tirto.id - Muhammad Khaidir dikeroyok warga sekitar Masjid Nurul Yasin Jatia. Ia dituduh mencuri di masjid yang terletak di Kelurahan Mata Allo, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan tersebut.
Peristiwa yang terjadi pada Senin (10/12) bermula saat Khaidir ingin salat di masjid, namun pintunya tertutup. Lalu, ia pergi ke rumah YDS yang letaknya tidak jauh dari sana.
Khadiri menggedor dengan keras pintu rumah YDS. Namun, YDS menganggap gedoran itu sebagai ancaman. YDS pun lari ke masjid.
Di masjid, YDS bertemu sang marbut, RDN. Lalu, menggunakan pelantang suara, RDN menyerukan ada yang mencuri. Orang-orang yang mendengar seruan itu datang ke masjid.
Khadiri mendatangi kerumunan itu. Namun, dia malah dipukuli dengan tangan dan balok kayu hingga tewas.
Bukan pertama kalinya seorang yang dituduh mencuri barang di masjid tewas akibat dikeroyok. Tahun lalu, seorang pria bernama Muhammad Al Zahra alias Zoya meninggal akibat dipukuli dan dibakar setelah dituding mencuri amplifier di musala Al Hidayat. Musala itu berlokasi di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Peristiwa itu berawal dari kedatangan laki-laki yang berprofesi sebagai tukang reparasi alat elektronik itu ke Al-Hidayah pada Selasa (1/8/2017). Seorang marbut masjid bernama Rojali mengaku menyaksikan Zoya menunaikan salat asar. Menurut Rojali, amplifier raib setelah Zoya meninggalkan masjid.
Rojali dan sejumlah orang mengejar Zoya. Mereka menangkap suami Siti Jubaedah itu di dekat Jembatan Pasar Muara, sekitar 4,1 kilometer dari Musala Al-Hidayah. Warga di sekitar jembatan turut membantu menangkap Zoya.
Akhirnya, Zoya diarak ke arah Pasar Muara, dipukuli, dan dibakar hidup-hidup hingga tewas. Sepekan kemudian, pihak kepolisian menyatakan Zoya diduga kuat mencuri amplifier berdasarkan bukti dan keterangan saksi.
Masjid sebagai Aset
Masjid menempati posisi penting dalam ranah kehidupan umat Islam. Tak hanya berperan sebagai tempat ibadah harian, tapi juga menjadi pusat kegiatan sosial, ruang ekonomi warga, hingga pengorganisasian politik.
Di ranah politik, sejumlah masjid di Indonesia menjadi tempat konsolidasi gerakan anti-rezim Orde Baru. Belakangan, masjid berkembang sebagai ruang kampanye politik jelang hari pencoblosan, seperti yang terjadi selama Pilkada DKI Jakarta 2017. Sedangkan di ranah ekonomi, jamak dijumpai pedagang yang menggelar dagangannya di pasar kaget sekitar masjid setiap Jumat, hari ketika laki-laki muslim berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Singkatnya masjid dipandang sebagai aset sosial, baik secara simbolik maupun fisik, yang didanai dan dikelola warga sekitar atau organisasi masyarakat (ormas).
Ada banyak masjid yang kini dibangun semegah-megahnya. Namun, rupanya kemegahan tak melulu berbanding lurus dengan peningkatan partisipasi masyarakat di masjid, sebagaimana ditunjukkan oleh riset Berlian Saputra tentang enam masjid megah di Bangka Tengah, Bangka Belitung. Dalam penelitian bertajuk "Masjid-masjid megah dan partisipasi keagamaan masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah"(2017), Saputra menunjukkan tidak ada hubungan antara kemegahan masjid dan peningkatan partisipasi masyarakat di masjid yang bersangkutan.
Profesionalisasi masjid ini pula yang nampaknya mendorong para pengurusnya serius menjaga benda-benda dalam masjid tidak dicuri. CCTV pun dipasang di sejumlah masjid. Jamak ditemui makalah atau pelatihan yang secara khusus membahas manajemen masjid. Manajemen ini diterapkan ke banyak area, mulai dari pengorganisasian pengurus, pemberdayaan sistem administrasi, pendataan jamaah, hingga aturan kerja sama dengan organisasi di luar masjid.
Di sisi lain, kombinasi antara kesakralan masjid dan fungsi sosialnya inilah yang membuat berita-berita seputar perusakan masjid, hilangnya kotak amal atau alat-alat elektronik, bahkan remaja yang berbuat mesum di masjid senantiasa memancing reaksi keras pembaca yang berada jauh dari lokasi masjid yang diberitakan. Ada ironi ketika yang sakral dinodai oleh hal-hal yang profan, mulai dari tindakan kriminal, asusila, atau bahkan politisasi masjid yang marak belakangan. Terlebih lagi mengingat masyarakat semakin sensitif terkait apapun yang terjadi di dalam masjid. Kecaman yang muncul umumnya senada: pelaku dan tindakannya dinilai telah merusak kesucian masjid.
Yang paling mutakhir menggambarkan hal ini ialah transaksi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan yang korupsi Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar dilakukan di halaman Masjid Agung Cianjur. Kecaman datang langsung dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Jadi kalau bersalat, dalam artian khusyuk, ikhlas, diterima oleh Allah, pasti hamba Allah itu tidak akan berbuat yang jelek, tapi ini salat ke masjid tapi setelah di halaman masjid menerima dana sogok korupsi misalnya, nah itu berarti salatnya salat simbolik namanya," ujar Ketua Bidang Infokom MUI Masduki Baidlowi, seperti yang dilansir Detik (14/12).
Pada Maret 2018, Kementerian Agama, melalui Surat Edaran Nomor: B.829/DJ.III/HM.00/02/2018, meminta pengurus musala dan masjid untuk berkoordinasi dengan pihak keamanan setempat dengan melibatkan unsur RT/RW, Lurah, Camat, dan Kepolisian dalam upaya peningkatan pengamanan rumah ibadah. Langkah ini diambil menyusul maraknya tindak kekerasan terhadap pemuka agama di masjid.
Namun, terlepas dari aturan-aturan preventif tersebut, tindakan ekstrem saat merespons orang-orang yang diduga melakukan hal-hal yang dipandang tak patut menurut pengelola masjid terus terjadi.
Khadiri dan Zoya hanyalah dua contoh korban tindakan kekerasan tersebut.
Pada April 2018, seorang pria bernama AS juga dikeroyok hingga meninggal setelah mencuri kotak amal di suatu masjid di Cengkareng, Jakarta Barat.
Namun, tidak jarang pula pengurus atau warga sekitar masjid terluka saat berusaha melindungi masjid. Hal itu terjadi pada nazir (semacam pengurus) masjid di Padang Lawas Utara pada 10 September 2018. Sang nazir dipukuli hingga akhirnya tewas oleh orang yang dipergokinya sedang mabuk lem dan mencuri kotak amal.
Editor: Windu Jusuf