Menuju konten utama
Mustafa Aqib Bintoro, YLKI:

"Kredit Macet akibat Tawaran Leasing yang Bombastis"

Kasus-kasus penarikan kendaraan bermotor secara sepihak merugikan konsumen.

Ilustrasi Mustafa Aqib Bintoro, staf divisi pengaduan dan hukum YLKI. tirto.id/Sabit

tirto.id - Kasus yang berurusan dengan perusahaan leasing konsisten menempati peringkat empat besar pengaduan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Jumlahnya 66 kasus pada 2015 dan 57 kasus pada 2016. Kasus-kasus ini termasuk pengaduan soal penagih utang, kredit macet, serta masalah eksekusi jaminan yang dilakukan mata elang.

Untuk perkara terakhir, Mustafa Aqib Bintoro, staf divisi pengaduan dan hukum YLKI, mengatakan pelibatan mata elang dalam perkara kredit macet lantaran perusahaan pembiayaan gampang memberi kredit.

Misalnya, orang bisa kredit kendaraan bermotor dengan uang muka hanya Rp500 ribu tanpa menghitung kemampuan finansial debitur membayar cicilan per bulan. “Akibatnya, ada masalah penarikan dan beban biaya tarik,” kata Mustafa.

Namun, Mustafa juga menyoroti bahwa kasus kredit macet terjadi lantaran ada hukum ekonomi pasar: permintaan tinggi bikin perusahaan pembiayaan itu melonggarkan aturan. Di sisi lain, ada target-target penjualan tertentu dari para pemangku kepentingan industri otomotif.

Sebagai gambaran, berdasarkan data kepolisian, di Jakarta saja ada 13,9 juta motor dan 3,5 juta mobil pada 2015. Mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat pernah mengatakan setiap hari ada penambahan sekitar 1.500 kendaraan bermotor baru. Kementerian Perindustrian bahkan menargetkan penjualan 5,7 juta hingga 13 juta motor serta 1,25 juta hingga 2,5 juta mobil pada 2020-2023. Ini tentu bakal menjadi problem serius kemacetan.

Baca juga:Meski Jalanan Sudah Macet, Pemerintah Terus Menambah Mobil

Celakanya, pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perusahaan pembiayaan kurang bertaji. Ia lebih sering berdasarkan laporan dokumen, bukan cek ke lapangan.

Berikut petikan wawancara Mustafa Aqib Bintoro kepada Reja Hidayat dari Tirto, awal Oktober lalu.

Berapa banyak laporan pengaduan terkait perusahaan leasing ke YLKI?

Progres total aduan stabil selama 2015 dan 2016. Maksudnya, pengaduan leasing paling banyak dikeluhkan, selain perbankan dan perumahan. Aduannya juga enggak jauh beda dari tahun ke tahun. Tunggakan, masalah penarikan kendaraan, penghitungan beban bunga, dan biaya yang tidak transparan.

Mayoritas terkait kasus apa?

Mayoritas tunggakan, biaya tarik, dan eksekusi kendaraan. Memang yang mengadu ke YLKI meminta perlindungan ketika mereka enggak sanggup melanjutkan angsuran. Dan seharusnya ketidakmampuan konsumen membayar angsuran ini bisa terdeteksi sejak awal oleh leasing, seperti memperketat prosedur dan syarat kepada konsumen yang mengajukan pembiayaan kendaraan bermotor.

Seperti apa syarat mendapatkan pembiayaan dari leasing?

Sebenarnya masalah syarat sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. Konsumen harus memberi uang muka 20-30 persen dari jumlah pembiayaan. Beban angsuran tidak boleh lebih besar 30 persen dari jumlah pendapatan konsumen. Misalnya, pendapatan Rp3 juta, tidak boleh cicilan melebihi Rp1 juta.

Tetapi, meski peraturan sudah ada, eksekusi yang jadi masalah. Ada banyak kasus. Dari konsumen memalsukan data pribadi, pihak pembiayaan bermain. Contoh, banyak di pinggir jalan, dengan modal Rp500 ribu sudah dapat motor. Padahal jika mengikuti aturan uang muka 20-30 persen dari harga motor, banyak yang tidak memenuhi syarat. Permainan ini menyebabkan banyak pembiayaan tidak layak tetapi tetap disalurkan. Jadi pihak leasing sendiri yang subsidi uang muka yang notabene dilarang.

Apa yang bikin perusahaan pembiayaan memberi subsidi uang muka, betapapun dilarang?

Pertama, ini enggak lepas dari hukum permintaan dan penawaran. Pihak leasing tidak akan terlalu seberani ini kalau permintaannya tidak besar. Permintaan masyarakat atas kendaraan sangat besar.

Kedua, penawaran dari leasing sendiri sangat bombastis. Mereka menawarkan dengan orientasi profit, dengan menggunakan berbagai macam cara, termasuk melanggar ketentuan. Dan celakanya pengawasan oleh OJK masih sebatas pengawasan di atas meja atau dokumen, tapi realitas di lapangan jauh berbeda.

Bagi pelanggar, apa sanksinya?

Uang muka itu jelas harus dibayar konsumen. Kalau DP Rp500 ribu, ya bilang Rp500 ribu, jangan lapor ke OJK Rp3 juta. Sanksi bagi leasing adalah sanksi administrasi: denda, pembekuan usaha, dan pencabutan izin operasional usaha.

Berapa persen pembelian kendaraan menggunakan fasilitas kredit?

Mayoritas dari kredit. Sangat kecil masyarakat membayar tunai. Dan mayoritas, 70-80 persen, membeli via leasing. Entah lewat perbankan maupun leasing.

Mengapa permintaan besar? Karena angka kendaraan baru setiap tahun sangat tinggi. Trennya sekarang, konsumen yang mau beli tunai justru diarahkan oleh dealer untuk membeli dengan cara pembiayaan atau leasing. Ini jadi persoalan.

Itu akhirnya yang melanggengkan praktik jasa debt colletor atau mata elang?

Penggunaan debt collector jadi masalah klasik karena tak hanya digunakan oleh perusahaan pembiayaan tapi perbankan.

Dulu Bank Indonesia sudah sangat terang membuat aturan tentang tata cara penagihan yang dilakukan debt collector, misalnya dilarang menagih di luar hari kerja, tidak boleh di bawah jam 7 pagi dan di atas jam 8 malam.

Dari sisi metode, debt collector dilarang menagih selain debitur. Contoh, Anda menunggak kredit, debt collector tidak boleh menghubungi keluarga atau saudara Anda. Menagih hanya boleh ke debitur. Tapi faktanya berbeda. Debt collcetor menagih sampai ke orangtua debitur, saudara, sampai rekan kerja yang mengakibatkan debitur dipecat. Padahal itu dilarang.

Tata cara bahasanya juga diatur: tidak boleh mengintimidasi baik fisik, psikis, maupun lisan. Debt collector juga dilarang mengeksekusi secara sepihak—merampas kendaraan tanpa prosedur. Memang tidak harus pengadilan, tapi sepengetahuan kami, seizin aparat penegak hukum termasuk dengan RT setempat dan izin konsumen. Tetapi praktik ini sering dilanggar debt collector.

Salah satu alasan perusahaan finance enggan memakai polisi karena birokrasinya ribet. Ini yang bikin mereka memilih debt collector. Tanggapan Anda?

Sebenarnya bukan berarti boleh. Polisi hanya mendampingi, tapi penagihan tetap oleh mata elang. Kenapa penarikan di depan polisi? Agar menjadi saksi dan menyetujui proses eksekusi tanpa melanggar hukum. Langkah ini justru menjamin perusahaan pembiayaan sehingga tidak berimplikasi negatif.

Kalau dilakukan sepihak oleh mata elang, rentan digugat hukum karena keabsahan hukumnya diragukan. Maka, perlu aparat kepolisian memberi kepastian.

Masalah biaya, memang perusahaan pembiayaan memakai mata elang jauh lebih murah. Kenapa? Justru mata elang mencari uang dengan memeras konsumen. Itu jadi salah satu poin aduan ke YLKI. Di luar tunggakan kredit, konsumen ditagih biaya lain dengan istilah “biaya tarik”. Padahal, dalam kontrak, tidak dikenal biaya tarik.

Debt collector secara sepihak memberi harga biaya penarikan. Misalnya: cicilan dua bulan Rp7 juta untuk roda empat. Ketika ditagih debt colector, seenaknya menembak atau memeras konsumen sampai puluhan juta. Bahkan melebih dari total tunggakan kredit. Ini, kan, enggak masuk akal.

Kalau dibilang lebih murah, itu sepihak dari sisi pengusaha. Ini dampak dari keleluasaan yang diberikan leasing kepada debt collector. Tindakan ini merugikan konsumen, materi maupun nonmateri.

Apakah biaya tarik ini diatur OJK?

Kami sudah mempertanyakan kepada OJK, tapi belum ada niat untuk mengaturnya secara tegas. Jika tidak diatur, rentan penyalahgunaan atau pemerasan. Kami enggak masalah biaya tarik jika ada dasar hukumnya, sebab penarikan itu atas dasar kesalahan konsumen. Silakan ada biaya tarik, tapi harus jelas berapa biayanya. Tidak bisa dilepaskan ke pasar seperti saat ini.

Perusahaan pembiayaan sudah mengikuti prosedur, dari peringatan sampai akhirnya memakai jasa mata elang. Klaim mereka: unit kendaraan bermotor sudah berpindah tangan dan sebagainya. Tanggapan Anda?

Kami mengetahui persoalan di lapangan, tetapi menjadi lebih aman kalau ini diatur sehingga tidak menjadi masalah hukum. Tidak ada payung hukum, sering jadi sengketa.

Kami memandang sengketa ini merugikan semua pihak, baik pengusaha maupun konsumen. Menurut kami, buatlah dasar perhitungan. OK, sulit mencari unit, tapi tidak bisa biaya penarikan dilepaskan ke pasar.

Debt collector atau mata elang sering melakukan pelanggaran: waktu penagihan, cara penagihan, dan etika. Sisi tahapan mungkin sudah benar, tapi lainnya sering bermasalah. Kompleksitasnya: penagihan oleh mata elang sulit diawasi satu per satu. Yang bisa dilakukan: perusahaan pembiayaan dan OJK menjaga standar dari mata elang. Memang ada sebagian mata elang yang sudah mengikuti aturan, tapi ada pula yang tidak.

Masalah waktu penagihan dan cara menagih harus diawasi oleh leasing sebagai pemberi kerja kepada pihak ketiga (jasa mata elang). Kualitas pelayanan leasing masih sangat jauh dan harus diperbaiki.

Siapa yang bertanggung jawab atas kasus pengaduan terkait mata elang?

Jelas bervariasi, tergantung kasus. Semua pihak harus memperbaiki, dari OJK, leasing, dan konsumen.

OJK harus melakukan pengawasan di lapangan dan membuat regulasi untuk biaya tarik. Acuan harus jelas. Buat aturan biaya terendah dan tertinggi sesuai kesulitan.

Leasing menggunakan mata elang tanpa memberitahu konsumen. Memanfaatkan kontrak tapi tidak menjelaskan kepada konsumen. Memanfaatkan mata elang untuk melakukan penagihan tapi tidak bertanggung jawab atas praktiknya. Seharusnya, leasing berani bertanggungjawab ketika menunjuk mata elang, bukan melepaskan tanggung jawab.

Dalam praktik eksekusi kendaraan bermasalah, masih ada debt collector yang tidak menunjukkan sertifikat jaminan fidusia?

Ada yang sudah dilengkapi dengan fidusia, tapi ada juga yang tidak menunjukkan fidusia. Ini teknis leasing dan jasa mata elang. Memang konsumen punya hak menanyakan sertifikat. Kalau tidak dilengkapi surat tugas dan sertifikat fidusia, bisa disuruh pulang. Jika tidak, itu perampasan karena tidak ada landasan hukum.

Bisnis mata elang ini menggiurkan, tidak terkecuali oknum tentara. Tanggapan Anda?

Untuk masalah ini, siapa aja berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan usaha selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan etika profesi. Kalau itu tidak dilarang kode etik, ya silahkan. Tapi jika bertentangan, diproseslah secara tegas, baik kepada oknum tentara dan polisi.

Baca juga artikel terkait MATA ELANG atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam