Menuju konten utama

Mengapa Praktik Mata Elang Marak?

Celah hukum dipakai perusahaan pembiayaan untuk memakai jasa debt collector demi mengatrol neraca keuangan tetap beres.

Mengapa Praktik Mata Elang Marak?
Ilustrasi Setyo Wasisto. tirto.id/Gery

tirto.id - Satiri, pria paruh baya asal Bekasi, mengalami urusan pahit dengan sang mata elang. Ia membeli sepeda motor dari teman seharga Rp2,5 juta. Saat pulang kerja dan hendak membeli onderdil motor, ia dicegat oleh dua pria di pinggir jalan. Kejadian ini berlangsung di sebuah jalan di Klender, Jakarta Timur.

“Saya kaget, tiba-tiba dipepet dan diberhentiin di jalan kayak perampok aja. Mereka badannya gede-gede,” kata Satiri.

Seorang mata elang turun dari motor dan menanyakan Surat Tanda Nomor Kendaraan kepada Satiri. Pria itu mengatakan bahwa motor Mio yang dikendarai Satiri sudah menunggak cicilan selama delapan bulan. Satiri tak tahu bahwa motor itu bermasalah.

“Sempat beradu cekcok, tapi akhirnya motor dibawa,” kata Satiri, menyebut sebuah alamat kantor mata elang di sebuah mal di Bekasi. Setiba di sana, motornya disita, sementara Satiri disuruh pulang dan diberi uang Rp30 ribu.

Kasus yang menimpa Satiri bukanlah satu-satunya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menerima 34 kasus pengaduan penarikan motor di jalan selama 2015-2016.

Apakah boleh secara hukum motor diambil mendadak dan kenapa hal macam ini terjadi?

Dalam aturan, termasuk Undang-Undang 44/ 1999 tentang Fidusia alias perjanjian utang-piutang antara kreditor dan debitur, perusahaan pembiayaan—baik finance maupun leasing—dibolehkan mengeksekusi penarikan motor asalkan ada sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat ini dianggap punya kekuatan hukum tetap sehingga punya kuasa eksekusi.

“Kita menggunakan undang-undang fidusia. Dengan sertifikat fidusia, kita mempunyai hak eksekutorial dan kita sedang koordinasi dengan polisi untuk menyamakan pemahaman ini,” ujar Suwandi Wiratno, ketua umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, kepada reporter Tirto.

Namun, ada juga kasus—dan hal ini tidak sekali— di mana perusahaan pembiayaan mengabaikan aturan jaminan sertifikat fidusia tersebut. Dengan kata lain, perjanjian ini hanya di bawah tangan. Saat debitur menunggak cicilan, tanpa surat ini, mata elang sebagai pihak ketiga yang dipakai oleh leasing langsung mengeksekusi penarikan motor di jalan.

Perkara lain soal tata cara eksekusi. Seringkali cara-caranya dengan ancaman dan paksaan.

Padahal, sebagaimana diatur oleh kepolisian, cara mengambil motor bermasalah karena kredit macet harus dilakukan “secara aman, tertib, lancar dan dapat dipertanggungjawabkan.” Ia juga harus melindungi nyawa konsumen.

“Sudah ada aturannya. Tidak boleh eksekusi di jalan, dan masyarakat boleh melapor ke kepolisian terdekat jika ada eksekusi. Itu perampasan,” ujar Irjen Setyo Wasisto, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, medio Oktober lalu, kepada Tirto.

Mustafa Aqib Bintoro, staf divisi pengaduan dan hukum dari YLKI, mengatakan pelibatan polisi dalam eksekusi berguna sebagai pendamping agar berjalan aman.

“Kenapa penarikan di depan polisi? Sebab polisi sebagai saksi dan menyetujui eksekusi dilakukan tanpa melanggar hukum. Justru hal ini agar tidak berimplikasi negatif terhadap perusahaan pembiayaan,” ujar Mustafa. Meski begitu, praktiknya bisa lain. Para mata elang bekerja sendiri tanpa ada polisi—dan tanpa memegang sertifikat jaminan fidusia.

Andi, debitur dari Bussan Auto Finance Bekasi, mengatakan ia tidak membaca kontrak perjanjian lebih dulu setelah mengkredit motor. Dalam pikirannya, yang penting bisa cepat mendapatkan motor dan mengetahui biaya cicilan. Ia mengaku tidak jeli membaca kontrak lantaran sudah percaya dengan si pengucur kredit motor.

“Masa enggak percaya sama mereka, sih?” kata Andi.

Kredit bombastis yang ditawarkan perusahaan finance dan leasing ini pula yang kelak bikin cicilan macet. Mengabaikan kemampuan finansial konsumen, perusahaan-perusahaan ini mudah saja memberikan cicilan motor.

“Akibatnya, ada masalah penarikan dan beban biaya tarik,” kata Mustafa.

Intimidasi dan Penerapan Biaya Tarik

Soal biaya tarik yang dibebankan kepada debitur, seorang sumber dari Jakarta Utara mengatakan ia harus membayar biaya penarikan sebesar Rp1 juta dari surat peringatan ketiga yang diterimanya.

Pada awal 2017, ia membeli motor secara kredit dengan 35 kali cicilan untuk harga Rp23 juta. Belum lama mengkredit, ia sudah menunggak. Pihak leasing menarik motor itu dengan memberikan surat penitipan. Surat ini ditebusnya seminggu kemudian dengan membayar tunggakan sekitar Rp1 juta.

Namun, ia tak bisa berbuat banyak atas kejadian penarikan kedua. Ia telat membayar tunggakan selama dua bulan, sekitar Rp1,3 juta. Dua orang pria dari pihak leasing mendatangi rumahnya, dan dengan berbekal surat jaminan fidusia, mereka kembali menarik motor tersebut.

“Kami akan melakukan penarikan kendaraan sebagaimana telah diperjanjikan dalam perjanjian konsumen beserta lampirannya, atau kasus ini akan ditangani pihak eksternal (debt collector) dan akan dikenakan biaya penarikan sebesar Rp1 juta,” tulis surat peringatan ketiga yang diterimanya.

Sebelumnya, ia juga agak geram ketika istrinya—bukan ia sendiri—menerima SMS bernada ancaman, dengan kata-kata seperti “jangan berlagak bodoh” atau mereka “sudah mengerahkan anak buah di lapangan” supaya segera membayar tunggakan selama dua bulan bila tak ingin “kami eksekusi di jalan.”

Ia beralasan ia menunggak kredit motor karena sedang kesulitan ekonomi, tetapi “bukan karena saya tidak ada niat membayar,” katanya.

Menurut Mustafa dari YLKI, beban biaya tarik adalah “celah hukum” yang dipakai pelaku industri pembiayaan motor. Ia tidak tercantum dalam sejumlah aturan—dari undang-undang tentang jaminan fidusia, peraturan menteri keuangan soal pendaftaran jaminan fidusia, maupun peraturan Otoritas Jasa Keuangan soal bisnis perusahaan pembiayaan.

“Kita sudah mempertanyakan kepada OJK, tapi belum ada niat untuk mengaturnya secara tegas. Ini rentan penyalahgunaan atau pemerasan,” kata Mustafa.

Perusahaan jasa mata elang, menurut Mustafa, bisa seenaknya menembak harga atau memeras konsumen, melebihi total tunggakan kredit. Problem ini tak terlepas dari betapa mudah perusahaan pembiayaan menyerahkan eksekusi kredit macet kepada debt collector.

“Untuk dikenakan biaya tarik, silakan. Tapi harus jelas berapa biayanya. Tidak bisa dilepaskan ke pasar seperti saat ini,” ujar Mustafa.

HL Mata Elang

Direktur Keuangan Adira Finace, I Dewa Made Susila, membenarkan ada biaya tarik yang dibebankan kepada konsumen. Namun, biaya ini bukan untuk perusahaan finance, tetapi untuk jasa mata elang di lapangan.

“Itu, kan, untuk yang macet kreditnya. Kan harus ada fairness juga,” kata Susila kepada Tirto.

Ia tak bisa menjelaskan landasan hukum terkait biaya penarikan motor debitur dalam regulasi undang-undang, tetapi Susila mengklaim, biaya penarikan itu berdasarkan perjanjian kontrak kedua belah pihak yang telah mengikat.

Suwandi Wiratno, ketua umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia sekaligus direktur utama Chandra Sakti Utama Leasing, mengatakan biaya penarikan ditentukan oleh perusahaan pembiayaan dengan debt collector.

“Misalnya ada nasabah nakal, menjual kendaraan tanpa memberitahu, terus dijual lagi oleh orang kedua, dan dijual lagi. Gimana kalau gitu? Kan, biaya akan tinggi. Yang kita tagih tetap nasabah yg menandatangani perjanjian dengan kita, kan,” ujar Suwandi. “Kalau nasabahnya baik-baik menyerahkan unit kendaraan, tidak ada biaya tarik,”

Togar Siagian, Direktur Pengaturan, Penelitian dan Pengembangan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) dari OJK mengatakan pihaknya belum memiliki aturan rinci soal biaya penarikan motor oleh perusahaan pembiayaan.

“Kalau aturan sedalam itu tidak ada. tapi bukan berarti tidak bisa. Cuma itu fair enggak? Ada rasa ketidakadilan, nah itu lain persoalan,” kata Togar.

Menurutnya, bila ada konsumen yang dirugikan atas biaya tarik, konsumen bisa mengadu ke OJK melalui surat resmi. “Nanti, kami akan mempelajari kasus yang menimpa konsumen,” ujarnya.

YLKI menilai, bila belum ada perubahan regulasi soal perjanjian fidusia, keluhan dan pengaduan konsumen tak akan pernah berhenti. Ia berpotensi terus membesar seiring meningkatnya peran industri jasa keuangan yang kompleks dan kemudahan layanan dengan beragam transaksi.

Ia butuh edukasi konsumen. Ia juga butuh ketegasan regulator memberi sanksi terhadap penyedia jasa keuangan, yang terbukti menyalahi aturan.

“Penagihan oleh mata elang sulit diawasi satu per satu,” ujar Mustafa dari YLKI. “Yang bisa dilakukan adalah perusahaan pembiayaan motor dan OJK menjaga standar dari mata elang. Dan peran masyarakat melaporkan pelanggaran mata elang. Ini tentu menjadi barang bukti.”

Baca juga artikel terkait MATA ELANG atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam