pun pemimpinnya relatif sama," kata Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta, kepada Tirto pada Kamis (3/1/2019).
Angka ini menurun dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 91 kasus. Namun, LBH Jakarta masih menemukan pola dan kualitas pelanggaran HAM yang sama dalam kasus penggusuran.
Dalam catatan selama Januari – September 2018, Jakarta Selatan menjadi kota administratif yang paling banyak melakukan penggusuran, yaitu sebanyak 23 titik penggusuran, disusul Jakarta Pusat dengan 22 titik penggusuran. Sedangkan untuk Jakarta Utara dan Jakarta Barat sebanyak 12 titik dan Jakarta Timur 10 titik penggusuran.
Jakarta Pusat menjadi kota administratif yang paling banyak melakukan penggusuran terhadap unit usaha yaitu sebanyak 19 titik penggusuran. Sedangkan Jakarta Selatan terdapat penggusuran terhadap hunian yaitu sebanyak 10 titik penggusuran.
Dari 79 titik penggusuran di DKI Jakarta, sebanyak 76 titik penggusuran dilakukan oleh Satpol PP dan sebanyak 21 titik menggunakan alat berat seperti excavator.
Pihak LBH Jakarta menilai intimidasi dan pelibatan aparat tidak berwenang saat penggusuran bertentangan dengan standar HAM yang mewajibkan warga terdampak untuk direlokasi terlebih dahulu sebelum penggusuran dilaksanakan.
Dengan melibatkan aparat tidak berwenang, negara juga melanggar hak warga atas rasa aman dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum terkait dengan penyelesaian sengketa tanah mereka dengan pelaku pembangunan.
"Membangun berarti mengorbankan rakyat kecil harus menggusur paksa tanpa musyawarah dan solusi, padahal tidak demikian semestinya," kata Arif.
Arif juga menjelaskan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warga yang seharusnya dengan aktif melindungi dan memenuhi hak atas tempat tinggal dan hak atas pekerjaan warga.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri