tirto.id - Di sebuah warung sego sambel di Surabaya, speaker murah memutar lagu dangdut koplo yang rancak. Di meja ujung, seorang pelanggan berkeringat. Tangannya berulang kali menyuapkan nasi, ikan pe, dan sambal berwarna merah menyala itu. Sesekali mulutnya mengerjap, macam mujair kekurangan oksigen.
"Lagune nggarai semangat mangan Cak, sambele keroso tambah nyenget," katanya.
Dulu banyak orang berpikir bahwa musik tak membawa pengaruh bagi makanan. Mau dengar lagu dangdut kek, pop kek, death metal kek, makanan enak ya tetap terasa enak. Tapi ternyata tidak demikian. Setidaknya ini yang diungkapkan oleh tim peneliti dari Universitas Oxford.
Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Charles Spence ini awalnya ingin mencari tahu jenis musik yang berpengaruh terhadap rasa pedas dalam makanan. Peneliti ini menyediakan 36 lagu untuk didengarkan kepada 180 responden. Kemudian responden akan menyantap makanan dengan taburan cabai bubuk dan saus cabai selagi mereka mendengarkan lagu.
Mereka yang mendengarkan lagu dengan tempo lebih cepat, titinada tinggi, dan suara distorsi, menganggap makanannya lebih pedas dan rasa bumbunya lebih intens, ketimbang mereka yang makan sembari dengar suara white noise dan mereka yang tak mendengarkan apapun.
Janice Wang, salah satu psikolog yang ikut dalam penelitian ini, mengatakan bahwa ada beberapa aspek musik yang bisa meningkatkan sensasi pedas. "Hipotesis kami adalah, lagu seperti itu bisa menguatkan ekspektasi orang terhadap rasa pedas dalam makanan," ujarnya pada The Telegraph.
"Pemikiran lain adalah, titinada tinggi, distorsi, dan tempo cepat diasosiasikan dengan energi tinggi, dan perasaan itu seperti cerminan sensasi saat menyantap makanan pedas," lanjutnya.
Dalam penelitian yang dimuat di jurnal Food Quality and Preference, contoh lagu modern yang disarankan untuk meningkatkan rasa pedas adalah "I Bet You Look Good on the Dance Floor" dari grup rock asal Inggris, Arctic Monkey. Lagu "Never Fallen In Love" dari The Buzzcocks juga menjadi pilihan yang tepat.
Selain itu, musik tradisional yang bertempo cepat juga bisa meningkatkan sensasi rasa pedas ini. Spence mengatakan bahwa musik tradisional India yang bertempo cepat, berisi distorsi sitar, dan dentuman cepat talba, bisa meningkatkan rasa pedas dalam kari.
"Beberapa aspek dari lagu yang meningkatkan rasa pedas itu mengingatkan kami akan musik India," ujar Spence. "Perubahan rasa pedasnya adalah sekitar 5-10 persen."
Mengenal Crossmodal Study
Charles Spence adalah salah satu tokoh di bidang psikologi eksperimental. Namanya kini dikenal sebagai kepala departemen Crossmodal Research Laboratory, Universitas Oxford. Sama seperti namanya, studi ini mempelajari penggabungan informasi dari pancaindera (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap, dan penciuman) menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
Penelitian silang-indera ini bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan. Misalkan bagaimana kemampuan bicara kita akan berkurang saat menyetir mobil. Atau tentang setting restoran bisa berpengaruh terhadap keinginan untuk menyantap makanan. Penelitian seperti ini nantinya bisa berguna untuk, misalkan, membuat produk yang memaksimalkan pancaindera.
Spence sendiri dikenal sebagai peneliti di bidang persepsi makanan. Kajiannya banyak berkisar di seputar pengaruh panca indera terhadap makanan. Penelitian awal yang membuat namanya dikenal luas dalam jagat riset silang-indera makanan ini berjudul "The Role of Auditory Cues in Modulating the Perceived Crispness and Staleness of Potato Chips." Penelitian ini mengkaji bagaimana rasa makanan bisa berubah, tergantung pada perubahan suara.
Spence mengkaji bagaimana kerenyahan dan keayeman kripik kentang bisa berpengaruh pada rasa. Sama saja jika kita mengaplikasikannya pada kerupuk. Jika kerupuk ayem dan tak mengeluarkan bunyi kriuk, rasanya tentu tak enak. Sebaliknya, bunyi kriuk menandakan kerupuk itu pasti segar dan enak disantap.
Hasil penelitian lain Spence adalah "Sendok Makan: Menilai Bagaimana Bahan Sendok Mempengaruhi Rasa Makanan," atau "Menilai Pengaruh Warna Piring Terhadap Persepsi Makanan Dalam Setting Restoran."
Tujuan Spence sebenarnya sederhana, namun kompleks. Di situs Future Food milik Universitas Oxford, dijelaskan kalau visi penelitiannya adalah untuk menanyakan: apakah kita hanya mencium aroma atau merasakan apa yang kita lihat? Tujuan utama penelitian-penelitiannya adalah memahami interaksi antara penglihatan dan aroma dan rasa. Selain itu, Spence juga kerap mencari tahu tentang pengaruh warna pada persepsi rasa dan aroma.
Penelitian ala Spence ini tentu amat berguna bagi industri makanan. Tentu bukan kebetulan kalau restoran seperti McDonald's, KFC, Pizza Hut memakai warna merah dalam logo dan setting restorannya. Juga bukan kebetulan apabila para koki menganggap pengaturan makanan di atas piring dan kombinasi warna makanan adalah hal penting.
Dalam berbagai penelitiannya, Spence sudah bekerja sama dengan banyak koki terkenal. Seperti Heston Blumenthal, kepala koki di The Fat Duck. Juga Ferran Adria, peneliti makanan dan dapur yang tinggal di Spanyol.
Mengukur Rasa Pedas Cabai
Dalam dunia kuliner, orang mengenal Scoville Heat Unit (SHU) sebagai tolok ukur kepedasan makanan. Semakin tinggi SHU-nya, semakin pedas makanannya. Cabai adalah jenis makanan yang paling sering diukur SHU-nya.
Saat ini cabai terpedas di dunia adalah Carolina Reaper. Ia punya SHU sebanyak 1.600.000 hingga 2.200.000. Penampakannya memang sedikit intimidatif: merah menyala dengan bentuk yang tak beraturan, dengan ujung bawah berbentuk lancip. Di Indonesia, sedikit sukar mencari cabai yang dikembangkan di Carolina Selatan oleh Ed Currie ini. Namun, jika ingin melihat bagaimana efek ketika menyantap cabai dari neraka ini, ada banyak video yang bisa ditonton di Youtube.
Chau Tu, salah satu orang yang pernah menyantap cabai ini, mengatakan bahwa Carolina Repare itu punya rasa buah-buahan. Ketika digigit di awal, rasanya manis. "Tapi tiba-tiba rasa manis itu berubah seperti menenggak api lava."
Bagaimana dengan cabai rawit? Tak ada cabai rawit di daftar "10 Cabai Terpedas di Dunia" versi situs Pepper Head. Namun, cabai rawit yang satu keluarga dengan cabai Bird's Eye dari Thailand, dikisarkan memiliki SHU 100.000 hingga 225.000. Bukan yang terpedas, tapi sudah termasuk dalam golongan pedas.
Dulu warga Nusantara menggunakan cabai Jawa alias cabai puyang alias Piper retrofractum. Jika merujuk Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia karya Fadly Rahman, cabai Jawa adalah pemedas makanan asli Nusantara. Namun, sejak abad 16, kala pelaut Portugis datang membawa cabai (Capsiicum annuum) dari Amerika, cabai jenis ini menggusur penggunaan cabai Jawa. Hal ini karena rasa dan sensasi yang berbeda. Cabai puyang lebih pedas di perut, sifatnya menghangatkan, karena masih satu keluarga dengan lada. Beda dengan cabai rawit yang pedasnya terasa di mulut.
António d'Oliveira Pinto da França dalam buku Pengaruh Portugis di Indonesia, menyebutkan bahwa, "Portugis membawa dari Brazil tomat, mandioc, seledri air, selada, cabai rawit, nenas, pepaya, dan ubi jalar."
Cabai rawit inilah yang sekarang dikenal sebagai pemedas makanan nomor wahid di Indonesia. Hingga sekarang, banyak orang Indonesia menganggap makanan tanpa cabai rawit dan sambal itu adalah makanan yang selemah-lemahnya iman.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani