tirto.id - Myanmar kembali bergejolak. Sejumlah politisi penting negara itu seperti Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dijadikan tahanan rumah oleh militer Myanmar, Senin (1/2/2021) dini hari.
Dihimpun dari Frontier Myanmar, penangkapan terjadi sekitar pukul 02.30 waktu setempat dan segera setelahnya media sosial Facebook mulai dipenuhi berbagai informasi dan perkembangan terkait penangkapan tersebut. Beberapa anggota parlemen bahkan melakukan live-streaming penangkapan mereka sesaat sebelum jalur komunikasi telepon dan internet terputus pada akhirnya di Nay Pyi Taw, ibukota Myanmar, menyusul Yangon pada pukul 07.30 pagi harinya.
Dampak dari peristiwa tersebut hampir seluruh pelayanan publik, seperti bank hingga pasar tutup. Antrian panjang terlihat di ATM-ATM dan persediaan bahan pokok seperti beras mulai habis. Seluruh penerbangan dihentikan dan stasiun televisi berhenti siaran.
Bagi Suu Kyi, penahanan ini bagai deja vu mengingat ia pernah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun dari 21 tahun masa penahanannya sejak pemilu 1990. Kala itu junta militer tak terima kekalahannya dari Suu Kyi yang menang pemilu, lantas menahannya.
Tak Terima Hasil Pemilu
Dilansir AP News, Myawaddy TV milik militer mengumumkan pengambilalihan kepemerintahan pada Senin pagi. Alasan pengambilalihan tersebut karena pemerintah dinilai gagal merespons tuduhan militer atas kecurangan dalam pemilu November 2020 lalu dan kegagalan menunda pemilihan di tengah krisis pandemi COVID-19.
Partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menak telak pada pemilu lalu dengan meraup 346 kursi di parlemen dari total 491 kursi yang tersisa untuk anggota parlemen terpiliih, mengalahkan Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer Myanmar, atau disebut Tatmadaw.
Menanggapi hasil tersebut, pihak militer menuntut Komisi Pemilihan Umum Myanmar (UEC) agar mengulang pemilu. UEC sendiri mengatakan tidak ada temuan kecurangan dari hasil pemilu November lalu, namun pihaknya mengakui ada kejanggalan terkait daftar pemilih yang saat ini tengah diselidiki UEC.
Melansir BBC, Panglima Tertinggi Tentara Jenderal Min Aung Hlaing yang tak terima dengan hasil pemilu, dalam pidatonya pada 27 Januari, memperingatkan bahwa “konstitusi akan dihapuskan, jika tidak diikuti.” Pernyataannya ini kemudian dimaknai sebagai ancaman kudeta mengacu pada kudeta militer pada 1962 dan 1988.
Kendati demikian, militer seolah meralat ucapan jenderal besarnya itu dan justru menuding media memaknai pernyataan sang jenderal di luar konteks.
Bagaimanapun, penangkapan dini hari pada 1 Februari itu menjadi manifestasi atas pernyataan sang jenderal.
Militer kemudian mengumumkan Myanmar dalam status darurat selama satu tahun ke depan dan menunjuk Wakil Presiden Pertama (Myanmar memiliki dua wakil presiden) yang juga mantan Jenderal Komando militer Myanmar Myint Swe sebagai Plt presiden hingga tahun depan.
Militer mengutip pasal 417 dari Konstitusi 2008--yang disusun sendiri oleh militer-- sebagai justifikasi untuk mengambil kendali pada saat “darurat nasional”, “ancaman terhadap pemerintahan Myanmar”, ataupun terhadap “integrasi dan solidaritas nasional”. Kondisi yang sebenarnya militer ciptakan sendiri dengan menahan presiden terpilih. Itupun keputusan tersebut seharusnya dibuat oleh presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional.
Dengan ini, pemerintahan Myanmar kembali jatuh ke tangan militer setelah kejatuhannya pada 2011.
Akademisi Melissa Crouch menyebut dalam akun Twitternya, “militer nampaknya menggunakan pasal 73 Bab 3 tentang Kepala Negara dalam Konstitusi 2008 yang menyatakan: Satu dari dua wakil presiden diizinkan menjabat sebagai plt presiden jika jabatan presiden kosong karena pengunduran diri, kematian, alasan kesehatan dan alasan lainnya.”
Tak Masuk Akal
Direktur Burma Campaign UK, Mark Farmaner, menyebut pemerintah sipil yang dipimpin Ang San Suu Kyi dalam beberapa tahun terakhir, militer masih punya jatah dan kendali penuh terhadap sejumlah pos kementerian penting seperti kementerian pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri.
“Menjadi tak masuk akal mereka melakukan ini. Militer punya keuntungan besar dalam reformasi yang terjadi selama 10 tahun terakhir,” ujar Farmaner kepada Sky News.
Belum lagi jika dihitung jatah kursi di parlemen yang seperempat dari total 664 kursi merupakan milik pejabat militer tanpa perlu mengikuti pemilu.
“Kita lihat saja apakah nanti akan timbul perpecahan di internal militer atau apa sesungguhnya motif mereka,” lanjut Farmaner.
Farmaner menilai tak ada keuntungan bagi militer jikapun berhasil menguasai pemerintahan mengingat dunia internasional akan memberi sanksi terhadap Myanmar dan “itu akan merugikan Myanmar dari segi ekonomi.”
Diketahui, Jenderal Hlaing, aktor utama dalam kudeta militer Myanmar, sejatinya akan mundur dari jabatan Panglima Tertinggi Tentara Myanmar dan pensiun di usia 65 tahun pada Juli mendatang. Dengan kudeta ini, Hlaing setidaknya memberikan dirinya waktu satu tahun--atau mungkin lebih--untuk berkuasa setelah pemerintahan kembali jatuh ke tangan militer.
“Ini adalah kudeta Min Aung Hlaing, bukan sekadar kudeta militer. Ini soal posisinya dan kekuasaannya,” cuit Farmaner dalam akun Twitternya.
Tindakan militer ini sudah menerima kecaman internasional yang meluas. Menteri Luar Negeri baru AS Anthony Blinken mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan "kekhawatiran besar" atas penahanan yang dilaporkan.
“Kami menyerukan kepada para pemimpin militer Burma untuk membebaskan semua pejabat pemerintah dan pemimpin masyarakat sipil dan menghormati keinginan rakyat Burma seperti yang diungkapkan dalam pemilihan demokratis,” tulisnya, menggunakan nama lama Myanmar (Burma).
Penyebutan nama Myanmar menjadi amat politis mengingat perubahan nama resmi negara itu menjadi Myanmar terjadi pada saat pemerintahan junta militer, sehingga banyak kelompok pro-demokrasi lebih memilih menggunakan kata Burma ketimbang Myanmar.
"Amerika Serikat mendukung rakyat Burma dalam aspirasi mereka untuk demokrasi, kebebasan, perdamaian, dan pembangunan," katanya.
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengeluarkan pernyataan serupa, juga menyerukan militer untuk menghormati supremasi hukum dan membebaskan para pemimpin yang ditahan.
Editor: Gilang Ramadhan