Menuju konten utama

Laki-laki Dianggap Penakut, Teroris Rekrut Perempuan

Perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme merupakan hal baru di Indonesia. Perekrutan perempuan, menurut Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, disebabkan karena laki-laki banyak yang tidak berani melakukan "jihad".

Laki-laki Dianggap Penakut, Teroris Rekrut Perempuan
Tim Densus 88 dan Ditreskrimum Polda Jabar menggiring dua wanita yang diduga istri terduga teroris Soleh alias Abu Gugun alias Abu Fursan saat melakukan penggeledahan di kawasan Jamika, Bandung, Jawa Barat, Senin (13/3). Dari hasil penggeledahan tersebut kepolisian berhasil mangamankan sejumlah buku, senapan angin dan dua orang wanita yang terkait terduga teroris jaringan bom panci beberapa waktu lalu di Bandung. ANTARA FOTO/Novrian Arbi.

tirto.id - Keterlibatan perempuan dalam terorisme merupakan hal baru di Tanah Air. Bahrun Naim, pemimpin militan ISIS di Indonesia menjadi pelopor perekrutan perempuan sebagai bagian dari terorisme. Hal ini disampaikan oleh Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin dalam acara bertajuk Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media, di Jakarta, Jumat (7/4/2017).

"Perempuan terlibat teror ini baru," kata Solahudin, seperti diberitakan Antara.

Komentarnya tersebut merujuk pada keterlibatan Dian Yulia Novi (DYN) dan Ika Puspitasari (IP) yang merupakan jaringan teroris Bekasi, Jawa Barat, dengan pimpinan selnya, M. Nur Solihin (MNS). Mereka ditangkap pada Desember 2016.

Solahudin menambahkan, hal ini tidak jauh dari keterlibatan pimpinan ISIS di Indonesia, Bahrun Naim yang pernah mengajak perempuan untuk melakukan aksi "jihad" karena tidak banyak laki-laki yang mau.

"Bahrun bilang kalau di Suriah aksi amaliyah tidak wajib dilakukan oleh perempuan. Tapi di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-lakinya pada pengecut. Itu dalam percakapan Telegram pada Juni 2016," katanya merujuk pada informasi dan riset yang dilakukannya.

Masih menurut Solahudin, sel-sel organisasi yang terlibat aksi terorisme di Indonesia menyebarkan pahamnya dengan menanamkan doktrin bahwa sekarang dunia sudah memasuki era akhir zaman. Kepada para calon pelaku teror mereka meyakinkan bahwa di akhir zaman manusia terbagi menjadi dua kelompok yang saling berlawanan, kelompok baik, pengikut Imam Mahdi, dan kelompok jahat, pengikut Dajjal.

"Sudah lama para jihadis percaya saat ini adalah akhir zaman. Pandangan tentang akhir zaman ini dicampur dengan paham takfiri," kata Solahudin.

Orang-orang yang direkrut menjadi calon pelaku teror, ia menambahkan, dibuat percaya bahwa Suriah adalah tempat yang diberkati pada akhir zaman. Selain itu dikatakan bahwa di akhir zaman akan berdiri khilafah yang diklaim sebagai khilafah minhaju alal nubuwah.

Doktrin itulah yang menurut Solahudin ditanamkan para pengikut ISIS ke anggota baru yang direkrut di Indonesia. Ia memperkirakan gerakan bawah tanah terorisme di Indonesia masih terus berjalan dan itu dilakukan secara individu.

Sementara, perempuan yang direkrut untuk menjadi bagian dari terorisme disebut dengan “pengantin” bom bunuh diri, seperti Dian Yulia Novi (DYN) alias Ayatul Nissa Binti Asnawi merupakan mantan TKW di Taiwan yang kemudian pulang ke Indonesia dan menikah dengan MNS.

Ia diproyeksikan sebagai calon "pengantin" bom bunuh diri di lingkungan Istana Negara, Jakarta, pada Minggu pagi, 11 Desember. Rencananya aksi tersebut menargetkan momen pergantian petugas jaga paspampres di Istana.

Selain DYN, IP warga Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang juga mantan TKW di Hong Kong direncanakan sebagai "pengantin" bom bunuh diri pada aksi teror di Bali.

Densus 88 menangkap (IP), pada Kamis (15/12/2016) di musola Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo saat sedang ikut mempersiapkan kegiatan Maulid Nabi SAW.

Sementara, mantan pelaku teror, Ali Fauzi Manzi, dalam beberapa tahun terakhir ini melihat terjadi penurunan kualitas rekrutan pelaku teror.

"Ini salah asuh. Orang-orang yang tidak punya kapasitas tapi dipaksakan untuk membuat bom," katanya.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra